Mohon tunggu...
Peno Suryanto
Peno Suryanto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Warga Negara Indonesia yang cinta tanah air dan bangsa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Cita-Cita Siswaku, Menggerakkan Hati Orangtua untuk Lebih Menyayangi Anaknya

23 Oktober 2014   20:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:59 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Teachers Quality Improvement  (TQI) Angkatan 51 merupakan program kerjasama antara Titian Foundation dengan Ancora Foundation. Program ini merupakan kegiatan pelatihan selama 10 hari dan pendampingan dalam beberapa pertemuan. Pendampingan dilakukan dalam bentuk kelompok kerja guru berdasarkan wilayah kerjanya. Empat kelompok pendampingan guru telah dibentuk, salah satunya kelompok Dlingo.

Kelompok pendampingan guru di Dlingo melaksanakan beberapa  pertemuan. Setiap pertemuan ada satu guru yang memimpin proses saling berbagi pengalaman. Pada pertemuan yang pertama (Rabu, 24 September 2014) Bapak Teguh Raharjo yang menjadi pemimpin pertemuan.  Saat itu, hadir 9 guru, serta saya (Peno Suryanto) dan Yuliardi Swasono sebagai facilitator dari Titian. Bapak Teguh Raharjo memulai kegiatan dengan menceritakan pengalamannya dalam memotivasi siswa setelah mengikuti pelatihan TQI.

Pak Teguh Raharjo dipanggil Pak Tejo, seorang guru di SDN 1 Banjarharjo mulai bercerita "Langkah pertama, saya memberikan tugas kepada siswa untuk menuliskan cita-citanya.  Cita-cita lima, sepuluh dan tigapuluh tahun yang akan datang. Ternyata anak-anak sekarang cita-citanya sudah bervariasi, tidak hanya dokter, pilot, polisi atau TNI. Uniknya, ada anak yang bercita-cita menjadi pembuat sambel."

Mendengar cerita Pak Tedjo, pesertamengeleng-gelengkan kepala, heran dengan cita-cita anak jaman sekarang. Pak Tedjo kemudian menambahkan ceritanya,"Dengan cita-citanya tersebut, saya harap siswa setelah lulus SD dan SMP akan sekolah dimana dan menekuni bidang apa saja.” Demikian cerita Bapak Tedjo.

Cita-cita merupakan impian siswa di masa depannya. Hidup tanpa cita-cita terasa hampa. Bung Karno mengajari semua murid-muridnya dengan mengatakan “Gantungkan cita-citamu setinggi langit !”. Sebagian besar guru alumni TQI tak ketinggalan, memberi tugas kepada siswa untuk menuliskan cita-cita. Selain sebagai salah satu kompetensi menulis dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia,  cita-cita berguna untuk menanamkan impian dan merencanakan untuk mencapainya. Salah satunya adalah Pak Tedjo menggunakan cita-cita untuk memotivasi siswanya.

Kembali ke proses pendampingan, Pak Tedjo melanjutkan ceritanya “Langkah kedua, saya mengadakan rapat dengan orang tua siswa. Selama ini, saya menganggap orang tua terlalu menuntut guru. Orang tua menginginkan anaknya pinter, nilainya bagus dan lulus SD. Mereka menyerahkan segalanya kepada sekolah atau guru.”

Orang tua berfikir guru-lah yang bisa membuat anaknya berprestasi mempunyai nilai tinggi. Walaupun kadang, apa yang diajarkan oleh guru, berbeda dengan yang dilakukan  orang tua. Misalnya, di sekolah siswa dikandani (diajari) lebih baik belajar dari pada nonton TV, sebaliknya orang tuanya menonton sinetron pada waktu seharusnya anak belajar di rumah. Hal-hal seperti itu bisa menghambat perkembangan anak. Oleh karena itu, agar satu visi dengan orang tua, saya mengadakan rapat dengan orang tua/wali siswa”.  Terang Pak Tejo tentang alasannya melibatkan orang tua dalam mendidik siswa.

……enam tahun yang akan datang, saya telah lulus dari SMK dan akan bekerja di Jakarta. Gaji saya, akan saya sisihkan sedikit untuk ditabung. Dan apabila tabungan sudah banyak, saya berikan kepada ibu. Saya harap ibu saya menggunakan uang itu untuk biaya naik haji………”. Salah satu tulisan tentang cita-cita siswa yang dibacakan oleh Pak Tedjo di depan orang tua.

Menurut Pak Tedjo, mendengar cita-cita anak mereka, sebagian besar orang tua terdiam, menunduk.  Air mata terlihat mengalir membasahi pipi mereka. Air mata keharuan karena anaknya mempunyai rencana yang semulia itu untuk orang tuanya. Suasana menjadi sunyi ketika orang tua siswa membaca cita-cita anaknya.

anak-anak ternyata mempunyai rencana untuk orangtuanya, tetapi kadang, orang tua belum mempunyai rencana untuk anaknya” satu kalimat yang diucapkan oleh Pak Tedjo, ketika para orang tua telah selesai membaca cita-cita anak mereka.

