Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ketakutan Barat Akibat Kurang Memahami Ajaran Islam

12 Januari 2015   03:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:20 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Dan harus saya sebutkan di sini, para pelarian dari Syria, Irak dan Afrika yangnotabene banyaknya memeluk Islam, tidak selalu memudahkan Pemerintah Jerman yang membuka pintunya untuk menerima para pelarian ini. Sehingga, seringkali orang hanya memasukkan pemeluk Islam dalam satu panci, padahal tidak sedikit diantara pelarian ini pun orang baik-baik dan lari karena politik bukan karena ekonomi. Demikian juga tidak sedikit muslim di Jerman yang sudah berintegrasi penuh, dihormati dan diterima pula oleh non muslim di Jerman. Kembali ke konstitusi Jerman, bagi saya pribadi sangat mendasar dan menjamin kebebasan saya untuk beragama," pungkas Cahaya Hati.

Minim Perhatian

Sementara menanggapi pendapat Karen Armstrong dalam buku Holy War: The Crusades and their Impact on Today's World yang saya kutip di dalam tulisan saya tersbut, Kompasianer lainnya, Nararya berpendapat, buku tersebut sangat minim mendapat perhatian para sejarahwan. "Dari sedikit pengamatan online saja, kalau kita ketik review para historians terhadap buku ini, saya sudahlakukan, dan tidak menemukan satu pun," katanya.

Nararya kemudian merujuk kepada sejumlah artikel journal maupun buku yang merujuk kepada rekonstruksi Armstrong, tetapi menurutnya umumnya negatif. Nararya mencontohkan penyebab utama Perang Salib. Dalam tingkat tertentu Armstrong menurutnya berasersi bahwa fanatisme agama merupakan pemicunya. Tetapi, James M. Powell ("Rereading the Crusades", 663-664) mengomentari asersi Armstrong tersebut sebagai sebuah pandangan yang disebutnya sebagai merely the late-twentieth century version, post-modern and a bit Gnostic.

"Powell merujuk kepada sejumlah tulisan dari para historians yang sangat meragukan bahwa fanatisme agama merupakan pemicu dari Perang Salib. Asersi bahwa fanatisme agama merupakan pemicunya, sebenarnya merupakan buah dari 'paralelomania' antara kondisi era kontemporer (yang kerap sarat dengan nuansa ini) kemudian dipakai sebagai lensa untuk membaca Perang Salib," kata Nararya. Masih dalam rangka mengomentari asersi di atas, Nararya menambahkan, Powel yang merupakan seorang ilmuwan yang ahli dalam bidang sejarah Eropa pada Abad Pertengahan, mengutipChritopher Dawson (pakar dalam bidang cultural history) yang menyatakan, "this way of writing history is unhistorical, since it involves the subordination of the past to the present." (Making of Europe, 16).

Sementara Bhayu, Kompasianer lainnya, menyatakan kesetujuannya terhadap aliena terakhir tulisan saya, di mana ia juga pernah menuliskan bahwa penggiat Charlie Hebdo adalah orang-orang atheis-sekuler-hedonis. Menurut Bhayu, mereka menyerang organized religion terutama Abrahamic religion, bukan hanya Islam.

"Saya pikir, Perang Salib sebenarnya menimbulkan luka dalam di Eropa justru karena mereka sadar ada budaya yang lebih beradab dan maju daripada mereka. Saat itu, memang Eropa dalam abad kegelapan. Sayangnya, kekhalifahan Islam sendiri juga tidak amanah. Setelah penaklukkan Eropa yang gilang-gemilang, mereka gemar berpesta-pora. Tak heran begitu mudahnya tentara Mongol yang barbar (bukan tentara Salib) menghancurkan ibukota Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad," kata Bhayu.

Bhayu berkesimpulan, memang kita (bangsa Indonesia) harus membangun kembali budaya saling percaya itu. Bhayu menilai kasus Jerman agak beda. Alasannya, "Saya pernah punya pacar orang Jerman yang S-2, dia bilang orang Jerman lebih terluka pada Hitler dan Nazi daripada Islam. Makanya mereka lebih toleran terhadap Islam daripada Prancis dan negara Uni Eropa lain."

***

Catatan:

Artikel ini merupakan hasil rekapitulasi sejumlah komentar yang saya jadikan konten utama penyusunan artikel, sebagai contoh praktis atas postingan saya sebelumnya Coba Menghidupkan Kembali Gelar Komentar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun