Konsep pembangunan yang melibatkan masyarakat desa secara aktif. Pemerintah Kabupaten Malinau memberikan pendidikan dan pelatihan secara kontinu kepada masyarakat desa. Dia habiskan waktu satu sampai dua tahun, untuk menyiapkan warga desa, terutama perangkat desa, agar mampu mandiri menyelenggarakan roda pemerintahan dan terutama pembangunan desanya.
Setelah dimampukan, Yansen memberikan kepercayaan penuh kepada Desa untuk mengelola wilayahnya. Dia menyerahkan 31 kewenangan Pemerintah Kabupaten kepada Pemerintah Desa.Â
Suatu rekor tersendiri. Silakan cari data di manapun, tak ada pemerintah kabupaten di Indonesia, yang dengan sukarela -- apalagi tersistem -- memberikan kewenangan sebanyak itu kepada pemerintah desa. Izin-izin usaha sederhana seperti salon, barber shop, toko kelontong, dan sejenisnya yang ada di desa, tidak perlu lagi minta izin sampai ke level kecamatan apalagi kabupaten. Semua izin itu dikelola oleh pemerintah desa.
Tidak hanya sampai di situ, jauh sebelum pemerintah pusat menyalurkan dana desa secara bertahap, Yansen sudah menggelontorkan dana desa pada 2012. Jumlahnya luar biasa, bertahap mulai dari Rp 750 juta, sampai sekarang sudah lebih dari Rp 1,6 miliar per desa. Bahkan ada yang mendapatkan dana sekitar Rp 3 miliar.Â
Wow... Dalam konsep pembangunan yang diusungnya, pemerintah desa dimampukan, lalu diserahkan kewenangan, kemudian diberikan dana. Tanpa dana, semampu apapun suatu desa, tidak akan bisa menjalankan roda pemerintahan, apalagi pembangunan.
Deretan hasil prestasi di ataslah sebagai balasan atas konsep pembangunan berbasis di desa yang diusung Bupati Malinau. Seperti  kata orang bijak, "Hasil tidak akan pernah membohongi proses." Dia menyebut program pembangunannya sebagai Gerakan Desa Membangun (Gerdema). Di banyak wilayah lain, termasuk di Kementerian Desa, sering kita dengar Gerakan Membangun Desa.Â
Suatu konsep yang berbeda, bahkan berkebalikan. Gerakan Membangun Desa, dilakukan dan dikendalikan oleh pemerintah kabupaten. Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang bekerja membangun desa-desa di wilayahnya. Pemerintah desa, atau masyarakat desa, hanya menjadi penonton. Kalau pun terlibat, minim sekali. Tidak heran jika pembangunan tidak menyentuh kebutuhan dasar mereka.
Gerdema, justru berkebalikan. SKPD seringkali menjadi penonton. Keterlibatan besarnya hanya terjadi di awal, ketika menyiapkan dan memampukan orang desa. Setelah mereka mampu, SKPD hanya mendampingi dan ikut membantu mengawasi serta evaluasi. Pemerintah desa dan warganya-lah pelaku utama perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi pembangunan.Â
Bupati Malinau yakin, pemerintah desa dan warganya jauh lebih mengerti kebutuhan pembangunan di wilayahnya dibanding SKPD. Pasti jauh lebih mengerti dibanding Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat. Dengan kepercayaan tersebut, di Malinau sekarang sudah terdapat beberapa desa yang mampu mengelola dana sebesar Rp 7-10 miliar per tahun!
Berdayakan Ketua RT
Gelora pembangunan di desa membuncah pada periode kedua sang Bupati 2016 -- 2021. Konsep Gerdema diperluas dan dipertajam lagi. Ujung tombak pembangunan bukan lagi Pemerintah Desa, melainkan para Ketua RT. Pendidikan dan pelatihan pembangunan, tidak hanya sampai level pemerintah desa. Sejak 2016, para Ketua RT dan warganya pun mendapatkan materi pemberdayaan. Mereka dimampukan untuk membangun wilayahnya. Paradigma mereka tentang pembangunan diperkuat lagi.