Mohon tunggu...
Penulis Pemula
Penulis Pemula Mohon Tunggu... -

tulisan subjektif dari seorang pemula..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pergerakan Mahasiswa Era Reformasi

10 November 2014   03:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:13 3226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pergerakan pemuda dalam menentang kebijakan pemerintah bukanlah hal yang baru. Sejak zaman sebelum kemerdekan pemuda selalu berada di garis depan dalam perjuangan. Begitupun dalam meruntuhkan rezim orde lama hingga orde baru. Kekuatan pemuda dalam “peranan mengubah” dunia sudah diramalkan dan dipercayai oleh bung karno melalui ucapannya, “Berikanlah aku 10 pemuda maka akan kuguncang dunia”.

Pemuda di tiap zaman akan mewarnai bentuk perjuangan sendiri. Pemuda sebelum kemerdekan, orde lama, orde baru hingga saat ini reformasi memiliki lawannya masing-masing, meskipun inti perjuangan tetap sama, “melawan ketidakadilan”.

Perlawan pemuda melalui mahasiswa sebagai motornya sejak dulu hingga saat ini identik dengan tindakan yang radikal dan anarkis. Ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tidak pro dengan rakyat dan mampu “dibaca” pemuda maka bersiaplah untuk melawan “pressure” mereka.

Mahasiswa ditiap zaman akan tertebani oleh sejarah perjuangan mahasiswa sebelumnya. Hal inilah yang memuat mahasiswa akan terus dan tetap progresif. Pengkaderan ditiap angkatan yang terus memberikan doktrin-doktrin perjuangan akan membentuk mahasiswa menjadi kader yang militan.

Pembunuhan Militansi Mahasiswa

Pembunuhan karakter mahasiswa yang militan sejakruntuhnya rezim orde baru terus dilakukan oleh pemerintah. Perlahan dan pasti militansi mahasiswa hingga saat ini terus merosot, kebijakan pemerintah melalui birokrasi kampus dibanyak perguruan tinggi yang melarang pengkaderan adalah contohnya. Kemudian kebijakan pemerintah saat ini yaitu “kuliah maksimal 5 tahun”, dengan demikian jelas tiap mahasiswa baru akan apatis dengan organisasi dan fokus diruang kuliah. Mahasiswa versi reformasi dibentuk untuk menjadi pekerja bukan pemimpin. Belajar dan mengabaikan peranan lainnya yaitu sikap humanis.

Selain tekanan dari birokrasi kampus, media juga berperan dalam mematikan perjuangan mahasiswa. Berita-berita yang anarkisme mahasiswa ketika demonstrasi dibungkus dengan bahasa-bahasa yang berlebihan yang kemudian akan membentuk stigma negatif di masyarakat luas sehingga masyarakat pun tidak empati dengan mereka.

Mahasiswa yang tidak aktif diorganisasi biasanya akan apatis dan membeci rekan mereka yang aktif menyuarakan suara rakyat. Mereka menjelek-jelekan rekan mereka sendiri, bullying di media sosial.

Konsep Baru Pergerakan Mahasiswa Era Reformasi

Dalam beberapa aksi mahasiswa yang menyebabkan kemacetan, saya sendiri sering mendengar pendapat pengguna jalan. Yang terbaru misalnya saat demonstrasi penolakan kenaikan harga bbm. “Saya juga tidak setuju dengan naiknya harga bbm, tapi jangan bikin macet dong, saya tidak dapat penghasilan gara-gara mereka”, begitulah komentar supir angkot yang kesal dengan ulah mahasiswa. Padahal jika tidak demopun, tetap macet.

Demonstrasi turun ke jalan memang memberikan pressure yang luar biasa bagi pemerintah. Namun, jika tidak berhasil maka ada 2 hal yang akan terjadi, pertama kerugian materil, kedua kerugian kehancuran nama mahasiswa itu sendiri. Dalam konsep aksi turun kejalan yang saya pahami, jika ingin berhasil melawan pemerintah pertama lakukan terus-menerus kedua lakukan dengan massa yang banyak.

