Mohon tunggu...
Penta Sakti
Penta Sakti Mohon Tunggu... Lainnya - Jiwa dan Pusaka

Sarjana psikologi yang percaya Nusantara negeri kramat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memikirkan Kembali Kunjungan Kerja Presiden di Tengah Situasi Pandemi

24 Februari 2021   14:03 Diperbarui: 25 Februari 2021   09:48 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Seberapa siapkah persiapan kunjungan kerja presiden di tengah situasi pandemi seperti saat ini?". Pertanyaan ini secara natural terlontar dalam benak saya ketika menyaksikan video kerumunan ratusan orang dalam kunjungan kerja Jokowi di NTT yang baru saja saya saksikan melalu sosial media. Bahkan salah satu dari beberapa video tersebut memperlihatkan dua orang Paspampres terjungkal dari atas motor yang dikendarainya lantaran begitu banyaknya warga yang merangsek mendekati mobil Jokowi.

Sebagaimana dilansir tempo.co Presiden Jokowi memang melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Selasa (23/02) kemarin untuk meninjau lumbung pangan (food estate) di Kabupaten Sumba Tengah dan meresmikan bendungan Napun Gette di Kabupaten Sikka. 

Persoalan kemudian datang karena kunjungan kerja tersebut menimbukan begitu banyak kerumunan masyarakat yang antusias dengan kehadiran Sang Presiden. Sedangkan kita tau bersama saat ini pandemi covid-19 belum berlalu dan bersamaan dengan itu pula upaya-upaya penanggulangannya terus menerus diupayakan, program vaksinasi juga baru saja dijalankan. Dengan kata lain, seharusnya kewaspadaan terhadap penyebaran dan penularan virus ini tetap menjadi kesadaran bersama segenap pihak.

Berkaca pada persitiwa di NTT ini, ada sesuatu yang terasa kontradiktif mengingat selama ini pemerintah adalah pihak yang gencar mengimbau masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan. Di sisi lain fenomena ini seolah menunjukkan kepada kita bahwa pemerintahlah yang justru menciptakan kerumunan. Biar bagaimanapun masyarakat tidak boleh disalahkan karena mereka pada dasarnya bergerak secara alami selama memang tidak dikondisikan dan tidak ada yang memobilisasi. Saya lebih sepakat bahwa masyarakat yang berkerumun ini adalah "korban". Apakah sekelas orang nomor satu di republik ini dan para pembantunya tidak berhitung akan hal ini? Masa iya tidak bisa "njangka" beberapa kemungkinan ke depat atas agenda ini? Apakah tidak disiapkan langkah antisipasinya? Ataukah karena ada kepentigan lain? Rasanya wajar saja bila ada yang bertanya demikian. 

Untung saya bukanlah tenaga kesehatan atau relawan yang suaranya nyaris habis karena berteriak mengampanyekan protokol kesehatan. Untung saya pula bukan seorang pedagang kaki lima yang kesalnya bukan main lantaran terpaksa menggulung dagangan ketika terjaring operasi penegakan protokol kesehatan. Masih banyak untung saja - untung saja lain, karena mungkin kalau saya berada di posisi itu akan marah dan dongkol atas apa yang saya saksikan. "Bagaimana mungkin saya yang di bawah bersusah payah untuk tidak kecolongan, sedangkan presiden semudah itu kecolongan?".

Namun tetap saja ada perasaan kesal yang muncul dalam nurani ini melihat bagaimana ketidak cermatan pemerintah yang demikian itu. Ini bukan hanya soal penegakan protokol kesehatan, tapi rasa keadilan yang terusik akibat langkah-langkah dari pemerintah sendiri yang acap kali serampangan dan ceroboh. Padahal seharunya peristiwa itu tidak perlu terjadi atau paling tidak dapat diantisipasi dengan analisis dan itung-itungan yang seharusnya dimiliki istana juga pemerintah daerahnya, "seharusnya lho ya".

Sebenarnya bisa saja tidak harus seorang presiden langsung yang datang untuk meresmikan proyek-proyek nasional seperti itu. Apakah ditengah pandemi ada keharusan bahwa presiden harus datang secara langsung? Tidak bisakah jika memang bukan kunjugan yang urgen dilaksanakan cukup melalui telekonferensi saja? Kalau memang terpaksa ingin meninjau sebuah lokasi lebih baik datang dengan beberapa rombongan saja. Atau jika dimungkinkan agenda-agenda peninjauan macam tadi jutru dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Bisa jadi ini langkah yang lebih tepat diterapkan ditengah situasi pandemi. Apa urgensinya melakukan seremonial ditengah kondisi seperti ini? Ayolah, banyak cara yang bisa dilakuakan secara lebih elegan. 

Kondisi ini tidak boleh dibiarkan hingga terkesan seperti dagelan. Pemerintah harus berfikir bagimana aturan-aturan yang berkaitan dengan penegakan protokol kesehatan (hingga skala kegiatan kepresidenan) itu dijalankan dengan wibawa dan antisipasi yang cermat. Wibawa bahwa yang menegakkan aturan harus lebih dulu mematuhinya. Kecermatan dan ketelitian untuk mengantisipasi segala kemungkinan terburuk juga harus disiapkan. Jagan dagelan dan gembelengan jika meminjam istilah orang Jawa. 

Ataukah ini sebuah sinyal bahwa kedepan pemerintah akan bersikap lebih longgar terhadap penerapan protokol kesehatan? Terutama untuk keperluan dirinya (pemerintah) sendiri. Apakah akan ada kecolongan-kecolongan dari pemerintah yang cenderung ditolerir dan dimaklumi dikemudian hari? Apakah seolah kita sepakati bersama bahwa pandemi ini sudah tidak ada lagi? Atau jangan-jangan justru ini yang sebenarnya kita inginkan meskipun secara sembunyi-sembunyi?

Kalau memang presiden sendiri atau protokoler kepresidenan terbukti lalai, salah, atau melanggar ya berlakukan mekanismenya, terpkan sanksinya, minimal minta maaf lah kepada publik. Masyarakat kecil saja rela membayar denda atas penerapan sanksi protokol kesehatan, harusnya pejabat diatas sana lebih mampu menjadi teladan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun