Disini jelas terlihat posisi “ Anas” adalah Black Box” berikutnya yang telah diskenariokan. Statemen Anas”jika serupiahpun aku korupsi, gantung aku di Monas” membuat para petinggi Partai Demokrat kebakaran jenggot. Banyak spekulasi mulai bermunculan. Ada apa dibalik statemen ini. Sementara rakyat di buat tercengang. Apa memang benar ya. Terlepas dari benar tidaknya statemen ini hanya Tim Penyidik yang bisa membuktikan. Sebab statemen ini sangat sarat makna. Sebuah ancaman, juga pernyataan perlawananyang sangat militan. Jika terbukti benar, maka dia mempunyai amunisi yang siap di tembakkan pada sasaran yang lebih besar. Jika tidak maka namanya semakin terang bersinar. Terlepas dari benar dan tidaknya pernyataan ini, apakah Anas mempunyai keberanian yang sangat besar untuk mengungkapkan semua carutmarut yang ada dalam Partai yang membesarkan namanya. Atau ada nilai tawar yang lebih tinggi ketika nyawanya menjadi taruhan, lalu memilih mundur sebagai penghianat. Sebab dirinya sangat berat melawan dalam permainan ini, karena dia sendiri tahu siapa wasit yang memimpin pertandingan ini.
Perseteruan antara Anas Urbaningrum VS KPK, dalam meributkan “sprindik” selalu menjadi Hotline media tanpa menyentuh substansi persoalan yang selama ini di bidik sebagai “black box” dari gerakan anti korupsi itu sendiri. Sebab dalam perjalanan penyelidikan hingga penyidikan selalu saja melibatkan the big boss. Untuk mempertahankan kekuasaan, memulihkan citra diri dan mengangkat elektabilitas partai yang semakin terpuruk di mata rakyat, maka harus ada yang menjadi tumbal dari semua ini. Muatan politik yang demikian full power telah menggilas institusi KPK hingga selalu dilema dalam menerbitkan surat perintah penyidikan.
Di tengah dinamika demokrasi yang terus bergerak maju, rakyat selalu saja dirugikan dalam permainan ini.Sebab “Mainstream Politik Kartel” telah “menjerat dan membentuk karakter elitelit politisi” tentang sebuah pembagian kekuasaan, bagaimana membentuk monopoli agar meminimalkan persaingan dengan cara berkoalisi, mengontrol kekuasaan dengan pencitraan diri partai, barter kekuasaan dengan cara toleransi terhadap KKN. Sistem ini sangat pengertian, dalam berbagi sehingga kekuasaan tidak lagi akuntabel. Secara prosedural sistem ini demokratis, namunsubtansinya justru mematikan demokrasi itu sendiri.
Sistem Politik Kartel ini telah telah merambah sampai pada tingkat terendah dalam system Pemerintahan di Negara ini. Salah satu contoh dalam arena Pilkada. Proses pencalonan Kepala Daerah telah diwarnai Praktek persengkongkolan antar parpol dan kalangan pebisnis local. Para pengusaha saling pengertian agar dapat mengamankan bisnis lewat politik dengan menjadikan parpol “Sebagai Kendaraan” untuk maju dalam Pilkada. Sementara parpol memasang tarif yang tinggi sehingga hanya segelintir orang yang berduit dan pengertianlah yang bisa menumpang kendaraannya. Disinilah nilai dan kontribusi untuk demokrasi itu sangat minim, pragmatis, sehingga menciptakan suasana yang paradoks. Jangan kaget jika “Aktivis Radikal” mulai “melacurkan idealismenya” disini. Sebab Logika Politik Kartel telah merangkul semuanya dalam pengertian untuk saling berbagi dengan nilai tawar yang menggiurkan.
Batasan antara oposisi semakin tidak jelas. Pemerintah yang lahir cukup memelihara saling pengertian, untuk mematikan pluralitas pandangan politik dan aspirasi juga inspirasi yang di suarakan oleh rakyat. Mematikan sejumlah fungsi institusi demokratis secara tersamar dengan cara melestarikan fungsi simboliknya. Manuver politik selalu dibangun demi pencitraan diri partai ketika nilai jualnya mulai menurun, kemudian ramairamai bungkam setelah membentuk koalisi, koordinasi yang ujungujungnya barter kekuasaan dan mencari kambing hitam untuk “Pengalihan Opini Rakyattanpa menyentuh substansi persoalan.
Disini jelas terlihat posisi “ Anas” sebagai “Black Box” berikutnya yang telah di skenariokan. Pencitraan diri yang dimainkan oleh partai yang berkuasa untuk meningkatkan elektabilitasnya melawan partai yang lagi berusaha merebut posisi utama pada podium Pemilu berikutnya semakin seru dan berat sebelah sebab Lembaga atau Institusi bentukan penguasa (KPK, BPK, Satgas Anti Korupsi dan Lembaga atau Institusi Plat Merah) yang menjadi wasitnya. Otomatis dalam pertandingan ini selalu saja mendapat sambutan yang meriah dari berbagai media yang pro dan kontra untuk meramaikan perhelatan ini dengan berbagai iklan dan produknya. Belum lagi komentator dadakan, para ahli kepagian, dan aktivis radikal yang berusaha meraih simpati rakyat (baca penonton) dengan berbagai disiplin ilmunya yang membuat penonton (baca Rakyat) semakin beringas dan fanatik, sehingga tanpa sadar dan rela menitipkan aspirasi dan inspirasinya di saku safari mereka yang mengincar kursi empuk menujuh senayan dan cikeas.
Disini terlihat jelas Pemimpin Negara sampai pada Pemimpin Daerahnya, hanya cuma pion di papan catur kartel politik. Sebab tesis Richard S.Katz dan Peter Mair telah terbukti benar dalam konteks dan dinamika berdemokrasi di Negara ini. Mari kita merefleksi diri dengan tidak lagi memilih orang miskin nurani menjadi orang kaya baru di negara ini. Lebih baik kita bersahabat dengan alam sebab alam selalu penuh kearifan jika kita menjaganya dengan baik. Caranya kita memilih menjadi golongan putih.
titip salam perjuangan buat Anas “lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup menanggung malu”. Teruslah memberikan perlawanan demi kebenaran. Bukalah topeng Negeri ini meski itu ada pada dirimu. Niscaya semua kesalahanmu akan ditakar dengan adil. setidaknya ada titik terang dalam perjuanganmu. Rakyat ada di belakangmu jika itu kebenaran yang akan dirimu perjuangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H