Sementara saat ini, demonstrasi biasanya tidak dilakukan terus-menerus dan mahasiswa gagal mengumpulkan massa yang banyak. Ini berkaitan dengan pengkaderan dikampus yang dimatikan serta media yang terlalu berlebihan dalam memberitakan aksi mereka yang mengakibatkan mereka gagal mendapat simpati dari rakyat.

Jika ingin lebih fair, maka mahasiswa harus mendorong pemerintah dalam mengadakan debat ilmiah. Jadi harus ada wadah sehingga perjuangan mahasiswa akan mendapatkan simpati dari masyarakat serta tidak merugikan banyak pihak.

Harus kita apresiasi adalah perjuangan mahasiswa yang masih mau turun aksi. Tapi yang harus dipertimbangkan oleh teman-teman mahasiswa adalah kerugian yang diakibatkan aksi tersebut yang tidak diimbangi dengan keberhasilan.

Aksi yang dilakukan oleh teman-teman saat ini masih menggunakan metode lama, padahal zaman telah berubah. Dan teman-teman aktivis mungkin harus lebih terbuka untuk memikirkan metode-metode baru yang mampu menggalang massa yang banyak.

Saya sendiri berfikir bahwa aktivis hari ini telah gagal menyatukan semua elemen mahasiswa, memang benar bahwa untuk menyatukan bukan persoalan yang mudah tapi inilah tantangannya. Yakinlah ketika mahasiswa bersatu, maka perjuangan akan semakin mudah.

Yang Perlu teman-teman aktivis lakukan adalah diskusi rutin antar lembaga mahasiswa, baik internal kampus maupun eksternal. Setelah itu bentuklah aliansi.

Aliansi yang besar saja tidak cukup, di era reformasi saat ini “cara” untuk menyampaikan penolakan terhadap suatu kebijakan pun harus diubah. Jangan hanya menggukan cara lama. Tutup jalan, sandra mobil, bikin macet, dan ujungnya adalah gesekan, apakah dengan polisi bahkan dengan masyarakat sekitar yang sudah jenuh dengan ulah mahasiswa ini.

Aktivis pasca orde baru, telah termakan euforia keberhasilan penurunan soeharto. Metode pendudukan gedung DPR/MPR kala itu berhasil, tapi lihat perbedaannya. Bahwa pada saat itu, mahasiswa dan berbagai ormas bersatu, dan aksi mereka dilakukan secara terus-menerus (bertahun-tahun). Lagi pula yang dilawan saat ini bukanlah yang dilawan oleh teman-teman dulu. Sekali lagi, Zaman telah berubah dan METODE harusnya BERUBAH tapi tidak merubah ESENSI perjuangan.

Turun ke jalan sebenarnya tidak salah, tapi jangan sampai bikin macet panjang yang malah merugikan. Bahasa-bahasa pembenaran seperti “tidak masalah macet 1 hari daripada menderita seumur hidup” menurut saya hanya berlaku jika gerakan mereka berhasil, tapi nyatanyakan TIDAK. Bukalah mata, bahwa aksi seperti itu malahan akan membuat masyarakat yang harusnya teman-teman galang menjadi “geram dan benci”.

Seharusnya teman-teman aktivis menggunakan media yang sedikit-banyak telah membantu merusak nama mereka. Menulis di koran, blog, sosial media untuk merubah pandangan masyarakat umum. Mengadakan diskusi publik yang menghadirkan pihak pemerintah. Melakukan hearing di DPR. Dan melakukan gugatan hukum.

Setidaknya, cara-cara diatas akan lebih berhasil di era reformasi ini. Masyarakat umum tidak dirugikan dengan kemacetan panjang, dan akan lebih simpati. Kemudian mahasiswa juga tidak dirugikan namanya.

Satu keberhasil yang saya lihat dengan metode ini adalah Gerakan Samarinda Menggugat (http://www.tambang.co.id/detail_berita.php?category=18&newsnr=9723) membuktikan bahwa perjuangan tidak harus tutup jalan, lalu berakhiran chaos tanpa hasil. Tapi jika memang sudah seharusnya ya, silahkan.

Ini hanyalah pandangan pribadi saya, silahkan di kritik.

Hidup Mahasiswa!!

Hidup Rakyat!!

Panjang umur perjuangan!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun