Mohon tunggu...
Penta Sakti
Penta Sakti Mohon Tunggu... Lainnya - Jiwa dan Pusaka

Sarjana psikologi yang percaya Nusantara negeri kramat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Covid-19 Dalam Sebuah Kontemplasi

1 April 2020   22:58 Diperbarui: 2 April 2020   02:51 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rasa-rasanya membahas tentang Pademi Covid-19 yang sedang melanda planet ini tidak akan ada habisnya. Media mainstream, social media hingga obrolan kita kala #dirumahaja tidak akan luput menjadikan pandemi ini sebagai topik utama. 

Sebenarnya cukup membosankan, kita pun sadar terlalu banyak terpapar berita bahkan hoaks tentangnya tentu mengacaukan pikiran, tapi entah mengapa tetap saja mengaksesnya. Sepertinya terlalu lama rebahan membuat angan-angan terbang meninggalkan pijakan logikanya.

 Tapi satu hal yang harus diingat bahwa Alam tetaplah Alam yang punya cara untuk menyampaikan kalimat-kalimatnya. Alam juga punya hak untuk mewedarkan sabdhanya seolah dia yang manja merayu agar kita lebih mesra bercinta dengannya.

Tsunami Informasi dan Yang Kita Alami

Wajar menghela nafas karena data dari www.covid19.go.id sampai hari ini (1/4) ada 1,677 kasus terkonfirmasi positif Covid-19.  Kurang lebih satu bulan sudah kita dibuat ngos-ngosan sejak kasus pertama di negri ini. 

Seiring berjalannya waktu bersliweran pula tulisan dan analisa dari para pakar yang mewarnai lini masa, mereka mencoba mengungkap apa yang sebenarnya sedang terjadi. Ada yang benar-benar mencerdaskan, tapi ada yang hanya membuat kita tambah binggung atau justru psikosomatis karena parno. Dari yang berargumentasi pakai dalil kitab suci sampai orang-orang yang menggandrungi teori konspirasi. Ada yang bilang adzab, Tentara Allah, virus buatan, senjata biologis, karena perang dagang, atau bahkan siklus alam dan lain sebagainya, dan saya rasa itu semua sah-sah saja.

Kita sebenarnya tidak akan pernah tau apa yang sebenarnya terjadi tentang semua ini. Orang bijak berkata : "Di jagat raya ini banyak hal yang lebih baik tidak diketahui karena tidak tau pun tidak berdosa" bisa jadi ungkapan ini tepat untuk kondisi saat ini. Pengetahuan kita sangat terbatas dan terkadang ketidak tahuan lebih menyelamatkan daripada diterjang luapan informasi yang justru membingungkan.

Celakanya informasi yang kita terima dari media mainstream kadang justru disajikan jauh dari prinsip-prinsip kerja jurnalistik. Pun dengan apa yang disampaikan juru bicara pemerintah yang setiap sore kita saksiskan tak jarang pernyataannya malah bikin geleng-geleng kepala. 

Mereka tidak salah, wajar manusia punya celah begitu juga tak cukup waktu untuk mengoreksi pola komunikasi dan kinerja pemerintah. Dalam situasi seperti ini yang salah justru ketidak mampuan kita dalam membatasi, memfilter, dan mencerna tsunami informasi ditengah-tengah keadaan yang berat ini. Sehingga pada akhirnya kita kehilangan basis pengetahuan dan binggung tak ada ujung.

Disisi lain kita tidak mungkin menutup mata, diluar sana para pahlawan garda terdepan berjuang sekuat tenaga. Mereka semua orang yang menyedekahkan dirinya berhadap-hapdapan dengan  resiko terburuk "kematian" dan merek yang berjuang agar sesegera mungkin semua ini berakhir. Tidak sampai hati rasanya jika kita yang berlindung di balik jendela atau menikmati senggangnya karantina tidak iba dan tak segera menyisipkan doa dengan deraian air mata. 

Meskipun jika berkaca kepada kondisi negara, pemerintah nampaknya tidak sedang baik-baik saja untungnya solidaritas dari bawah pada akhirnya tumbuh dan mewabah sebagimana wabah yang dihadapi. Dalam konteks yang lebih luas masyarakat dunia juga bahu-membahu berjibaku seolah pandemi covid-19 ini mengembalikan manusia pada dimensi yang lebih esensi.

