Mohon tunggu...
Dodi Mawardi
Dodi Mawardi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Writerpreneur, Pendidik, Pembicara

Penulis kreatif sudah menghasilkan puluhan buku, antara lain Belajar Goblok dari Bob Sadino dan Belajar Uji Nyali dari Benny Moerdani. Selain aktif menulis, juga sebagai dosen, pendidik, dan pembicara bidang penulisan, serta komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kisah Sukses Pembangunan Berbasis Komunitas di Malinau

17 Maret 2020   16:45 Diperbarui: 17 Maret 2020   16:46 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Belum pernah saya melihat geliat pembangunan begitu menggelora di wilayah yang dulu dianggap terisolir dan terbelakang, seperti ini. Masyarakat dari level terbawah ikut serta -- dalam arti sebenarnya -- merancang, merencanakan, melaksanakan, lalu mengawasi seluruh proses pembangunan daerah masing-masing. 

Saya baru menyaksikannya di Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara), yang sebagian wilayahnya berbatasan langsung dengan Malaysia. Satu dekade silam, kabupaten di perbatasan ini menyandang predikat 3T (Terdepan, Tertinggal, Terluar).

Gelora itu sejalan dengan pencapaian-pencapaian fenomenal kabupaten ini dalam mengubah kondisi masyarakat.

Catat deretan prestasinya!

  1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2018 -- 71,74, lebih tinggi dibanding rata-rata IPM Indonesia 71,39. Terjadi lompatan besar, karena sebelumnya IPM kabupaten ini jauh di bawah rata-rata IPM Nasional. IPM Malinau melampaui semua kabupaten, kota, provinsi lain di luar Jawa kecuali Provinsi Riau dan Sulawesi Utara. Bahkan IPM Provinsi Jawa Timur pun kalah tinggi.
  2. Tingkat kemiskinan pada 2010 di atas 26%. Sekarang, tingkat kemiskinan mereka melorot drastis ke angka 6%. Bukan hanya lonjakan, tapi suatu "keajaiban" karena dalam 10 tahun berhasil mengurangi tingkat kemiskinan sampai 20%.
  3. Status 3T sudah tak lagi menempel di Kabupaten Malinau. Mereka kini tidak lagi tertinggal, apalagi terisolir karena akses tarnsportasi dan akses telekomunikasi sudah tersambung ke semua desa.

Tiga indikator ini saja sudah dapat menggambarkan, betapa tingginya perubahan dampak pembangunan, yang dilakukan di kabupaten hasil pemekaran 1999 ini. Masih terdapat sederet pencapaian dan prestasi mereka, dalam sepuluh tahun terakhir. Anda bisa menemukan fakta-fakta itu lewat mesin pencari Google.

Apa rahasia sehingga mereka berhasil mencapai level pembangunan semacam itu?

Sang Bupatilah -- Dr. Yansen T.P., M.Si., yang berhasil mengubah wajah Malinau menjadi seperti sekarang. Dia tidak hanya sukses menyulap wilayahnya dengan pembangunan fisik, tapi juga berhasil mengubah paradigma seluruh masyarakatnya. 

Suatu pekerjaan yang sama sekali tidak mudah, dan sangat langka terjadi di Indonesia. Seluruh masyarakat mulai dari level RT, Desa, sampai ke Kota kini memiliki cara pandang berbeda dalam membangun wilayahnya, dibanding masa lalu. Mereka ikut serta (bahu membahu bersama pemerinrah) dengan semangat menggelora. Apatisme warga dalam pembangunan yang sering kita lihat di wilayah lain, tak akan tampak di Malinau.

Salurkan Dana Desa Sebelum Pemerintah Pusat

Sejak 2011, ketika lulusan IPDN ini memulai kariernya sebagai bupati, Yansen menerapkan konsep pembangunan yang benar-benar berbeda dibanding konsep pembangunan Indonesia pada umumnya. 

Konsep pembangunan yang melibatkan masyarakat desa secara aktif. Pemerintah Kabupaten Malinau memberikan pendidikan dan pelatihan secara kontinu kepada masyarakat desa. Dia habiskan waktu satu sampai dua tahun, untuk menyiapkan warga desa, terutama perangkat desa, agar mampu mandiri menyelenggarakan roda pemerintahan dan terutama pembangunan desanya.

Setelah dimampukan, Yansen memberikan kepercayaan penuh kepada Desa untuk mengelola wilayahnya. Dia menyerahkan 31 kewenangan Pemerintah Kabupaten kepada Pemerintah Desa. 

