Lihatlah media massa kita saat ini! Sebagian media besar kita menyajikan berita dengan berita dan informasi seenak udelnya sendiri. Etika jurnalistik, kaidah jurnalistis dilanggar sedemikian rupa. Masing-masing media menyajikan berita dan informasi demi kepentingan calon presiden yang dijagokannya, sesuai pesanan pemilik. Sungguh ironis... menyedihkan... mengerikan...
Saya nilai inilah pilpres paling menyedihkan dari sisi jurnalistik. Bahkan lebih parah dibandingkan kondisi pada masa orde baru. Mereka yang menyebut dirinya sebagai praktisi hebat di bidang jurnalistik yang sudah bekerja selama puluhan tahun, luntur, rapuh, koyak, akibat perbedaan dukungan capres dari para pemilik medianya. Jurnalis yang hebat-hebat itu ternyata tidak punya pendirian kokoh dan ideal seperti para jurnalis hebat masa lalu. Mereka pahlawan jurnalistik kita, kokoh memegang teguh kaidah dan etika jurnalistik bahkan sampai harus rela meregang nyawa.
Dua media televisi berita terbesar di Indonesia, terbelah dalam dua kubu. Dua media inilah yang paling nyata, mengabaikan kaidah dan etika jurnalistik. Mereka berteriak kepada pihak lain untuk menggunakan cara yang santun, cara yang benar dan tidak menghalalkan segala cara untuk mencapai kemenangan. Tapi mereka sendiri menghalalkan cara jurnalistik murahan dalam mendukung capresnya masing-masing. Kedua media ini saya nilai sangat buruk dalam hal netralitas, keberimbangan, dan kaidah-kaidah jurnalistik lainnya. Terlalu banyak kaidah dan etika yang dilabrak.
Entah siapa yang harus segera menghentikan praktik jurnalistik semacam ini. KPI juga tampaknya tidak berdaya. Dewan pers bungkam. Asosiasi wartawan seperti berada di kuburan. Diam. Pemerintah pun demikian. Kebebasan pers yang sekarang dijaga oleh pemerintahan SBY, dimanfaatkan dengan salah kaprah dan kebablasan oleh penguasa media. Mereka seperti drakula yang menghisap darah para jurnalis, yang tampak tidak berdaya – atau tidak berani berdaya – mengikuti keinginan bosnya. Menyedihkan. Mengerikan.
Bukan hanya dua media televisi berita terbesar itu, yang memang secara kasat mata, berada pada dua kubu berbeda. Media besar sekelas Kompas pun, terlihat condong mendukung salah satu capres. Memang seperti gaya Kompas selama ini, yang selalu halus dalam mendukung atau menolak. Namun, dalam pilpres kali ini, terlihat nyata bahwa Kompas media cetak dan Kompas TV, mendukung salah satu capres. Pun demikian sejumlah media cetak besar lainnya.
ISI, NARASUMBER dan SUDUT PANDANG
Kaidah mulai dilabrak ketika memilih isi informasi dan berita. Padahal, publik berhak mendapatkan informasi dan berita secara utuh. Bukan sepotong-sepotong. Media hanya memilih isi yang sesuai dengan kepentingannya. Sungguh memuakkan, perilaku para pekerja jurnalistik yang bekerja terutama di Metro TV dan TVOne. Mereka sudah menjadi pelacur jurnalistik, menggadaikan harga diri untuk kepentingan bos medianya. Sekali lagi, memuakkan. Menghalalkan segala cara jurnalistik, untuk kepentingannya sendiri.
Narasumber yang dipilih pun sama sekali tidak mewakili suara yang ada di publik. Media memilih narasumber sesuai dengan selera dan kepentingannya. Boro boro berimbang. Mereka seperti beronani, berpesta sendiri mengungkapkan berbagai kelebihan kelompoknya dan menjelek-jelekkan pihak lain. Dua kubu media sama-sama melakukan tindakan keji jurnalistik. Sungguh keji dan tak termaafkan.
Apalagi sudut pandangnya. Luar biasa penuh dengan rekayasa. Seringkali dibuat buat dan dipaksakan. Kelemahan lawan diperbesar sedemikian rupa, dan kelemahan sendiri ditutupi rapat-rapat. Sebaliknya, kelebihan sendiri yang diperbesar dan kelebihan pihak lain ditutupi. Jurnalistik macam apakah ini? Jurnalistik barbar. Media tidak berada pada jalur kepentingan publik tapi menjadi corong para pemilik media, sesuai kepentingannya mendukung capres. Sudut pandang berita menjadi sangat penting untuk melihat berdiri di mana jurnalis berada. Berdiri di sisi publik, atau berdiri padakepentingannya sendiri.
PENDIDIKAN JURNALISTIK BURAM
Saya tidak dapat membayangkan bagaimana para pengajar jurnalistik di perguruan tinggi, menjelaskan tentang fenomena ini. Semua teori jurnalistik tidak berlaku lagi. Seluruh kaidah dan etika jurnalistik tak lagi tampak dalam penyajian berita pemilu presiden kali ini. Terlalu kasar. Terlalu vulgar. Padahal, pendidikan jurnalistik menjadi salah satu pilar kehidupan demokrasi yang sehat di masa datang. Bagaimana mengharapkan proses demokrasi berjalan baik, jika para pelaku jurnalistik tidak menjalankan fungsinya dengan benar?
Saya tidak peduli dengan siapapun capres yang akan memenangkan pemilu kali ini. Saya lebih peduli terhadap berbagai ekses yang ditimbulkan dan dampaknya setelah mereka menjadi penguasa. Apakah mereka peduli terhadap pendidikan politik yang baik? Apakah mereka peduli terhadap pendidikan pers yang benar? Pers, jurnalistik, media massa adalah salah satu pilar demokrasi. Jika pilar ini pincangnya keterlaluan seperti saat ini, maka proses demokrasi sebagai alat bangsa ini menyejahterakan rakyatnya, bakal pincang juga. Apakah mereka peduli?
Mereka boleh saja berkoar-koar tentang berbagai hal kebaikan dan janji. Tapi di depan mata kepala mereka sendiri, media massa yang menjadi pendukungnya menghalalkan segala cara. Menyedihkan. Padahal kita juga tahu bahwa selama ini kondisi pers kita belum ideal, belum benar-benar baik, belum sesuai dengan kondisi yang seharusnya. Memang benar, kebebasan pers dijaga. Pemerintah pun komit untuk menjaga kebebasan pers itu. Tapi perilaku pemilik media massa justru sebaliknya. Malah merusak kebebasan pers itu.
Wahai para pemilik media sadarlah... kepentingan bisnis dan politik Anda telah merusak jiwa-jiwa sehat jurnalis Anda sendiri; Merusak masa depan media massa Indonesia; Merusak masa depan demokrasi Indonesia. Anda pun telah mematikan tumbuhnya benih-benih jurnalis handal yang sekarang sedang disemaikan di berbagai perguruan tinggi.
Wahai pelaku jurnalistik Indonesia, sadarlah dengan apa yang sekarang kalian lakukan. Anda melacurkan diri Anda sendiri. Anda tidak lebih terhormat daripada para pelacur di gang Dolly yang baru saja ditutup. Anda melacurkan kehormatan dan harga diri, hanya demi sesuap nasi. Sadarkah?
Wahai insan pers yang masih punya akal sehat. Saatnya Anda bertindak untuk menghentikan pelacuran jurnalistik ini. Dampaknya terlalu mengerikan, kawan!
Mana PWI, mana AJI?
Mana suara kalian?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H