Melepaskan Gelar Kebangsawanan
Kepada Sri Sultan Hamengkubuwono VII dan pemerintah Hindia Belanda, Suryomentaram sampai memohon-mohon agar gelar kebagsawanan yang ia terima ditanggalkan. Permohonan ini baru dikabulkan ketika saudaranya naik tahta sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono VIII. Setelah peristiwa ini Suryomentaram benar-benar pensiun dari kraton dan tinggal di Salatiga.
Pada tahun 1925 Suryomentaram menikah. Gayanya yang eksentrik dengan kaos oblong, celanan pendek, dan mengenakan kain batik parang yang dikalungkan di leher tak ayal membuat warga sekitar menganggapnya dukun “Ki Gede Beringin”.
Sebenarnya bukan tanpa alasan, orang-orang disekitar Suryomentaram juga kerap menjadikannya tempat untuk mengadu dan bertanya macam-macam persoalan hidup, bahkan ada pula yang memita berkah kepadanya.
Pencerahan dan Jalan Menuju Kebahagiaan
Perjalanan hidup dan gejolak yang Suryomentaram alami pada akhirnya menghantarkannya pada kondisi dimana suatu malam ia membangunkan istrinya dan berkata :
“Bu sudah aku temukan yang aku cari. Aku tidak bisa mati. Ternyata yang merasa belum pernah bertemu dengan manusia, yang merasa kecewa dan tidak puas ya itulah manusia, wujudnya Si Suryamentaram ini. Diperintah kecewa, dimarahi kecewa, disembah kecewa, dimintai berkah kecewa, dianggap dukun kecewa, dianggap gila kecewa, jadi pangeran kecewa, jadi pedagang kecewa, jadi petani kecewa, ya itulah orang bernama Suryomentaram, lalu mau apa lagi? Sekarang tinggal dilihat, diawasii dan dijajaki”
Kalimat terakhir dari Suryomentaram kepada istrinya dalam bahasa aslinya Jawa berbunyi “Saiki mung kari disawang, diweruhi, lan dijajaki” inilah yang pada level kesadaran selanjutnya dijadikannya dasar dalam mentransformasikan pengalaman hidup menjadi kawruh atau pengetahuan tentang jiwa untuk menggapai begja atau kebahagiaan.
Ajaran Suryomentaram membicarakan tentang jiwa manusia. Orang-orang yang mengusung ajarannya dikemudian hari menyebut ajaran tersebut Kawruh Jiwa. Dari berbagai ulasannya mengenai jiwa beliau pernah merumuskan secara sederhana jalan menju kebahagiaan.
Ki Grangsang putra Ki Ageng Suryomentaram sebagaimana dikutip dari Psikologi Raos Saintifikasi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram karya Ryan Sugiarto (2015) menuliskan bahwa Ki Ageng pernah menyampaikan pidato di hadapan audien dari Belanda berjudul “De Inwijding Tot Het Euwigdurende” atau dalam Bahasa Jawa “Kawruh Kang Marakke Begja” yang memuat rumusan tentang 10 langkah untuk sampai pada Ilmu Bahagia, berikut ulasan atas 10 langah tersebut :
10 Langkah Hidup Bahagia ala Suryomentaram