Suatu rekor tersendiri. Silakan cari data di manapun, tak ada pemerintah kabupaten di Indonesia, yang dengan sukarela -- apalagi tersistem -- memberikan kewenangan sebanyak itu kepada pemerintah desa. Izin-izin usaha sederhana seperti salon, barber shop, toko kelontong, dan sejenisnya yang ada di desa, tidak perlu lagi minta izin sampai ke level kecamatan apalagi kabupaten. Semua izin itu dikelola oleh pemerintah desa.

Tidak hanya sampai di situ, jauh sebelum pemerintah pusat menyalurkan dana desa secara bertahap, Yansen sudah menggelontorkan dana desa pada 2012. Jumlahnya luar biasa, bertahap mulai dari Rp 750 juta, sampai sekarang sudah lebih dari Rp 1,6 miliar per desa. Bahkan ada yang mendapatkan dana sekitar Rp 3 miliar. 

Wow... Dalam konsep pembangunan yang diusungnya, pemerintah desa dimampukan, lalu diserahkan kewenangan, kemudian diberikan dana. Tanpa dana, semampu apapun suatu desa, tidak akan bisa menjalankan roda pemerintahan, apalagi pembangunan.

Deretan hasil prestasi di ataslah sebagai balasan atas konsep pembangunan berbasis di desa yang diusung Bupati Malinau. Seperti  kata orang bijak, "Hasil tidak akan pernah membohongi proses." Dia menyebut program pembangunannya sebagai Gerakan Desa Membangun (Gerdema). Di banyak wilayah lain, termasuk di Kementerian Desa, sering kita dengar Gerakan Membangun Desa. 

Suatu konsep yang berbeda, bahkan berkebalikan. Gerakan Membangun Desa, dilakukan dan dikendalikan oleh pemerintah kabupaten. Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang bekerja membangun desa-desa di wilayahnya. Pemerintah desa, atau masyarakat desa, hanya menjadi penonton. Kalau pun terlibat, minim sekali. Tidak heran jika pembangunan tidak menyentuh kebutuhan dasar mereka.

Gerdema, justru berkebalikan. SKPD seringkali menjadi penonton. Keterlibatan besarnya hanya terjadi di awal, ketika menyiapkan dan memampukan orang desa. Setelah mereka mampu, SKPD hanya mendampingi dan ikut membantu mengawasi serta evaluasi. Pemerintah desa dan warganya-lah pelaku utama perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi pembangunan. 

Bupati Malinau yakin, pemerintah desa dan warganya jauh lebih mengerti kebutuhan pembangunan di wilayahnya dibanding SKPD. Pasti jauh lebih mengerti dibanding Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat. Dengan kepercayaan tersebut, di Malinau sekarang sudah terdapat beberapa desa yang mampu mengelola dana sebesar Rp 7-10 miliar per tahun!

Berdayakan Ketua RT

Gelora pembangunan di desa membuncah pada periode kedua sang Bupati 2016 -- 2021. Konsep Gerdema diperluas dan dipertajam lagi. Ujung tombak pembangunan bukan lagi Pemerintah Desa, melainkan para Ketua RT. Pendidikan dan pelatihan pembangunan, tidak hanya sampai level pemerintah desa. Sejak 2016, para Ketua RT dan warganya pun mendapatkan materi pemberdayaan. Mereka dimampukan untuk membangun wilayahnya. Paradigma mereka tentang pembangunan diperkuat lagi.

"Saya rela 'membuang' waktu satu sampai dua tahun, untuk mendidik, melatih, dan memampukan mereka. Karena setelah itu, mereka akan berdaya membangun wilayahnya..." demikian kata Sang Bupati pada beberapa kesempatan. "Bahkan 'membuang' waktu lima tahun pun saya rela. Yang penting kemudian, mereka menjadi berdaya dan punya paradigma yang tepat dalam pembangunan."

Seperti kepada pemerintah desa pada periode sebelumnya, Bupati Malinau juga memberikan kewenangan kepada Ketua RT. Selama ini, RT sering diabaikan. Antara ada dan tiada. Warga selalu membutuhkan kehadiran mereka, mulai dari urusan rumah tangga, sampai keperluan membuat surat-menyurat resmi. Akan tetapi, peran, fungsi, dan tugas penting tersebut kerap dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Dalam Undang-undang, RT tidak termasuk dalam rantai birokrasi resmi pemerintah. Mereka dikelompokkan sebagai lembaga ketahanan desa, setara dengan PKK, atau Posyandu. Padahal, RT punya warga, punya wilayah, dan punya aset.