Di Dalam Jiwa Yang Kuat Terdapat Tubuh Yang Sehat (sengaja dibalik)

Di tengah kondisi seperti ini banyak orang yang tidak sadar bahwa sebenarnya pertahanan pertama yang harus dimiliki adalah pertahanan psikologis. Pertahanan ini kita perlukan agar tetap berfikr sehat dan menghindari tindakan-tindakan dengan motif emosional semata, waspada tentu berbeda dengan panik dan kalau sampai terperosok dalam jurang kepanikan pasti akan sangat merepotkan.

Setelah menerapkan pola hidup sehat dan hidup "sewajarnya" tak lupa menaati anjuran negara sudah semestinya kita kembangkan kepercayaan diri kita.  Kepercayaan dengan berbekal kekuatan jiwa untuk mempercayai tubuh kita beserta imunitas atau kekebalan didalamnya. 

Jangan pernah lupa bahwa secara alamiah tubuh ini memiliki sistim kekebalan yang luar biasa. Kita hanya perlu mendukung, percaya, dan membiarkan mereka bekerja secara maksimal untuk kita. Sedemikian luar biasanya Tuhan membekali tubuh kita dengan kemampuan semacam ini.

Tubuh kita akan all out memberikan support ketika apa kita lakukan juga all out dan support terhadap tubuh kita, rumus yang sangat sederhana. Hal ini berlaku juga untuk kekebalan tubuh kita. Sistim ini akan bekerja secara maksimal utamanya jika jiwa serta pikiran kita dalam keadaan damai dan tidak berkonflik dengan kecemasan. Ini lah pentingnya kesehatan jiwa bagi setiap manusia dalam menghadapi fase-fase berat perjalanan hidupnya.

Bukan lagi sekedar perkara teknis untuk menjaga kebersihan atau melakukan social  & physical distancing. Untuk makan makanan sehat dan mencuci tangan tentu perkara mudah, tapi sulit bagi kita untuk mengatur tekanan darah dan jantung yang terpacu ketika menerima rentetan "bad News"  wabah ini. Padahal bersamaan dengan itu ada banyak berita, ada ratusan informasi, hingga beragam aktivitas yang dapat merangsang suntikan hormon kebahagian kedalam tubuh kita. Bukankah tinggal kita pilih mau yang mana?

Manusia Makhluk Kosmik

Bersyukur adalah senjata kehidupan yang telah diajarkan semua keyakinan, untuk mampu bersyukur tentu kita harus pandai melihat kedalam. Bukankah sudah cukup lama kita tidak menikmati jamuan mentari pagi? Bukankah dulu 3,5 abad kita dijajah karena kekayaan rempah-rempah ini? Bukankah semua orang suci sangat menikmati waktu ketika berdiam diri? Dan kapan terakhir dunia "bertenggang rasa?"

Tuhan juga ingin manusia bercengkrama dengan semesta karena mentari pagi kathulistiwa sudah terlampau rindu dengan kita, wanginya rempah-rempah nusantara selalu menunggu diseduh, juga heningnya malam nusantara sering terlewat ditafakuri, dan dunia yang butuh jeda karena terlalu sibuk saling menghabisi nyawa. Nyatanya itulah sebaik-baik nalar yang harusnya kita bangun atas aktifitas back to nature yang akhir-akhir ini kita jalani. 

Manusia merupakan spesies yang pandai beradaptasi dengan kondisi lingkungannya. Kita bukan makhluk yang rapuh dan rentan punah hanya karena satu dua kali wabah. Bukankah manusia memiliki segudang catatan sejarah dalam memanage wabah? Manusia di setiap peradaban dunia mewarisi pencapaian  ilmu pengetahuan yang semuanya ampuh menurut porsinya masing-masing dibangun dan tersambung bak tongkat estafet ribuan tahun lalu dari nenek moyangnya. Ilmu pengetahuan ini bak pisau yang harus selalu disandingkan dengan kebijaksanaan agar nurani tak terlukai.

Ini adalah bukti kejeniusan manusia dalam menjawab tantangan alam yang seharusnya menjadi modal sejarah bagi kita agar tetap memiliki harapan kedepan. Logika sederhana paling bodoh adalah anak kecil yang sedang belajar berjalan akan berusaha bangkit ketika ia jatuh dan seberapa banyak ia jatuh adalah seberapa kokoh ia berdiri kembali. Manusia laksana anak yang diasuh bumi dan oleh langit diwarisi ilmu sejati, begitu sempurna bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun