Akhirnya, hanya 281 siswa yang terpillih. Ada anak tentara, anak polisi, anak pengusaha, anak pejabat... tapi sebagian terbesar adalah anak-anak keluarga termarjinalkan. Anak tukang jahit, anak nelayan, anak petani, anak guru, anak... dan beragam profesi lainnya. Mereka berasal dari  Jakarta, Jawa, Madura, Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, Timor Timur dan pelosok Papua.  Semua terwakili!
Perjalanan 27 Tahun
Sebuah lembaga pendidikan, akan menghasilkan lulusan berkualitas jika dan hanya jika mampu menjaga dan memperbaiki konsep awal serta dikelola oleh SDM yang berkualitas dan input siswa yang terseleksi.
Sejak 1990 hingga 2002, SMA TN menggratiskan seluruh biaya pendidikan. Pak Benny memang menyiapkan dana untuk operasional sekolah tersebut selama 12 tahun. Berikutnya, pak Benny berharap para penerusnya mampu melakukan hal yang sama. Namun, harapan itu tak terwujud.  Sejak 2003 hingga sekarang SMA TN menghapus beasiswa tersebut dan menjelma menjadi sekolah swasta biasa berbayar, meski tetap berada di bawah Departemen Pertahanan. Pada 2007,  salah satu kekuatan utama SMA TN yaitu Taman Siswa, secara de jure (dan kemudian de facto) tersingkir dari pengelolaan SMA TN. Hal tersebut sebagai akibat dari perubahan kebijakan yayasan pengelola SMA TN yang beralih dari Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman (YKPBS) ke Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahaan (YKPP). Ibarat seekor burung, salah satu sayapnya sudah patah. Tanpa Taman Siswa, SMA TN beroperasi dengan kekuatan  yang tidak lagi sama dengan visi pendiri.
Kebijakan pengelola SMA TN sangat vital dalam membawa gerak langkah sekolah ini dalam menciptakan lulusan-lulusan sesuai dengan cita-cita pendiri. Zaman memang berubah. Kondisi juga berubah. Banyak hal berubah. Namun konsep SMA TN yang digagas para pendiri masih relevan sampai sekarang dan juga nanti. Yang diperlukan justru adalah penguatan dan pengayaan sesuai kebutuhan zaman. Lihatlah sejumlah sekolah lain yang lebih tua. Tengoklah sejumlah akademi yang berada di bawah lembaga pemerintahan baik militer maupun sipil. Mereka masih tetap mampu menjaga rohnya. Konsep dasar tidak pernah berubah selama masih relevan.
Sebagai alumni, saya sangat berharap dan selalu terus berdoa, semoga cita-cita pendiri khususnya L.B Moerdani dan Try Sutrisno, akan terwujud dan terus lestari. Cita-cita mereka mulia. Visi mereka luar biasa. Bukan untuk kepentingan pribadinya, melainkan untuk masa depan bangsa dan negara. Mereka juga pasti berharap, SMA TN justru semakin baik kualitasnya dibanding pada saat mereka dirikan. Jika kondisi hari ini sama dengan kemarin, maka kita merugi. Jika kondisinya lebih buruk, maka kita bukan hanya merugi... tapi terlaknat.
Hanya para pengelola di tingkat atas, para elit, dan pemilik kebijakan yang dapat menjaga roh SMA Taruna Nusantara (terutama konsep dan SDM-nya), agar terjaga dan makin baik. Guru dan siswa hanya pelaksana. Sedangkan alumni, terus berkarya dan berdoa.
Dirgahayu SMA Tarunan Nusantara, ke-27.
Cikeas, 14 Juli 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H