RT adalah representasi yang paling dekat dengan rakyat. Jika pembangunan mau menyentuh langsung rakyat, mau langsung berdampak kepada rakyat, mau tidak mau, suka tidak suka, harus melalui RT. Suatu posisi strategis, yang dilihat Yansen sebagai 'senjata' mujarab dalam menjalan konsep pembangunan berbasis komunitas. Dia berdayakan RT, dia mampukan RT, dia berikan RT kekuatan. Bukan sekadar wacana.

Saya baru menyaksikan seumur hidup, pemilihan Ketua RT berlangsung secara serentak, di Malinau. Wajar kalau mendapatkan Rekor MURI. Saya juga baru melihat begitu banyak warga yang berminat menjadi Ketua RT. Di tempat lain, seringkali terjadi saling tunjuk dan terpaksa. Saya juga baru kali ini menjadi saksi mata bagaimana Pemerintah Kabupaten Malinau melaksanakan fit and proper test buat para calon Ketua RT. Tak ada di daerah lain. Bukan gaya-gayaan dan mengejar rekor, tapi ada konsep besar yang melandasinya. Konsep pembangunan berbasis komunitas yang diawali oleh Gerdema, dan kemudian dipertajam menjadi Revolusi RT.

Wajar saja warga berbondong-bondong mencalonkan diri menjadi Ketua RT, karena dalam konsep pembangunan ini setiap Ketua RT di Malinau mendapatkan gaji setara UMR. Setahu saya tidak ada satu pun provinsi, kabupaten, atau kota lain di Indonesia yang menggaji Ketua RT setara UMR. Di ibu kota negara saja -- sebagai tolok ukur -- para Ketua RT hanya diberikan uang operasional (seringkali dirapel) dengan jumlah jauh di bawah UMR. Padahal PAD Ibu Kota Jakarta, terbesar di Indonesia.

Wajar juga masyarakat RT begitu bersemangat membangun wilayahnya karena Bupati Yansen menyalurkan dana pembangunan untuk RT sebesar Rp 260 juta per tahun. Belum ada daerah lain yang membuat kebijakan revolusioner semacam ini. Mampukah RT dan warganya mengelola dana tersebut? Jika Anda membaca artikel ini dengan saksama, tentu pertanyaan itu tak akan muncul. Sebelum menyalurkan dana dan memberikan kewenangan, Pemkab Malinau sudah lebih dulu memampukan dan memberdayakan mereka. Selain pendampingan secara terus menerus. Buktinya, bisa dilihat sekarang. Berkali-kali manajemen keuangan Pemkab Malinau (termasuk manajemen penyaluran dana kepada desa dan RT), meraih penghargaan sebagai laporan keuangan terbaik di Indonesia.

Saya menyimpulkan setelah mengamati sejak 2012 sampai sekarang, bahwa konsep pembangunan seperti inilah yang seharusnya diterapkan di Indonesia. Jargon menyejahterakan rakyat, yang selama ini hanya tersangkut di kertas, harus segera dihentikan. Rakyat itu berada di desa/kelurahan. Rakyat itu berada di RT. Tak ada satu pun manusia Indonesia yang tidak berdiam di RT (Kecuali yang tinggal di luar negeri). Sentuh mereka. Berdayakan mereka. Mampukan mereka. Berikan kewenangan. Berikan bahan bakar (dana). Berputarlah dana besar di desa dan di RT. Berikan kepercayaan sepenuhnya.

Kisah sukses pembangunan berbasis komunitas di Malinau, selayaknya menjadi contoh. Silakan para ahli pembangunan mengkajinya. Para mahasiswa IPDN menelitinya. Silakan para politisi mempelajari, dan kemudian menyempurnakannya. Sudah terbukti kok. Bukan lagi sekadar konsep atau wacana. Tidak perlu istilah-istilah keren untuk membangun. Tak harus juga mengadopsi cara membangun negara maju.

Dengan sederet keberhasilan itu, sangat wajar jika pada 2017 lalu Bupati Malinau mendapatkan penghargaan sebagai 10 Kepala Daerah Terbaik pilihan Majalah Tempo. Sudah terbukti dan diakui.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun