Awalnya saya cenderung mengamini pendapat sejumlah kolega terkait serampangannya pernyataan Polri dalam kasus penggerebekan gudang beras PT. IBU. Â Kasus tersebut heboh dan menghebohkan. Sejumlah fakta diungkap media, terkait kesalahan PT. IBU dan kerugian negara, yang konon berasal dari pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Publik pun ramai bukan kepalang. Pro dan kontra begitu seru, menambah daftar panjang kegaduhan di negeri ini. Apalag era medsos menjadikan kegaduhan itu menjadi-jadi. Nasihat para ulama untuk tabayyun terhadap sebuah informasi, selalu terabaikan.
Namun belakangan, saya melihat sejumlah keganjilan. Kolega saya di kepolisian menyodorkan sejumlah fakta yang cukup berkebalikan dengan berita-berita di media massa. Dua hal yang menjadi perhatian khusus yaitu angka kerugian negara yang disampaikan Kapolri dan pasal-pasal yang dituduhkan kepada PT. IBU. Menurut berita yang berkembang, dan saya buktikan dengan mudah karena arsipnya berserakan di internet, kerugian negara akibat dugaan penyimpangan PT. IBU mencapai lebih dari Rp 400 triliun. Dugaan-dugaan lainnya yang disampaikan Kapolri dan Mentan juga berserak di media-media internet, baik media konvensional maupun media maya.
Ternyata, pernyataan Kapolri tentang kerugian negara tersebut bukan hanya untuk PT. IBU sendiri. Melainkan secara keseluruhan, potensi kerugian akibat kejahatan beras (atau lebih mudah disebut sebagai mafia beras) di Indonesia. Kapolri sudah menyampaikan hal tersebut, sejak 5 Juli -- jauh sebelum peristiwa PT. IBU 20 Juli. Dalam kesempatan itu, Kapolri menyampaikan bahwa Satgas Pangan akan lebih serius memberantas mafia beras. Kapolri menyampaikan sejumlah fakta yang membuatnya harus fokus pada mafia beras, terutama potensi kerugian negara yang lebih dari Rp 400 triliun. Kapolri pun merinci sejumlah cara-cara kejahatan para mafia beras tersebut, mulai dari mengoplos beras, memanipulasi, curang subsidi, beli harga tinggi dan lain sebagainya. Pernyataan Kapolri ini juga sudah tersebar di beragam media massa, termasuk online. (Sumber: 1, 2, 3)
Pernyataan tersebut diulang Kapolri pada 20 Juli ketika ikut menggerebek gudang PT. IBU bersama menteri pertanian dan sejumlah instansi lainnya. Lalu apa yang terjadi?
Nyaris semua media menelan mentah-mentah pernyataan Kapolri tersebut, seolah-olah kerugian negara sebesar lebih dari Rp 400 triliun itu adalah akibat kecurangan PT. IBU. Masyarakat kaget. Terkejut. Banyak pihak tidak percaya. Sejumlah kalangan menyebut Kapolri mengada-ada. PT. IBU membantah. Pak Anton Apriantono, Komisaris Utama/Independen PT. Tiga Pilar Sejahtera Food (induk PT. IBU), berreaksi sangat keras. "Fitnah besar. Apakah polri tidak takut azab?" ucap pak Anton.Â
Mantan menteri Tifatul Sembiring tidak kalah keras berreaksi. Bahkan dalam twitternya, mantan menteri tersebut sampai-sampai menghitung jumlah beras dalam truk senilai triliunan itu, yang kalau dijejerkan membutuhkan 14 ribuan km jalan. "Tidak masuk akal..." ujarnya. Sejumlah kalangan lain juga demikian. Apalagi publik dan warga dunia maya wabilkhusus warga medsos. Pernyataan kapolri menjadi olok-olok belaka.
Tentu saja tidak masuk akal. Tentu saja menjadi olok-olok dan guyonan, karena fakta yang disampaikan Kapolri bukan seperti itu. Seperti dijelaskan di awal, bahwa Kapolri menjelaskan secara umum tentang mafia beras, sedangkan sebagian media menyematkannya langsung secara khusus pada kasus PT. IBU. Jelas-jelas tidak klop. Masa iya, hanya dengan 1.100 ton (kapasitas 2.000 ton) bisa merugikan sampai Rp 400an triliun? Â Mikiiiir, kalau kata Cak Lontong.
Kenapa hal ini sampai terjadi?
- Bisa saja dalam penyampaian Kapolri ada kalimat yang tak terucap, atau tidak jelas terucap, atau tidak terdengar oleh media.
- Kondisi noise (gangguan suara) di sekitar lokasi penggerebekan bisa jadi cukup mengganggu.
- Itulah kelemahan bahasa lisan. Bahkan meski sudah direkam oleh kamera televisi pun belum tentu terekam secara utuh seluruhnya.
Dan beragam kemungkinan teknis lainnya.
Yang lebih menjadi perhatian saya justru adalah kualitas para awak media. Ini bukan kali pertama saya menemukan kegegabahan tingkat tinggi dari sebagian kawan-kawan media (saya sebut sebagian, karena tidak semuanya). Para jurnalis itu, cenderung mengabaikan sejumlah hal terkait profesi mereka. Profesi yang sesungguhnya sangat mulia, bahkan disebut sebagai pilar demokrasi kelima -- jurnalis/pers.Â
Terdapat sejumlah patokan, rambu dan kode etik yang harus dipenuhi awak media, dalam setiap peliputannya. Dalam kasus mafia beras ini -- khususnya kasus penggerebekan PT. IBU - sebagian awak media melanggar banyak rambu tersebut.
- Awak media melanggar Kode Etik Jurnalistik pasal 1, yaitu Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang AKURAT, berimbang dan tidak beritikad buruk. Dalam hal ini, awak media menyajikan informasi yang TIDAK AKURAT. Pernyataan kapolri tersebut sama sekali tidak akurat.
- Awak media melanggar Kode Etik Jurnalistik pasa 3, yaitu Wartawan Indonesia SELALU MENGUJI informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Pernyataan Kapolri ditelan mentah-mentah tanpa diuji terlebih dahulu namun langsung disebar ke publik. Tentu amat berbahaya! Salah satu tugas utama wartawan adalah menguji validitas fakta, data dan pernyataan narasumber. Â Andaikan wartawan menyediakan sedikit waktu untuk menguji pernyataan tersebut.
- Awak media melanggar etika/moral versi Bill Kovach yang terkenal dengan sebutan 9 Elemen Jurnalistik (belakangan menjadi 10 Elemen) -- tertuang dalam buku The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (New York: Crown Publishers). Yang dilanggar adalah elemen nomor 3 berbunyi, "Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi." Â Dalam kasus PT. IBU, sebagian besar wartawan tidak melaksanakan prinsip dasar verifikasi. Andaikan wartawan menyediakan sedikit waktu untuk melakukan verifikasi. Apalagi zaman sekarang sangat mudah verifikasi, tinggal klik mbah google.