Mohon tunggu...
Dodi Mawardi
Dodi Mawardi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Writerpreneur, Pendidik, Pembicara

Penulis kreatif sudah menghasilkan puluhan buku, antara lain Belajar Goblok dari Bob Sadino dan Belajar Uji Nyali dari Benny Moerdani. Selain aktif menulis, juga sebagai dosen, pendidik, dan pembicara bidang penulisan, serta komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ternyata Pembohong Besar Itu Bernama Televisi

16 Januari 2012   14:15 Diperbarui: 11 September 2020   11:40 2201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13267330171045578582

[caption id="attachment_164152" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] 

“Saya punya istri tiga…” ujar seorang lelaki muda mulai bercerita tentang kisah hidupnya. Maka mengalirlah sebuah kisah dramatis berakhir pilu, tentang dia dan keluarganya. 

Perjalanan hidupnya pasti mengundang iba, karena dipenuhi dengan duka dan air mata. Dijamin, siapapun yang menyimak kisahnya akan ikut merasakan betapa pahitnya nasib lelaki tersebut. Kisah ini dihadirkan sebuah stasiun televisi swasta sebagai sebuah kisah nyata dan diberi judul program “Bukan Sinetron”. 

Dari judulnya, pemirsa pasti sudah paham bahwa acara realiti show ini adalah kisah-kisah nyata yang pasti akan menguras air mata. Tapi apa yang terjadi beberapa hari setelah episode lelaki beristri tiga ini ditayangkan? 

“Hei kawan, kau masuk televisi ya. Kulihat di acara Bukan Sinetron,” ujar seorang pria muda kepada lelaki yang beristri tiga tadi. “He he, elu nonton ya. Lumayan dapat honor buat uang jajan,” kata si penganut poligami itu, enteng. “Wah ajak-ajak dong, gue juga mau masuk teve,” rengek temannya. “Ok nanti elo gue ajak…” tukasnya dengan gembira. 

Ternyata, menjadi pemeran sebuah tokoh di acara-acara reality show, merupakan salah satu ladang pekerjaan baru. Mereka bergabung dengan sebuah production house atau agen pemain, lalu bersiap-siaplah mengisi acara reality show yang tersebar di hampir semua stasiun televisi. Skenario sudah dibuat sedemikian dramatisnya, dan para pemain itu tinggal berakting seadanya. Mereka bukan pemain film profesional, sehingga aktingnya terlihat canggung dan kaku. 

Sejatinya, reality show merupakan acara faktual meski masih tergolong jenis program artistik bukan jurnalistik. Namun, sesuai namanya reality, maka apa yang ditampilkan merupakan kisah nyata. Tapi faktanya, hampir semua jenis acara itu berisi kebohongan besar para pembuatnya. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka, dengan mudahnya menggaet para pemain pemula untuk memerankan berbagai kisah rekayasa yang diolah seakan-akan nyata. Pemirsa pun tertipu. Ikut larut dalam kisah rekayasa itu, bahkan tak jarang turut meneteskan air mata. Penipuan dan kebohongan publik yang luar biasa. 

Menjadi Trend 

Rekayasa program semacam itu ternyata sudah menjadi trend dalam industri televisi di Indonesia. Silahkan sebutkan acara reality show yang pernah Anda tonton. Yakinlah sebagian besar dari mereka adalah rekayasa. Misal acara Bukan Sinetron tadi, atau sejenis acara Termehek-mehek, hipnotis, jodoh-jodohan dan sebagainya. Mungkin hanya sebagian kecil saja yang masih mempertahankan keasliannya, seperti konsep yang mereka usung pada episode-episode awal. 

Sebelumnya, rekayasa seperti ini juga terjadi pada acara-acara misteri, yang sempat menjadi kesukaan pemirsa beberapa tahun silam. Penampakan-penampakan makhluk halus, dibuat seperti nyata agar memberi kesan dramatis kepada pemirsa. Faktanya, sebagian besar dari program itu berisi kebohongan. Seorang pemeran yang penulis ketahui persis, menceritakan bagaimana dia disuruh menggerak-gerakan jendela dengan seutas tali, agar terlihat seperti bergerak sendiri. Atas perannya tersebut, ia mendapatkan imbalan. 

Trend kebohongan publik seperti itu masih terus berkembang hingga saat ini, bahkan makin merajalela. Tak heran jika banyak agen yang berubah fungsi atau melebarkan sayapnya, dari awalnya sebagai penyedia pemeran untuk film dan sinetron, menjadi penyedia calon pemeran acara reality show. Keuntungan yang mereka dapatkan cukup menggiurkan! 

Infotainment Rekayasa 

Bagaimana dengan program infotainment? Acara yang selalu mendapatkan sorotan publik karena isinya hanya gosip dan isu seputar para selebritas. Kalangan ulama mengatakan sebagian acara ini haram, karena berisi ghibah, yaitu memperbincangkan keburukan orang lain yang belum tentu kebenarannya. Sudah pasti benar pun kalau keburukan itu bersifat pribadi dan tidak ada kaitannya dengan kepentingan publik, ketika disebarkan tetap masuk kategori ghibah. Apalagi jika gosip itu tidak benar. 