Pada saat itu, Pak Tedjo merasakan orang tua sangat menginginkan mendidik anaknya dengan sebaik-baiknya. Untuk meyakinkan Pak Tedjo bertanya kepada orang tua “Bapak dan Ibu, bolehkah saya ajari anak Bapak dan Ibu merokok?” Serentak wali murid mengelengkan kepala dan dengan berbagai bahasa jawaban “mboten Pak”“Tidak Pak”. Kemudian bertanya “kalau berkelahi, berbohong, mencuri ?”. Pertanyaan-pertanyaan retorika yang dibuat Pak Tedjo membuat orang tua siswa satu visi dengan guru dan sekolah.

Di akhir rapat, Pak Tedjo menanyakan kepada orang tua siswa apakah ingin anaknya berprestasi atau berkarakter. Respon para orangtua seperti kebingungan, lalu Pak Tedjo pun menjelaskan lebih lanjut dengan mengatakan, “kalau ingin prestasi (nilainya bagus), siswa-siswa bisa mendapatkan dari mencontek, atau meniru temannya. Dan apabila berkarakter siswa kita didik jujur, tanggungjawab dan disiplin).” Para orang tua siswa tentu saja memilih anaknya yang jujur dan tanggungjawab.

Pak Tedjo kemudian menyampaikan bahwa sekolah berusaha mendidik siswa berkarakter. Soal prestasi, Pak Tedjo memberi penjelasan kepada orang tua “semua anak punya prestasi di bidangnya masing-masing. Ada yang pinter matematika, ada yang berprestasi di bidang agama, atau prestasi memasak. Nilai UAN hanya sebagian kecil dari prestasi anak untuk meraih cita-citanya. Jujur, tanggungjawab, disiplin, ulet merupakan modal meraih cita-cita mereka”.

Mata saya sembab ketika Pak Tedjo menceritakan proses rapat dengan orang tua siswa. Saya membayangkan ketika siswa pulang dan sampai di rumah. Orang tua mereka memeluknya dan mengatakan “terimakasih yo Le, kau telah membuat ibu/bapak bangga”. Hubungan emosi yang positif antara orang tua dengan anak terjalin dengan indahnya. Orang tua akan lebih memperhatikan anaknya dan melaporkan perkembangan anak kepada gurunya. Sebuah pendidikan yang ideal dibangun oleh guru (sekolah), orangtua dan lingkungan masyarakat.

Saya membayangkan juga, pengalaman masa lalu saya saat masih sekolah. Orangtua dipanggil ke sekolah berarti ada permasalahan dengan anaknya. Kemudian, sekolah memberikan informasi bahwa anaknya membolos, mencuri atau berkelahi. Sekolah mengancam akan memberikan sanksi tegas apabila anak mengulangi perbuatan tersebut di kemudian hari. Sepulang sekolah,  orang tua tak menunjukkan kasih sayang kepada anak. Mereka memarahi anak dan memberikan petuah-petuah dalam kemarahannya dengan tujuan agar anak tidak mengulangi perbuatan tersebut. Terbentuklah hubungan emosi negatif antara orang tua dengan anak. Hal ini akan berimbas pada motivasi belajar anak.

Sebagai fasilitator, kami sering mendengarkan keluhan guru yang bisa dikategorikan permasalahan komunikasi dengan orang tua. Misalnya, permasalahan orang tua yang menyerahkan pendidikan hanya kepada guru.“Wis pokoke, kulo pasrah bongkokan, monggo kersone  Bapak/Ibu Guru dumateng anak kulo (Sudahlah, yang penting, saya pasrahkan kepada Bapak/Ibu Guru di sini, bagaimana cara mendidik anak saya)”.Pak Tedjo mempunyai permasalahan yang sama dengan guru-guru lain. Hanya saja, beliau sudah maju selangkah lebih ke depan. Beliau menyentuh hati orang tua, sehingga orangtua pun dengan sukarela turut mendidik anak sebaik-baiknya.

Saya dan guru-guru yang hadir dalam pertemuan ini, belajar banyak dari pengalaman Pak Tedjo.Kami semua belajar bagaimana cara menjalin komunikasi dengan orang tua. Komunikasi yang bisa menimbulkan hubungan emosi positif antara orang tua dengan anak.

Dulu, Saya sempat berpikir akan mengadakan pelatihan yang bertujuan agar hubungan guru dan orangtua terjalin dengan satu visi.Pelatihan tersebut berisi komunikasi efektif dengan orang tua.Salah satu caranya, memperbanyak pemberian informasi positif (kelebihan, prestasi, kemajuan) kepada orang tua. Jika memang ada hal negatif pada anak (kenakalan anak), maka disampaikan secara positif.

Saya merasa lega, melihat perkembangan positif guru setelah mengikuti pelatihan TQI selama 10 hari. Khususnya, Pak Tedjo dan guru di wilayah Dlingo yang telah mempraktikkan bagaimana cara memotivasi siswa dan komunikasi dengan orang tua. Semoga pengalaman dalam proses pendampingan, menjadi pembelajaran bagi saya pribadi dan Titian, dan guru, serta pemerhati pendidikan.

Yogyakarta, 30 September 2014


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun