Berbagai permasalahan remaja yang terjadi belakangan ini, seolah mengisyaratkan kepada kita semua bahwa bangsa ini sedang mengalami dekadensi moral. Seperti kasus Yuyun, pemerkosaan disertai pembunuhan yang dilakukan oleh 14 remaja dan diantaranya bahkan dibawah umur. Mendengar beritanya begitu menyesakkan dada. Ibu pertiwi merundung duka.
Ada lagi kasus tewasnya banyak anak muda karena menenggak miras oplosan dan pesta shabu. Anak sekolah yang frustasi bunuh diri karena diputuskan pacarnya, anak muda yang tewas tertabrak trotoar saat kebut-kebutan liar dijalan raya dan lain sebagainya.
Pilu rasanya, apabila hal semacam ini hanya jadi pembiaran dan konsumsi berita semata. Mungkin, beberapa puluh tahun ke depan, kita dapati generasi yang lemah dan merupakan sasaran empuk imperium kaum liberalis. Lingkungan kehidupan sekitar kita sudah disesaki peristiwa-peristiwa negatif seperti pembegalan, pornografi, anarki, korupsi, mutilasi dan ‘kebadungan’ masyarakat lainnya.
Kita membayangkan, betapa meratapnya para pahlawan yang telah gugur berkorban mati-matian memperjuangkan kemerdekaan negeri ini apabila melihat masalah sepelik itu. Berharap para generasi penerusnya mengisinya dengan prestasi dan peradaban agung, justru malah sebaliknya.
Untuk itu, diperlukan peran kita semua dalam memperbaiki keadaan ini agar tidak makin parah kedepannya.
Peran Keluarga
Peran yang paling penting sebenarnya dalam meredam kenakalan remaja adalah keluarga. Bagaiamana setiap anak diberikan pendidikan moral serta norma-norma sosial yang ditanamkan sejak kecil, terus di monitoring dalam setiap aktivitas serta pertumbuhan usianya. Keluarga menjadi magnet khusus ketika anak mengalami permasalahan diluar. Orang tua sebagai tempat diskusi yang nyaman, sehingga anak tidak mencari pencarian solusi yang bisa jadi salah tempat. Untuk itulah keharmonisan dalam rumah tangga perlu terjaga sebagai tolak ukur pembangunan karakter anak yang siap menyongsong masa depan lebih baik. Jadi, ketika anak kita memiliki masalah diluar, orang tua hendaknya segera intropeksi diri sebelum menghakimi anak semaunya. Orang tua sebaiknya memberikan bekal pengetahuan keagamaan yang baik kepada anaknya. Pemahaman keagamaan inilah sebenarnya yang bisa menjadi basic mentality seseorang, dia akan terus terdorong untuk melakukan kebaikkan (amal) karena tahu balasannya surga. Atau dia tidak berani melakukan sesuatu keburukkan (dosa) karena takut pada Tuhannya dan adanya neraka sebagai tempat pembalasan kelak. Orang tua harus mulai menyadari bahwa bekal terbaik adalah ilmu agama bukanlah materi semata.
Peran Sekolah
Di sekolah juga merupakan tempat anak-anak menghabiskan waktunya baik itu belajar maupun bermain dan bersosialisasi dengan teman atau gurunya. Karena di sekolah ada guru dan guru bisa dikatakan orang tua kedua bagi mereka. Sebagaimana misinya mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, cerdas disini dalam artian luas, bukan hanya pemikiran melainkan juga cerdas dalam kepribadiannya. Banyak anak justru mengalami fase perubahan mental saat mendapat pendidikan di sekolah. Bagaimana ia mencontoh tingkah laku gurunya dan teman-temannya. Itu kenapa guru hendaknya menjaga betul atittude-nya dalam keseharian, karena sebagian besar anak akan menganggap guru sebagai figure atau role model mereka. Sekolah juga hendaknya tidak hanya memprioritaskan nilai tekstual saja, melainkan memberikan penilaian juga terhadap kepribadian anak didiknya. Bagi anak yang memang nampak kecenderungan anti sosial atau pelanggar norma-norma, maka tidak mesti sanksi demi sanksi yang diberikan. Cobalah mulai mencari akar masalah dan menggalinya dengan counseling dan pendekatan intensif.
Peran Lingkungan
Umumnya masyarakat langsung sinis atau defense bila ada anak remaja yang kelakuannya menyimpang. Mereka seolah sudah diadili secara sosial yang berdampak makin aneh kelakuannya. Karena sifat anak muda yang ingin eksis ibarat api yang disiram minyak, makin disiram makin membesar bukannya padam. Apabila melihat kenakalan remaja, masyarakat sekitar hendaknya bisa memberikan penyadaran, tentunya dengan mendahulukan rasa empati. Hal ini sederhana sebenarnya, namun tak banyak orang yang berjiwa besar dilingkungan masyarakat sekitar kita. Orang-orang seperti ini seolah hanya ada dalam bentuk Kyai, ustadz, pemuka agama atau Ketua RT setempat. Padahal orang biasapun perlu berevolusi untuk menjadi pribadi pengayom anak muda. Mereka bisa menjadi pembimbing-pembimbing untuk mengajarkan generasi dibawahnya tentang bagaimana menghadapi tantangan hidup seperti yang telah dilaluinya. Dengan demikian, akan banyak anak muda yang pemikirannya sudah sangat bijak.