Penulis buku-buku bestseller kemungkinan besar pernah merasakan bukunya dijiplak atau dibajak. Penjiplak atau pembajak hanya menjiplak/membajak buku yang laris. Pasti.
Beberapa tahun silam, buku karya saya dan Tirta Setiawan "Sales Kaya Sales Miskin" dijiplak oleh sebuah buku dengan menyadur langsung sebanyak lebih dari 20 halaman oleh penulis asal Surabaya, tanpa menyebut sumber. Kami protes. Kebetulan penerbitnya masih satu grup Gramedia. Penulisnya minta maaf, buku jiplakan ditarik, urusan selesai. Damai.
Mentor saya Darmadi Darmawangsa - bos Era Indonesia, mengalami hal serupa. Buku larisnya "Fight Like a Tiger Win Like a Champion" juga dijiplak. Pak Darmadi lebih galak daripada kami, hehe. Penjiplak tidak cukup hanya meminta maaf melainkan juga wajib membiayai satu kali cetak ulang buku pak Darmadi sebanyak kurang lebih 3000 eksemplar. Wah. Urusan selesai.
Bagaimana sih rasanya buku kita dijiplak/dibajak? Sebel, kesel, mangkel... awalnya. Lama-lama jika buku jiplakan malah tersebar bebas di toko buku dan laris, jadinya sakit hati. Kok bisa?
Buku saya "Belajar Goblok dari Bob Sadino" juga dijiplak. Buku jiplakan hadir sekitar pertengahan 2016. Isinya hampir 100% sama. Hanya diutak-atik redaksi kalimat dan susunan babnya saja. Judulnya "Goblok Pangkal Kaya". Penulisnya alumnus UGM. Diterbitkan oleh penerbit Genesis Yogya. Penerbit lama buku saya Kintamani, diam saja. Justru distributornya yang aktif dan meminta saya bergerak cepat.
Saya sudah protes ke penerbitnya, tidak direspon. Protes ke penulisnya, direspon dengan permintaan maaf dan sejumlah alasan melalui emaii. Mengadu ke toko Gramedia dan meminta agar buku jiplakan tersebut ditarik sejak akhir tahun 2016, sampai sekarang belum direspon. Padahal sudah melalui jalur resmi distributor Buku Kita. Buku jiplakan tersebut tetap melenggang dan laris di toko buku.
Apalagi yang harus dilakukan?Â
Saya alihkan hak terbit buku tersebut ke Elex Media Komputindo (grup Gramedia) agar proses keberatan terhadap keberadaan buku jiplakan lebih didengar. Semoga berhasil karena masih dalam proses. Meski saya tetap kecewa karena seharusnya etika lebih dikedepankan dalam bisnis apapun. Apalagi industri buku yang sangat erat kaitannya dengan pendidikan dan intelektual.
Guru menulis saya Bambang Trim menyarankan untuk membuat somasi. Hal yang masih saya dipertimbangkan, sambil menunggu proses di Gramedia. Yang jelas setiap kali melihat buku jiplakan itu terjual di konter toko Gramedia, muncul sebersit rasa yang berbunyi, "Sakitnya tuh di sini."
Apalagi Minggu sore tadi (23/7) saya mencari buku Belajar Goblok edisi baru di Gramedia Pajajaran Bogor. TIdak ada di rak dan meja pajang. Padahal di komputer pencarian, buku tersebut tersedia 10 eksemplar. Saya minta bantuan staf toko Gramedia untuk mencari buku tersebut. Menunggu 5 menit, staf tersebut kembali dengan membawa sebuah buku. "Pak adanya buku ini..." ujarnya polos.
Buku jiplakan itu yang disodorkan kepada saya. Sakitnya tuh di sini makin terasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H