"Mas Dodi, bersedia tidak untuk keliling ke pesantren untuk Ngaji Literasi?" ucap Mas Budiyana, penanggung jawab Ngaji Literasi penerbit Quanta (subsidiary Elex Media Komputindo -- Grup Gramedia).
Tidak butuh waktu lama buat saya untuk mengiyakan. Untuk urusan literasi, seoptimal mungkin saya akan selalu bersedia. Tanpa embel-embel.
"Ini ada pesantren di Indralaya Sumatera Selatan, mau mengundang Mas," lanjut Mas Bud pada kesempatan berbeda. "Tapi jalan darat Mas..." katanya memberi sedikit rintangan.
"Ok. Tidak masalah," jawab saya tanpa keraguan sedikit pun.
Berliterasi adalah napas dalam kehidupan sejak bertahun-tahun silam. Tidak lain karena saya berprofesi sebagai penulis, sekaligus pendidik dan pengajar. Menyebarkan ilmu pengetahuan dan terutama karakter bangsa menjadi tujuan utama. Saya kok yakin, bangsa ini akan berubah menjadi lebih baik jika generasi muda semakin terisi dengan ilmu pengetahuan dan karakter yang tepat.
"Mas, jadwalnya 17 dan 18 Agustus," ujar Mas Bud memastikan waktu pelaksanaan Ngaji Literasi di Palembang. Mungkin Mas Bud khawatir saya mendapatkan undangan dari Istana untuk mengikuti upacara peringatan Kemerdekaan, hehe.
"OK..." jawab saya mantap. Selalu begitu. Tanpa syarat. Tanpa banyak tanya ini dan itu, untuk literasi. Dan memang pada tanggal itu saya belum punya agenda apa pun, kecuali setumpuk deadline penulisan buku, yang dapat dikerjakan di mana pun. Asal laptop dan colokan listrik tersedia.
Saya juga mengiyakan salah satu senior di Penerbit Gramedia itu, untuk hanya menjadi pendamping pembicara lain di Al Fahd. Dengan kata lain, saya tidak bicara di sana.
"Bagus Mas, biar saya bisa tahu situasi dan kondisi Ngaji Literasi lebih awal, sebelum jadi pembicara pada hari berikutnya..." itulah alasannya.
Ngaji Literasi adalah sebuah program dari Gramedia mendekatkan kegiatan literasi dengan kalangan pesantren di seluruh Indonesia. Program ini sudah berlangsung sejak 2019 silam. Sayang, program ini terhenti sejenak karena Pandemi Covid-19. Barulah pada Agustus ini, dimulai kembali, bersamaan dengan momentum ulang tahun Quanta yang ke-15. Saya berkesempatan untuk pertama kalinya Ngaji Literasi di Palembang, Sumatera Selatan.
Beberapa hari sebelum keberangkatan, Gramedia sudah meluncurkan flier acara tersebut. Dua pesantren di Sumatera Selatan itu juga sudah menyiapkan diri. Kami tim dari Jakarta berangkat ke Palembang pada 16 Agustus pagi. Melalui jalur darat...
Mas Budiyana, ditemani oleh Editor Quanta Mas Hedi, yang ternyata lulusan SMA Gontor. Punya pemahaman dan pengalaman memadai di dunia pesantren. Mereka duduk berdua di depan. Saya duduk di belakang menemani berdus-dus buku yang akan dihibahkan kepada dua pesantren.
"Realman itu tidak pernah menginjak pedal gas..." kata saya disambut tawa keduanya.
Para bos memang biasanya duduk di belakang, hehe...
Menurut informasi para pelaju Jakarta -- Palembang atau sebaliknya, perjalanan darat ke sana membutuhkan waktu sekitar 8 -- 10 jam. Jika beruntung di penyeberangan, bisa lebih cepat. Jika tidak beruntung, bisa lebih lambat. Dan kami tidak beruntung...
Tiba di Pelabuhan Merak pukul 12.00, ternyata harus menunggu sekitar 2 jam sebelum naik kapal, KMP Sebuku. Sudah lebih dari 20 tahun, terakhir kali saya menyeberangi Selat Sunda dengan kapal milik Pelni. Kini seperti bernostalgia. Menikmati alam semesta yang berbeda lagi. Lautan yang kadang terlihat seperti tinta. Tinta Sang Maha Kuasa. Kami tetap menyempatkan diri menulis di atas kapal.
Waktu perjalanan di atas samudera tidak lebih lama dibanding waktu menunggu. Pukul 16 kurang, sudah sampai di Bakauheni. Dalam waktu tidak lebih dari 10 menit, kami sudah melaju di jalan Tol Bakauheni -- Palembang. Inilah untuk pertama kalinya saya menyurusi jalan tersebut. Tetap sebagai realman. Duduk di kursi tengah.
Meski tidak semulus jalan tol Jagorawi, kehadiran tol Bakauheni sampai Palembang, sungguh membantu para pelaju. Sepanjang jalan yang terlihat hanya pohon, hutan, dan kebun. Plus iring-iringan awan di angkasa. Jarang terlihat rumah penduduk. Dalam hati sering berkata, "Indonesia masih luas... Anak cucu cicit saya kelak, masih punya kesempatan memiliki tempat tinggal..."
Menjelang matahari terbenam, setelah melepas penat dan mengisi angin ban, saya berubah pikiran. Tidak lagi hanya mau menjadi realman. Ini kesempatan langka, menakhodai mobil sejuta umat, di atas jalur bebas hambatan menuju Palembang.
"Jangan Mas... mas kan artisnya..." ujar Mas Bud menolak permintaan saya dengan sangat. Tapi saya ngotot. Dalam hati tertawa juga. Saya bukan artis kok. Saya suka berkendara di tempat baru. Bukan jalan tol sesungguhnya lebih asyik dan seru, seperti di pedalaman hutan Kalimantan pada 2021 lalu.
"Hanya sampai matahari terbenam ya..." jawab saya memberi alasan yang tidak bisa ditolak, sambil merebut kunci dari mas Hedi.
Kami berangkat dari kantor Gramedia di Palmerah pukul 10 pagi, dan tiba di Palembang pukul 10 malam. Pas 12 jam. Tentu dalam perjalanan, beberapa kali kami rehat mengisi perut, mengisi bensin, dan mengisi angin ban. Kira-kira paslah informasi dari beberapa orang, lama perjalanan Jakarta -- Palembang sekitar 10 jam. Dengan embel-embel, keberuntungan di pelabuhan.
(Bersambung...)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H