Wah ramai sekali ya pembicaraan tentang berita konflik Jokowi dengan Puan Maharani. Seru dan dikupas habis dimana-mana. Tapi mohon maaf saya tidak akan mengupas tentang konflik itu. Sebagai orang yang masih aktif di bidang jurnalistik, saya terpanggil untuk mengulas tentang berita itu dari sisi jurnalistiknya. Mohon dicamkan bahwa tulisan ini tidak bermaksud membela salah satu pihak. Hanya untuk meluruskan sejumlah persepsi keliru tentang narasumber anonim.
Sesuai judulnya, apakah layak narasumber anonim di media massa dipercaya publik? Apakah benar berita yang menggunakan sumber anonim? Apakah tidak takut media massa tersebut jika menggunakan narasumber anonim?
Dalam praktik jurnalistik (buat yang lebih paham silakan tambahkan dan koreksi), terdapat tingkatan narasumber. Mulai dari sumber utama (primer), sumber sekunder, sumber tersier dan narasumber lainnya. Misal dalam sebuah kecelakaan, maka sumber utama adalah yang terlibat dalam kecelakaan. Bisa pelaku dan korban. Mereka lah sumber paling kredibel untuk kecelakaan tersebut. Lalu, narasumber kredibel lainnya adalah saksi mata, yang melihat kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri, bukan katanya. Pihak-pihak itu adalah sumber primer dalam kecelakaan tersebut. Kemudian narasumber sekunder adalah pihak-pihak yang berwenang dalam kasus kecelakaan, seperti polisi dan pihak rumah sakit. Polisi untuk urusan hukumnya, sedangkan rumah sakit (dokter) terkait urusan medis. Polisi bisa membeberkan kasus kecelakaan itu secara hukum, sedangkan dokter dapat membeberkan dampak kecelakaan terhadap korban dari sisi medisnya (misalnya efek benturan dilihat dari lukanya).
Lalu siapakah narasumber tersier? Biasanya mereka adalah orang-orang yang punya pengetahuan tentang kecelakaan namun tidak terlibat dalam kasus itu, atau biasa kita sebut sebagai pengamat/pakar. Suara mereka tetap penting untuk dijadikan bahan, karena keahlian mereka di bidang itu. Di luar narasumber-narasumber itu, tingkatnya menjadi lebih rendah pun kredibitasnya. Apalagi komentator di Kompasiana, hehe…
Pertanyaannya, siapakah narasumber anonim yang digunakan Jakarta Post? Sumber anonim, bisa berasal dari 3 tingkatan narasumber di atas, atau orang-orang dekat yang berada di sekitar narasumber primer dan sekunder. Orang-orang dekat yang berkomunikasi langsung dengan narasumber primer dan sekunder. Tingkat kredibitas sumber anonim tergantung di level mana narasumber itu berada, apakah di narasumber primer, sekunder atau tersier. Makin tinggi levelnya, makin dapat dipercaya sang sumber anonim itu. Oh ya, wartawan hanya boleh menjadikan seseorang sebagai narasumber anonim dengan alasan, jika namanya disebutkan, narasumber itu akan mendapatkan risiko yang tidak sanggup ditanggung narasumber tersebut (level bahaya). Wartawan wajib melindungi narasumbernya.
Seorang wartawan wajib melakukan verifikasi terhadap narasumber anonimnya. Pertama, dia berada di level narasumber mana? Kalau narasumber tersier, lupakan saja. Pengamat tidak layak dianonimkan. Kalau berasal dari narasumber sekunder, teliti lebih dalam lagi, apakah benar dia menjadi saksi peristiwa itu. Kalau benar, bolehlah. Kalau berasal dari narasumber primer, kemungkinan besar kuatlah info yang dimilikinya.
Kedua, cek catatan kejujuran narasumber anonim itu, dari level narasumber manapun dia berada. Bagaimana selama ini dia bersikap, bertindak dan berbicara? Layakkah dipercaya? Biasanya wartawan bergaul sangat dekat dengan sejumlah narasumber, dan terjadi ikatan kepercayaan antara keduanya. Ikatan kepercayaan itu adalah modal dan dilalui dengan proses panjang. Tidak mungkin, muncul tiba-tiba seorang narasumber anonim tanpa melewati proses di atas.
Kesimpulannya, narasumber anonim bukanlah narasumber sembarangan. Dia harus masuk kriteria tertentu sehingga layak menjadi narasumber dan layak dianonimkan pada sejumlah peristiwa. Narasumber anonim diperbolehkan digunakan oleh wartawan dalam tulisannya, sepanjang kriteria-kriteria di atas terpenuhi, dan informasi yang diberikannya berada pada level “penting” atau “sangat penting” untuk mendukung berita. Narasumber anonim biasanya muncul pada berita-berita sensitif yang melibatkan dua pihak atau lebih yang berselisih kepentingan. Wartawan, apalagi wartawan investigasi memang berkepentingan untuk mencari informasi sebanyak mungkin dan sevalid mungkin. Pihak-pihak yang berbeda kepentingan, sangat dimungkinkan untuk mengklaim kebenaran versinya masing-masing. Meski wartawan tahu si A atau si B berbohong, wartawan tidak boleh beropini.
Dalam kasus Jokowi – Puan, saya tidak dalam posisi menyebut berita itu benar atau bohong. Sumber anonim yang disebutkan wartawan adalah orang dalam PDI P. Interpretasi saya tentang orang dalam PDI P adalah kader atau pimpinan atau orang yang dekat dengan pimpinan PDI P yang ikut serta dalam pertemuan itu. Orang yang ikut dalam pertemuan itu masuk kategori narasumber primer. Layak dipercaya. Walaupun orang dalam PDI P, jika tidak ikut dalam pertemuan itu, maka… sumber anonim itu akan berkurang tingkat kelayakan dipercayanya. Wartawan Jakarta Post, punya risiko tinggi jika menganonimkan orang dalam PDI P tersebut, namun tidak ikut dalam pertemuan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H