Mohon tunggu...
Penulis Pikiran
Penulis Pikiran Mohon Tunggu... Novelis - Mahasiswa

Perempuan labil yang tengah menginjak usia kepala dua, suka baca buku, menulis cerita, dan penggemar berat Taylor Swift. Seorang introvert yang lebih suka mengamati dan menuangkan pikiran dalam sebuah tulisan, serta berusaha melatih skill menulis.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Watak yang Keras

21 Januari 2025   13:50 Diperbarui: 21 Januari 2025   13:50 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Watak keras yang terus kau pelihara ternyata mempengaruhi ku juga, saat masa kecil mungkin aku masih bisa mencintai dirimu tetapi semakin dewasa tanpa sadar hal itu menyakitiku. 

Masa-masa kecil yang kulalui banyak membuat ku belajar, meskipun engkau masih menganggap perbuatan mu wajar, tapi untuk aku yang butuh kasih sayang, hal itu bisa membuatku tak tenang. 

Segala tingkah laku yang kau keluarkan, entah itu ucapan atau hanya sebuah candaan, ternyata itu adalah sifat yang akan kau turunkan.

Baca juga: Hujan di Malam Hari

Mulai dari bagaimana kau menyikapi keadaan, menyikapi masalah yang terus berdatangan, aku tidak pernah melewatkan.

Mungkin kau menganggap aku hanyalah makhluk kecil yang tak bisa meresapi sebuah kata, nyatanya aku mengetahui segalanya. 

Aku yang dulu mungkin bisa bertahan dengan sikapmu yang bisa saja kualihkan dengan hanya bermain pensil kayu, 

Baca juga: Terikat Takdir

Namun kurasa sekarang adalah puncak nya, 

Puncak dari semua rekaman memori yang terus berputar satu persatu, membuatku menyadari bahwa engkau tak seharusnya begitu. 

Memutar waktu pun sudah tidak mungkin, karna sampai detik ini pun engkau tampak tak menyesali. 

Puisi manis yang dulu ku letakkan di bawah bantal saat ulang tahun mu, kini beralih sebuah kata-kata yang penuh musuh. 

Aku tidak menyangka bahwa dulu aku pernah begitu mencintaimu, namun kenapa semakin dewasa aku malah semakin membenci mu. 

Apa mungkin kini aku sudah tersadar dari segala perilaku yang kau keluarkan ternyata tak seharusnya ku terapkan. 

Bagaimanapun sikap yang menempel pada diriku adalah tidak lain dan tidak bukan karna didikanmu.

Hal itu membuatku benci, sangat benci dengan diriku sendiri. 

Aku lelah harus terus memaklumi sikap mu yang keras, yang seharusnya engkau sadar bahwa kau tak lagi masa pubertas.

Engkau kini merasa sakit hati sekaligus sedih ketika melihat ku tumbuh menjadi sosok yang seperti ini, namun engkau lupa siapa yang membentuk ku hingga kini. 

Kau selalu ingin dipuja dan dianggap raja, seenaknya menyakiti ku yang kau kira aku tak mengingatnya.

Mengharapkan mu berubah pun sudah tak ada gunanya, semua yang engkau wariskan sungguh membuatku tak bisa terbebaskan. 

Kini hanya aku yang akan berjuang, menyembuhkan luka yang telah engkau goreskan terlalu dalam. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun