Sebuah pelajaran berharga untuk pengelola televisi di tanah air, dalam memilih komentator atau pengamat sepakbola. Pada tayangan pertandingan persahabatan antara Indonesia vs Palestina, Senin 22 Agustus 2011 lalu, pelajaran itu sangat terasa kentalnya. SCTV dengan berani memilih Nus Tuanakota sebagai penyiar yang melaporkan langsung pertandingan tersebut. Terasa sangat berbeda dengan penyiar biasanya.
Kenapa ya?
Nus Tuanakotta merupakan penyiar senior yang sudah lama berkiprah mulai dari RRI sampai TVRI. Dia terbiasa melaporkan langsung berbagai kegiatan olahraga. Teori siaran dan praktiknya bisa dilakoninya dengan baik. Ketika masih di TVRI beberapa dekade silam – saya masih duduk di bangku SD dan SMP – gaya siaran Nus ini nyaris sama dengan para penyiar lainnya. Mereka punya gaya yang mirip-mirip. Suara ngebas, berirama dan harmonis dengan gambar, sehingga menunjang kenikmatan penonton dalam menyaksikan pertandingan. Mungkin sebagian dari kita ingat dengan Bung Sambas, yang sangat khas dalam membawakan siaran langsung olahraga mulai dari sepakbola sampai bulutangkis. Mereka jarang sekali melakukan kesalahan ucap atau fakta.
Pada tayangan tersebut, berkali-kali teman duet siaran Nus yaitu wartawan sepakbola Bung Kesit, salah menyampaikan fakta. Wasit menunjuk sepak pojok, dia mengatakan pelanggaran. Pada saat bersamaan, Nus dengan tepat menyebut corner kick karena dia melihat dengan penuh konsentrasi gerak tubuh sang wasit. Demikian pula ketika terjadi pelanggaran, off side dan beberapa fakta lainnya. Nus dengan tepat menyebutkan berbagai fakta. Bahkan, dia juga dengan lancar melaporkan jalannya pertandingan, menggambarkan aliran bola meski tidak detil, menyebut nama pemain yang memegang bola dengan akurat, berteriak histeris ketika bola nyaris masuk ke gawang, dan mengaduh ketika ada pelanggaran. Dia membawa penonton masuk ke irama dan suasana pertandingan. Ketika gol terjadi, Nus berteriak menyesali gol karena gawang Indonesia yang kebobolan. Emosional sekali.
Saya sangat yakin, para penyiar sekelas Sambas dan Nus Tuanakota, punya kemampuan bagus seperti itu tidak diperoleh dengan seketika. Mereka pasti rajin berlatih dan belajar serta praktik selama bertahun-tahun. Mereka dibekali pengetahuan yang memadai tentang cara siaran, dan mendapatkan mentor-mentor terbaik, serta pasti selalu terus belajar. Berbeda dengan para komentator dan penyiar yang banyak beredar di sejumlah televisi swasta.
Gaya bicara mereka relatif sering mengganggu kenikmatan menonton sepakbola, karena mereka tidak dibekali cara siaran yang baik. Pada level ini, tampaknya televisi hanya mengumakan gambar yang standar broadcast, tapi mengabaikan suara yang juga seharusnya standar broadcast. Mereka ribut sendiri, menyampaikan banyak fakta yang tidak berhubungan dengan moment di lapangan, gagal mengomentari fakta di lapangan, salah ucap, salah fakta dan yang paling krusial; tidak mampu masuk ke dalam atmosfer pertandingan. Saya sering mengecilkan suara penyiar/komentator, ketika menonton sepakbola dalam negeri. Dan melakukan hal serupa jika pertandingan mancanegara gagal menampilkan suara penyiar/komentator dari tempat asalnya.
Contoh di Luar Negeri
Di negeri asal sepakbola yaitu Inggris, profesi penyiar dan komentator sepakbola termasuk sangat bergengsi. Setiap stasiun televisi dan penyelenggara siaran resmi Liga Inggris, memilih dengan sangat ketat para komentatornya. Sama sekali tidak serampangan dan asal pilih. Mereka disaring dari sejumlah nominator terdiri dari penyiar profesional dan mantan pemain sepakbola. Mereka dikontrak dalam durasi waktu tertentu dan bisa saja didepak di tengah jalan, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Pernah terjadi seorang komentator dipecat gara-gara melecehkan seorang hakim garis perempuan. Andy Gray dan rekan duetnya Richard Keys melontarkan guyonan yang mungkin dianggapnya biasa saja, tapi dinilai oleh banyak orang, pengamat dan terutama sang hakim garis sangat melecehkan. Mereka akhirnya terdepak. Nama penyiar dan komentator selalu muncul dalam setiap siaran pertandingan, dan gaya siaran mereka nyaris sama. Suara yang layak siar, berirama, penuh wibawa, pengetahuan dan wawasan memadai tentang sepakbola, serta mampu membawa penonton ke dalam suasana pertandingan lewat suaranya. Hanya mendengar suara mereka tanpa melihat gambarnya saja, kita sudah terhibur.
Jujur saya merindukan penyiar tayangan langsung sepakbola sekelas Sambas atau Nus Tuanakota. Semoga para pengelola televisi lebih ketat lagi dalam menyaring para penyiar dan komentator khususnya untuk tayangan siaran langsung sepakbola. Biar selain bisa menikmati umpan dan gol yang cantik, juga mendengar suara yang berirama dan nyaman di telinga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H