Mohon tunggu...
Dodi Mawardi
Dodi Mawardi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Writerpreneur, Pendidik, Pembicara

Penulis kreatif sudah menghasilkan puluhan buku, antara lain Belajar Goblok dari Bob Sadino dan Belajar Uji Nyali dari Benny Moerdani. Selain aktif menulis, juga sebagai dosen, pendidik, dan pembicara bidang penulisan, serta komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ternyata 54% Satpam Lulusan Perguruan Tinggi

22 April 2018   08:47 Diperbarui: 22 April 2018   20:12 4392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Anak seorang satpam sukses menjadi doktor (S3) [...]" demikian salah satu berita yang mengemuka beberapa hari lalu. 

Menarik. Wartawan dan masyarakat menganggap hal tersebut sebagai sebuah hal yang istimewa. Unik. Hal unik menjadi daya tarik buat media massa.

Jangankan menjadi doktor, anak satpam meraih gelar sarjana S1 atau master pun (S2), masih dianggap istimewa. Satpam dianggap sebagai kelas bawah, yang menjadi istimewa jika berhasil meraih sesuatu bernilai tinggi: sarjana (S1, S2 atau S3). Baik dirinya maupun keluarganya.

Bagaimana kalau satpamnya sendiri bergelar doktor? Bisa geger se-Indonesia. Seluruh media massa, baik elektronik, cetak maupun online pasti akan memburu sang satpam tersebut. Acara talkshow televisi dan radio akan dihiasi oleh wawancara dengan sang satpam bergelar doktor tersebut. Sebuah kontradiksi, satpam yang dicap sebagai profesi rendahan dengan gelar doktor yang adalah level akademik tertinggi.

Faktanya, jangankan doktor, satpam bergelar sarjana di Indonesia pun masih bisa dihitung dengan jari. Meski belum ada data yang mengungkapkannya, tapi sebagian besar para pekerja yang bertugas sebagai satpam adalah lulusan SMA atau di bawahnya.

Tengoklah lowongan pekerjaan di berbagai perusahaan, baik perusahaan kecil, sedang, maupun besar. Syarat menjadi satpam adalah lulusan SMA.

Dalam sejumlah aturan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah, satpam berada pada level terbawah dari struktur perusahaan. Mereka disetarakan dengan sopir, office boy dan tenaga cleaning service. Padahal, tugas dan fungsi satpam sungguh jauh berbeda dibanding levelnya.

Mabes Polri menempatkan satpam sebagai kepanjangan tangan mereka, yang boleh melaksanakan sejumlah kewenangan kepolisian secara terbatas.

Satpam-lah sesungguhnya, salah satu garda terdepan bangsa ini dalam menjaga keamanan, karena jumlah satpam jauh lebih banyak dibanding personel kepolisian.

Jika seluruh satpam, benar-benar berfungsi sebagai tenaga pengamanan dengan kewenangan kepolisian terbatas, bisa dipastikan Indonesia akan jauh lebih aman dibanding kondisi saat ini. Sebuah ketimpangan antara fungsi dan tugas, dengan peraturan yang berlaku.

Atasi Ketimpangan

Hal ini sebenarnya sudah disadari Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Sejak 2017 lalu, Kapolri mencanangkan program pemuliaan satpam.

Profesi satpam harus ditingkatkan levelnya: wajib diperbaiki kualitas dan kompetensinya; "fardhu ain" dinaikkan kesejahteraannya. Fungsi dan tugas mereka terlalu berharga buat kepolisian jika dibiarkan tetap seperti sekarang.

Program pemuliaan satpam, tujuan akhirnya bukan hanya untuk satpam itu sendiri atau kepolisian, melainkan untuk bangsa dan negara. Apalagi tantangan keamanan negara setiap tahun terus meningkat dan bervariasi: ancaman terorisme, radikalisme, intoleransi, narkoba, hoax, dan banyak lagi lainnya begitu nyata di depan mata. 

Ketidaksingkronan antara peraturan itu berlangsung sampai sekarang. Mabes Polri memuliakan, namun institusi lain justru menistakan.

Akibatnya, nasib satpam untuk urusan kesejahteraan: 'jauh panggang dari api'. Mereka hanya menjadi karyawan kontrak seumur hidup di perusahaan penyedia jasa pengamanan.

Sebagian besar dari mereka pasti kesulitan untuk menaikkan level kesejahteraannya jika tetap berada dalam sebuah perusahaan. Kontrak lagi. Putus kontrak. Kembali ke nol lagi, untuk kontrak baru. Terus menerus seperti itu, dengan gaji UMR/UMP. Sebagian besar industri pengguna jasa satpam bahagia dengan peraturan tersebut.

Kondisi demikian, menghambat peningkatan kualitas dan kompetensi satpam. Buat apa menaikkan level kompetensi, jika penghasilan tetap pas-pasan? Sangat logis. Namun sampai kapan kondisi tersebut akan berlangsung? Cermin sangat baik bisa kita lihat di negara-negara maju. Mereka pun awalnya mengalami hal yang sama. Satpam adalah profesi rendahan.

Perusahaan-perusahaan menganggap sepele masalah keamanan. Tapi lambat laun, kondisi tersebut berubah. Yang mengubahnya adalah seluruh stakeholder di bidang pengamanan, baik regulator, pelaku industri maupun pengguna jasa.