Praktik di lapangan sungguh membuat miris. Banyak sekali info, yang sama sekali tidak berdasar, hanya berasal dari sms yang beredar di kalangan selebritas dan pekerja infotainment. Tidak jarang mereka menciptakan sendiri gosip tersebut, lalu menyebarkannya. Seolah mengamini istilah gosip, yang makin digosok makin sip. Seorang selebritas yang mulai turun pamornya, atau sedang sepi order-an, tanpa sungkan meminta pekerja infotainment untuk menggosipkannya. Atau dia sendiri yang membuat gosip untuk dirinya sendiri. 

Bisa pula sebuah perusahaan hiburan untuk kepentingan publikasi dan promosi produknya, sengaja menciptakan gosip yang menarik perhatian publik. Dan yang paling parah adalah perilaku sebagian pekerja infotainmennya. Lihatlah di televisi saat ini, ada berapa banyak program infotainment. Mereka tayang terus menerus setiap hari tanpa libur. Artinya harus selalu ada gosip dan info yang ditayangkan. Apa yang terjadi ketika sepi gosip dan info tentang selebritas? Tak ada cara lain kecuali menciptakan gosip itu. Ada selebritas yang senang dengan gosip rekayasa itu, tapi tak jarang juga selebritas menjadi korbannya. 

Program Jurnalistik pun Terkena Imbasnya 

Praktik kebohongan seperti itu ternyata tidak hanya dilakukan para praktisi televisi untuk program artistik (hiburan), melainkan juga acara-acara informasi dan berita (jurnalistik). Dalam teori ilmu komunikasi massa, disebutkan dengan jelas dan gamblang bahwa berita adalah sebuah fakta atau data yang bisa dibuktikan kebenarannya dan mempunyai dampak terhadap publik. Kata kuncinya adalah fakta. 

Beberapa tahun silam, publik dikejutkan dengan temuan berbagai perilaku curang para pedagang, mulai dari pedagang bakso dengan daging tikus sampai tukang melon atau semangka suntikan. Tentu saja fakta tersebut membuat geger sebagian masyarakat, terutama para pedagang yang tidak melakukan tindakan seperti dalam acara tersebut. Selidik punya selidik, memang benar ada sejumlah pedagang yang berpraktik kotor, tapi jumlahnya sedikit. 

Namun dalam tayangan tersebut seolah-olah, praktik itu sudah merajalela. Dalam program itu juga diperlihatkan bagaimana cara-cara pembuatan penganan oleh pedagang, yang ternyata hasil rekayasa. Sebuah grup mafia penyedia berita sensasional semacam itu, dengan rapi gentayangan menawarkan program tersebut kepada stasiun televisi. Beberapa diantaranya sudah sukses dan ditayangkan. Mereka sudah sangat berpengalaman, sehingga hasil liputannya seolah berdasarkan fakta, padahal sebagian besar hasil rekayasa. Lagi-lagi publik yang menjadi korbannya. Program informasi kriminal pun setali tiga uang. 

Praktik kebohongan juga berkali-kali tejadi dan malah menjadi salah satu modus pekerja media. Mereka punya acara harian berisi informasi kriminal. Logikanya, mereka akan senang jika slot informasi kriminal tersebut selalu terpenuhi. Tapi fakta harian kadang tidak selalu sesuai harapan. Ada hari-hari tertentu yang sepi dari kejadian kriminal, dan bisa berakibat pada tak terisinya slot program. Para pemburu informasi pun selalu ditarget untuk mendapatkan sebuah liputan atau lebih. Harus. Kalau tidak dapat, risikonya adalah catatan kinerjanya ditulis buruk. 

Alhasil, lagi-lagi rekayasa menjadi jalan keluar. Seperti kisah seorang produser yang tahu persis kelakukan anak buahnya. Setiap kali mangkal di sebuah pos polsek misalnya, jika sampai jam tertentu tidak ada laporan kriminal, maka tim reporter bekerja sama dengan aparat untuk membuat berita. Macam-macam bentuknya. Ada yang sengaja menggerebek sebuah tempat judi, atau menjaring PSK (pekerja seks komersial) dan sejenisnya. Maka jangan heran jika pada acara-acara penggerebekan yang seharusnya bersifat rahasia itu, awak media info kriminal, ikut menyertai petugas dengan kamera dan lampunya yang terang benderang di tengah kegelapan. 

Akibat Persaingan Industri 

Semua ini terjadi akibat persaingan industri televisi yang kian ketat. Setiap stasiun berlomba-lomba menyajikan program yang paling menarik buat publik. Tapi mereka kadang menghalalkan segala cara, dan melupakan etika, sehingga dampak program tersebut kepada masyarakat dinomor-sekiankan. Praktik-praktik semacam itu masih terus terjadi sampai detik ini, dan masyarakat, kita, para pengawas dan pemerhati, seolah tidak berdaya menghadapi kondisi ini. “Anjing menggonggong kafilah berlalu,” mungkin begitu pendirian mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun