Pandangan-pandangan dari otoritas keagamaan (bukan hanya satu agama saja) terkadang tidak selaras dengan upaya pelestarian warisan budaya yang diakui UNESCO ini. Kontra narasi dalam hal ini diperlukan bukan untuk mencari siapa yang paling benar, namun semata menyuguhkan keberimbangan perspektif sehingga pada tahap selanjutnya biarkan masing-masing orang menilai dengan tingkat pemahaman yang dimiliki.Â
Disisi lain insan perkerisan sendiri seyogyanya tidak melelu terjebak dalam dimensi mistik semata. Bahwa mistik memang bagian yang tidak terpisahkan ihwal perkerisan, namun over mysticsm adalah pandangan yang akhirnya menyebabkan dunia perkerisan stagnan "begitu-begitu melulu". Research ilmiah, publikasi jurnal, dan berbagai inovasi harus dipikirkan dan dihukumi sebagai pekerjaan yang "fardu kifayah".Â
Keyakinan saya spirit research ini lah yang pada zaman dahulu dilakukan oleh seorang empu dalam melahirkan karya ciptaannya. Upaya lahir-batin yang berlangsung cukup lama untuk mencipta yang tadinya belum ada menjadi ada tentu melalui proses penelitian juga bukan? Sehingga dapat dikatakan bahwa empu-empu jaman dahulu merupakan seorang "professor-professor metalurgi" dan peneliti ulung yang kontemplatif sekaligus inovatif.Â
Peluang melalui kesadaran bersama
Yang tidak boleh hilang dari bangsa ini adalah jati dirinya. Tanpa jati diri bangsa ini rasanya tidak PD menghadapi percaturan global, hanya "rubuh-rubuh gedang" atau ikut-ikutan saja terombang-ambing pusaran globalisasi. Keris bukanlah sesuatu yang kuno dan ketinggalan jaman, artefak peninggalan leluhur ini adalah masa depan dan ageman Sang Garuda untuk melesat menuju masa depan. Layaknya kuda-kuda yang harus kokoh untuk melancarkan jurus dalam bela diri, bangsa ini harus memiliki pondasi peradaban yang kokoh pula untuk siap berkompetisi.
Ada peluang di masa depan bagi kita bila tekun menggali kearifan sumur-sumur tua peradaban. Keris menyimpan teknologi fisik dan batin yang layak untuk digali dan dipelajari manusia-manusia moderen di zaman ini. Â
"Ruang-ruang kosong" yang menunggu untuk didialogkan dan diterjemahkan dalam diskursus yang lebih ilmiah masih sangat banyak dan terbuka lebar. Hanya saja selam ini science, sejarah, estetika, bahkan etika didalamnya cenderung tertutup oleh pandangan dogmatis sebagian pihak sehingga pesona keindahan "pamor" Sang Pusaka nan digdaya ini tertutupi.Â
Sudah lumrah bahwa generasi masa kini memiliki jarak pengetahuan yang cukup jauh atau bahkan terputus sehingga tidak tau harus bagaimana merawat peninggalan dan memperlakukan benda pusaka ini.Â
Bila ada eyang atau leluhur yang mewariskan benda ini pada generasi dibawahnya yang memiliki keterputusan pengetahuan yang terjadi adalah keterasingan dan kurangnya kepedulian. Lebih parah lagi ada yang sampai menjadikan benda ini kambing hitam ketika terjadi musibah, sunggu ironis. Tanpa mau belajar semudah itu menyalah-nyalahkan sebuah benda.Â
Nampaknya kesadaran kolektif harus perlahan-lahan ditumbuhkan. Memang bukan pekerjaan sederhana tapi harus dirumuskan bersama. Penggiat-penggiat tosan aji harus pandai berinovasi dan adaptif dengan tuntutan zaman (mengambil spirit sang empu).Â
Menjadi penting untuk mendayagunakan patform-platform digital dan sosial media sebagai bagian dari adaptasi kemajuan zaman. Sekaligus pada titik inilah rasanya pertemuan generasi tua dengan generasi muda terjalin. Dialog antar dua generasi ini adalah sesuatu yang alamiah dan dibutuhkan. Hal ini adalah dinamika yang konstruktif bagi dunia perkerisan.Â