Jika wartawan tidak melaksanakan prinsip, etika, rambu dalam melaksanakan tugasnya, lalu apa bedanya wartawan dengan non wartawan? Hal inilah yang terjadi dewasa ini, ketika media sosial menjadi raja baru penguasa informasi. Media sosial tidak mengenal verifikasi. Apa yang ada, itulah yang tersebar. Apa adanya. Verifikasi bersifat individual si penerima. Apakah mau menelannya sendiri, atau menyebarkannya kembali. Wartawan tidak demikian.Â
Dia terikat dengan sejumlah aturan. Setiap informasi yang mereka dapatkan, wajib diverifikasi, dicek dan ricek akurasi serta tingkat kebenarannya. Kalau tanpa verifikasi, tak perlulah seorang wartawan lulusan perguruan tinggi yang meliput, sekelas office boy (OB) pun bisa (saya pernah membuktikannya).
Sungguh, kondisi ini sangat mengkhawatirkan. Perilaku sebagian wartawan dan organisasi media kita yang kian hari kian jauh meninggalkan fungsi dan perannya sebagai pilar demokrasi kelima. Media resmi ini justru cenderung terbawa oleh perilaku khas media sosial, yang suka dengan hal-hal fantastis, bombastis dan sensasional dengan tingkat akurasi yang sangat rendah. Hal yang dulu hanya menjadi milik media-media kuning (yellow journalism). Kini lebih parah, karena fakta dan non fakta pun bisa saling berkebalikan. Fitnah merajalela.
Sebelum kasus mafia beras ini, saya sudah menemukan banyak sekali -- sekali lagi banyak sekali -- perilaku menyimpang dari kawan-kawan sebagian wartawan. Sangat mengecewakan. Sampai pada tahap MUAK. Mereka begitu mudah membuat berita yang tidak akurat -- akibat persaingan media, tuntutan kecepatan media online, dan lain sebagainya.Â
Karakter wartawan ideal yang sangat hati-hati, tidak mudah percaya, kritis, dan menguasai permasalahan, nyaris tidak ada lagi. Sebagian wartawan kita cenderung menjadi pemalas. Yang penting kuota berita terpenuhi sesuai tuntutan perusahaan, selesai. Menyedihkan. Sebagian para wartawan itu, kadang kalah akurat oleh media warga seperti Kompasiana.
Pada level tertentu, kondisi kualitas wartawan Indonesia ini, akan teramat sangat membahayakan keamanan dan pertahanan negara. Kombinasi kualitas rendah wartawan dan gebyar media sosial, akan menghasilkan realitas media yang sungguh jauh dari fakta sesungguhnya. Seluruh elemen masyarakat, khususnya para tokoh jurnalistik, tokoh politik, figur publik, dan yang peduli pada negara ini, wajib segera membenahi masalah ini. Ini bukan hal sepele. Media massa -- konvensiolan, online dan medsos -- sudah menjadi makanan pokok sehari-hari masyarakat. Kalau yang dimakan setiap hari adalah sampah, maka masyarakat akan sakit lalu mati.
Sekarang, yang terkena imbas baru jajaran kepolisian dalam kasus mafia beras, ke depan... akan makin banyak pihak yang menjadi korban 'gegabah'nya sebagian media kita dalam menyampaikan informasi. Â Sekarang, masyarakat banyak yang terkecoh akibat tak akuratnya informasi, dengan ikut-ikutan berkomentar di media sosial. Tidak peduli tingkat pendidikan, informasi tidak akurat akan memangsa siapapun.
Satu lagi PR besar bangsa ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H