Melihat kebijakan Kapolri Jenderal Tito Karnavian, seharusnya saat inilah momentum perubahan tersebut.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Lulusan Perguruan Tinggi

Data pada 2012 lalu, menyebutkan jumlah satpam di Amerika Serikat antara 1,5-2 juta orang. 54 persen dari mereka adalah lulusan perguruan tinggi (12 persen sarjana S1, dan 42 persen lulusan Diploma 3). Sisanya lulusan SMA.

Melihat komposisi itu, boleh dikatakan industri pengamanan di Amerika Serikat sudah amat maju. Profesi satpam sudah menjadi pilihan para sarjana. Meski, level penghasilan mereka per tahun masuk dalam kategori menengah. Atau sekadar perbandingan, masih di bawah profesi pengacara atau dokter.

Kualitas dan kompetensi pelaku industri pengamanan di sana sudah sangat jauh meninggalkan kita. Beragam sertifikasi sub profesi satpam seperti loss prevention, crime prevention, investigasi, fire protection, crisis management, disaster management, counterterrorism, atau excecutive protection sudah bermunculan sejak 1990-an lalu.

Industri memang membutuhkannya. Kesadaran industri tentang jargon "aman itu mahal, tapi tidak aman lebih mahal lagi," sudah sangat meresap. Keamanan bukan lagi aspek anak tiri dalam perusahaan, melainkan juga salah satu sektor vital.

Di Amerika, sejumlah perguruan tinggi sudah memiliki program atau bahkan jurusan yang khusus mempelajari bidang keamanan.

Bahkan pada 2012 saja, sudah ada 82 perguruan tinggi di sana yang menyelenggarakan pendidikan khusus bidang loss prevention (salah satu subbidang industri pengamanan). Perguruan tinggi di Amerika juga merespons kebutuhan yang terus meningkat dari industri terkait keamanan. 

Sementara kita, sampai saat ini pun masih belum memiliki lembaga sertifikasi profesi (LSP), khusus bidang pengamanan (industrial security/private security).

Padahal, wacana ini sudah mengemuka beberapa waktu sebelum Kapolri mengeluarkan Peraturan Kapolri (Perkap) no. 24/2007. Polri dan kalangan industri sudah menyusun Standar Kompetensi Kerja Nasional (SKKNI) bidang pengamanan. 

Akibat sejumlah hal, SKKNI tersebut belum pernah diterapkan dalam industri pengamanan. Satpam Indonesia sama sekali belum teruji kompetensinya, karena belum ada sertifikasi yang dikeluarkan oleh BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi), sebuah lembaga resmi tukang stempel kompetensi yang diakui secara regional dan internasional.

Perguruan tinggi? Belum ada satu pun perguruan tinggi di Indonesia yang secara khusus menyelenggarakan pendidikan tentang keamanan industrial.

Seminar tentang keamanan yang digelar perguruan tinggi pun masih sangat jarang --kalau tidak boleh dikatakan tidak ada. Apalagi program studi atau jurusan. Yang ada adalah jurusan kriminologi, ilmu yang mempelajari seluk beluk segala hal terkait perilaku kriminal. Ilmu kepolisian berbeda dengan sub-sub keilmuan di bidang pengamanan. 

Teringat dengan kisah H.M. Hindarto, pensiunan jenderal polisi yang membuka sebuah perusahaan penyedia jasa pengamaman pada 1990-an lalu.

Awalnya, ia merasa sangat tahu tentang industri ini karena pensiunan polisi, yang sehari-hari bertugas sebagai penjaga keamanan. Tapi begitu terjun, ia mengatakan, "Ternyata saya tidak tahu sama sekali [..]."

Ilmu dan praktik di industri pengamanan, berbeda dengan ilmu kepolisian. Lebih banyak hal spesifik dan mendalam. Pemilik Nawakara itu pun baru bisa menjalankan usahanya sesuai dengan kebutuhan industri, setelah merekrut konsultan dari Afrika Selatan.

Harus Bersatu Padu

Kinilah saatnya, momentumnya, para pelaku industri pengamanan untuk bersatu padu mendukung Polri dalam memuliakan satpam; meningkatkan level kompetensi dan menaikkan tingkat kesejahteraan.

Egosime sektoral, egoisme asosiasi, egoisme perusahaan, egoisme lainnya harus dikikis habis, demi kepentingan yang lebih besar, kepentingan bersama di bidang pengamanan. Ujung-ujungnya, program pemuliaan satpam ini akan menguntungkan semua pihak, terutama para pelaku industri pengamanan dan pengguna jasanya.

Hanya dengan bersatu padu dan menyingkirkan egoisme, industri pengamanan bisa maju lebih cepat. Apalagi saat ini, para regulator sudah mulai menyadari betapa pentingnya tugas dan fungsi industri pengamanan, dalam membantu negara menjaga keamanan nasional. 

Momentum ini tak boleh dilewatkan. 

Bolehlah kelak kita bermimpi, sebagian besar satpam Indonesia adalah para lulusan perguruan tinggi, lebih berkelas dan sejahtera.

Dan ketika mereka mampu menyekolahkan anak ke level tertinggi pendidikan, bukanlah sebuah hal istimewa lagi. Biasa...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun