Dulu, saya penggemar salah satu atau dua klub di Eropa. Liga Inggris dan Liga Italia. Namun seiring kedewasaan dalam memandang hidup, saya memutuskan hanya menikmati sepakbola. Bukan menang kalah. Bukan persaingan. Menikmati saja pertandingan yang seru dan menyenangkan.Â
Sejak satu dekade terakhir, saya bukan lagi penggemar satu dua klub atau satu dua pemain tapi penggemar sepakbola secara utuh. Menikmati sajian permainan yang membahagiakan.
Namun, melihat kiprah Arsenal pada awal musim lalu (2021-2022), sungguh membuat hati gusar bukan kepalang. Tidak bahagia. Di tangan Arteta, beberapa pemain top mereka, tersingkir sehingga klub yang dijuluki gudang peluru itu, tersungkur. Tiga pertandingan awal tiga kali kalah.
 "Maunya Arteta apa ya? Kok kebijakan pemainnya seperti ini..."
Tulis saya dalam grup WA yang isinya pemain dan mantan pemain sepakbola kampus. Arteta mengandangkan Ozil sampai terbuang, lalu dia juga menjual Aubameyang, yang masih produktif. Sebelumnya, David Luiz juga dijualnya. Belakangan beberapa pemain lain seperti Willian didepaknya. Arteta hanya menyisakan pemain senior Elneny, Xhaka, dan Lacazette sampai akhir musim.Â
Gila. Arteta gila! Wajar kalau Arsenal pada awal musim itu tertatih-tatih. Bahkan sempat kalah 0-5 dari City. Untung mereka tidak punya fans segila MU dan Liverpool. Kalau itu terjadi di dua klub itu, pasti sudah berduyun-duyun suporter seantero bumi berdemo.
Perkiraan saya benar. Arsenal tidak mampu bersaing secara wajar dengan klub lain di Premier League. Penampilan mereka naik turun. Khas anak muda: galau. Sempat tak terkalahkan dalam 6 pertandingan, pernah menang terus dalam 4 partai, tapi juga pernah kalah lagi 3 kali beruntun. Pernah menang 6-0, 5-1, dan 3-0 tapi juga berkali-kali kalah 0-3 (dari Spur, bahkan Cristal Palace). Dipecundangi pula oleh Liverpool 0-4.Â
Persaingan mereka hanya dengan tim medioker sekelas MU (yang memang masih limbung saat itu) dan West Ham. Arsenal gagal masuk papan atas karena kalah kelas dibanding City, Liverpool, Chelsea, dan Spurs. Mereka berada pada posisi ke-5 klasemen. Gagal ke Liga Champions.Â
Tetapi pada beberapa pertandingan, saya melihat sesuatu yang menarik. Arteta mengandalkan pemain muda bahkan jadi skuad termuda musim itu (24 tahun 300 hari). Dan para pemain muda itu terlihat amat kompak. Nyetel.Â
Sepak bola indah mulai diperagakan dengan baik. Kedatangan White, Saliba, Lokonga, Ramsdale, dan Odegaard, menambah padat deretan anak muda seperti Pepe, Martinelli, dan Saka. Masih ada segudang pemain muda lainnya seperti Nketiah, Partey, dan Smith Rowe.Â