Di akhir rapat, Pak Tedjo menanyakan kepada orang tua siswa apakah ingin anaknya berprestasi atau berkarakter. Respon para orangtua seperti kebingungan, lalu Pak Tedjo pun menjelaskan lebih lanjut dengan mengatakan, “kalau ingin prestasi (nilainya bagus), siswa-siswa bisa mendapatkan dari mencontek, atau meniru temannya. Dan apabila berkarakter siswa kita didik jujur, tanggungjawab dan disiplin).” Para orang tua siswa tentu saja memilih anaknya yang jujur dan tanggungjawab.
Pak Tedjo kemudian menyampaikan bahwa sekolah berusaha mendidik siswa berkarakter. Soal prestasi, Pak Tedjo memberi penjelasan kepada orang tua “semua anak punya prestasi di bidangnya masing-masing. Ada yang pinter matematika, ada yang berprestasi di bidang agama, atau prestasi memasak. Nilai UAN hanya sebagian kecil dari prestasi anak untuk meraih cita-citanya. Jujur, tanggungjawab, disiplin, ulet merupakan modal meraih cita-cita mereka”.
Mata saya sembab ketika Pak Tedjo menceritakan proses rapat dengan orang tua siswa. Saya membayangkan ketika siswa pulang dan sampai di rumah. Orang tua mereka memeluknya dan mengatakan “terimakasih yo Le, kau telah membuat ibu/bapak bangga”. Hubungan emosi yang positif antara orang tua dengan anak terjalin dengan indahnya. Orang tua akan lebih memperhatikan anaknya dan melaporkan perkembangan anak kepada gurunya. Sebuah pendidikan yang ideal dibangun oleh guru (sekolah), orangtua dan lingkungan masyarakat.
Saya membayangkan juga, pengalaman masa lalu saya saat masih sekolah. Orangtua dipanggil ke sekolah berarti ada permasalahan dengan anaknya. Kemudian, sekolah memberikan informasi bahwa anaknya membolos, mencuri atau berkelahi. Sekolah mengancam akan memberikan sanksi tegas apabila anak mengulangi perbuatan tersebut di kemudian hari. Sepulang sekolah, orang tua tak menunjukkan kasih sayang kepada anak. Mereka memarahi anak dan memberikan petuah-petuah dalam kemarahannya dengan tujuan agar anak tidak mengulangi perbuatan tersebut. Terbentuklah hubungan emosi negatif antara orang tua dengan anak. Hal ini akan berimbas pada motivasi belajar anak.
Sebagai fasilitator, kami sering mendengarkan keluhan guru yang bisa dikategorikan permasalahan komunikasi dengan orang tua. Misalnya, permasalahan orang tua yang menyerahkan pendidikan hanya kepada guru.“Wis pokoke, kulo pasrah bongkokan, monggo kersone Bapak/Ibu Guru dumateng anak kulo (Sudahlah, yang penting, saya pasrahkan kepada Bapak/Ibu Guru di sini, bagaimana cara mendidik anak saya)”.Pak Tedjo mempunyai permasalahan yang sama dengan guru-guru lain. Hanya saja, beliau sudah maju selangkah lebih ke depan. Beliau menyentuh hati orang tua, sehingga orangtua pun dengan sukarela turut mendidik anak sebaik-baiknya.
Saya dan guru-guru yang hadir dalam pertemuan ini, belajar banyak dari pengalaman Pak Tedjo.Kami semua belajar bagaimana cara menjalin komunikasi dengan orang tua. Komunikasi yang bisa menimbulkan hubungan emosi positif antara orang tua dengan anak.
Dulu, Saya sempat berpikir akan mengadakan pelatihan yang bertujuan agar hubungan guru dan orangtua terjalin dengan satu visi.Pelatihan tersebut berisi komunikasi efektif dengan orang tua.Salah satu caranya, memperbanyak pemberian informasi positif (kelebihan, prestasi, kemajuan) kepada orang tua. Jika memang ada hal negatif pada anak (kenakalan anak), maka disampaikan secara positif.
Saya merasa lega, melihat perkembangan positif guru setelah mengikuti pelatihan TQI selama 10 hari. Khususnya, Pak Tedjo dan guru di wilayah Dlingo yang telah mempraktikkan bagaimana cara memotivasi siswa dan komunikasi dengan orang tua. Semoga pengalaman dalam proses pendampingan, menjadi pembelajaran bagi saya pribadi dan Titian, dan guru, serta pemerhati pendidikan.
Yogyakarta, 30 September 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H