Hehe, judulnya terkesan gimana gitu ya. Seolah-olah kangmas Pepih adalah siapanya saya eh saya siapanya kang Pepih, eh.... Nyuhunkeun hampura kang Pepih. Judul ini memang tujuannya untuk mengenang bos Kompasiana - eh mantan bos Kompasiana itu, yang memberi kesan khusus di hati saya. Bagaimana pun, rakyat Kompasiana akan bersedih ditinggal oleh raja yang selama ini menjadi pemimpinnya.Â
Dan saya merasa sebagai rakyat yang beruntung sempat berinteraksi dengannya. Sebagai rakyat Kompasiana yang jelata ini, bertemu dengan raja Kompasiana merupakan sebuah keistimewaan. Dan hal itu benar-benar terjadi beberapa tahun silam bukan di Jakarta atau di pulau Jawa, tempat kami tinggal, melainkan di Malinau, sebuah kota terpencil perbatasan Indonesia - Malaysia di Kalimantan Utara.Â
Sebelum berjumpa, saya sudah tahu sedikit tentang beliau. Pertama dari laman Kompasiana, yang memang berkali-kali memuat celotehan kang Pepih. Kedua dari toko buku. Beliau termasuk rajin menulis dan menghasilkan sejumlah karya tulis di bidang jurnalistik yang beberapa diantaranya saya beli untuk kemudian dipelajari. Secara tidak langsung, beliau adalah guru menulis saya.Â
Yang paling berkesan adalah buku beliau tentang menulis profil "Menulis Sosok Secara Inspiratif, Menarik dan Unik". Kesan tersebut semakin mendalam karena ketika berjumpa di Malinau itu, beliau menghadiahi saya sebuah buku berjudul "Ibu Pertiwi, Memanggilmu Pulang". Â
Ngapain kami ke Malinau nun jauh di sana? Seperti pernah saya tulis di sini kami berjumpa untuk memenuhi undangan Bupati Malinau Dr. Yansen TP, dalam rangka diskusi dan peluncuran buku "Revolusi dari Desa."Â
Kang Pepih menjadi salah satu narasumber atau pembedah. Sedangkan saya - yang ikut membantu menyunting buku tersebut - kebagian peran sebagai moderator. Sungguh... saya senang bukan kepalang sepanggung dengan sang raja Kompasiana. Sekali lagi, sebagai rakyat jelata Kompasiana, moment itu tak mungkin terlupakan.Â
Apalagi selama di Malinau, kami melakukan sejumlah kegiatan bersama, menyaksikan, meliput dan menulis momentum besar di kota tersebut, berupa perayaan ulang tahun Malinau ke-15. Pesta rakyat besar-besaran yang dilakukan setiap dua tahun sekali bertajuk IRAU. Saya belajar sejumlah hal dari kang Pepih, baik secara verbal maupun non verbal.Â
Kalimat-kalimat yang mengalir dari mulut kang Pepih selalu kontekstual dan berdasarkan referensi (terutama buku). Kelihatan sekali bahwa beliau adalah seorang pembaca sejati, bukan sekadar penulis atau wartawan. Suatu hal yang sekarang selalu saya coba lakukan, dan ternyata memang tidak mudah. Lalu, selama kegiatan di sana, saya melihat sendiri bagaimana tindak tanduk beliau ketika menyaksikan dan ikut larut dalam pesta rakyat itu. Beberapa di antaranya saya abadikan dengan kamera. Ketika saya tunjukkan hasilnya, beliau hanya tersenyum.Â
Selamat berkarya Kang Pepih. Semoga Allah Swt., meridhoi setiap langkah Akang.Â