Mohon tunggu...
Penny Lumbanraja
Penny Lumbanraja Mohon Tunggu... Lainnya - A girl who love vegetables and fruits. Bataknese.

Warga biasa yang belajar menulis...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nilai Kedamaian Turnamen Piala Dunia

28 Januari 2023   20:12 Diperbarui: 28 Januari 2023   20:14 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Penny Charity Lumbanraja

Di balik keganasan para pemain dalam merebutkan bola, ada banyak kisah yang dijadikan pembelajaran. Sebagai penonton, kita cenderung hanya fokus pada siapa yang menang dan siapa yang kalah. Setiap penonton memang saling memiliki jagoannya masing-masing. Namun, di balik semua pertandingan itu beragam hal bisa menjadi daya tarik perhatian kita.

Pertandingan FIFA Piala Dunia menjadi ajang bergengsi yang selalu ditunggu di dunia. Turnamen incaran para pesepakbola ini tengah berlangsung di Qatar kurang lebih  selama 1 bulan. Momen yang hanya terjadi sekali dalam empat tahun tentu tak ingin disia-siakan. Beruntungnya, pertandingan ini layak diadakan di tengah perebakan pandemi yang sudah terkendali. Meskipun pandemi Covid-19 masih ada, hal ini tak meredupkan semangat para pencinta bola untuk berbondong-bondong menyaksikan permainan secara langsung.

Banyak supporter bergantian menduduki stadion dan jumlahnya dapat mencapai puluhan ribu jiwa. Mereka datang dari negara yang berbeda-beda. Tak hanya negara, mereka juga berasal dari suku, ras, tradisi dan budaya yang berbeda-beda. Dalam hal ini, tentu tidak mudah serta membutuhkan pengarahan yang ketat agar kondisi arena pertandingan tetap berjalan kondusif. Betapapun semangat para pendukung meramaikan pertandingan itu, mereka pasti tidak mengabaikan hal-hal yang patut ditaati. Inilah yang menjadi pembelajaran berharga itu.

Beragam latar belakang negara, beragam pula kebiasaan, perilaku dan pemahamannya. Dan di dalam serangkaian perbedaan itu, mereka dipersatukan di dalam sebuah ruangan besar. Namun, herannya, dari awal pertandingan hingga mencapai final, sejauh ini isu kerusuhan tidak pernah terdengar. Kita tentu berharap peristiwa kerusuhan itu jangan sampai terjadi di sana. Itu artinya menjunjung nilai sportivitas tidak hanya menjadi tugas para pemain, tetapi juga tugas sebagai supporter.

Mengenang kembali peristiwa Kanjuruhan yang pernah terjadi di awal bulan Oktober lalu. Tragedi ini merenggut 135 jiwa yang hilang secara sia-sia. Sungguh amat disesalkan. Tetapi, tidak ada asap kalau tidak ada api. Demikian tragedi ini tidak akan mungkin terjadi bila tidak ada pemicunya. Pengendalian diri dan sikap yang menjadi hal terpenting dalam momen-momen pertandingan seperti ini. Mungkin turnamen besar sekelas Piala Dunia ini dapat dijadikan sebagai petikan berharga.

Para pendukung yang satu tidak perlu menunjukkan kekesalannya akibat kekalahan jagoannya terhadap pendukung lain. Hal ini tidak hanya berlaku pada saat di lapangan, melainkan saat memberikan komentar di media sosial. Tindakan seperti ini hanya akan menimbulkan gangguan yang berujung pada konflik. Karena kecenderungan pengguna sosial yang tidak bijak saat memberi komentar, sebenarnya hal ini juga memicu adanya konflik.

Pernyataan-pernyataan berupa penghinaan, mengolok-olok kekalahan tim lain serta mengejek sesungguhnya adalah penyakit yang sulit untuk diobati. Mental-mental seperti ini yang masih dimiliki dan membuat kita sangat sulit bersaing dengan kemajuan lawan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Salah satu alasan mengapa tim sepakbola Indonesia belum bisa bersaing di kancah dunia akibat kita sebagai masyarakatnya tidak sepenuhnya memberi dukungan. Kita belum sadar bentuk dukungan seperti apa yang dapat diperbuat kepada tim kita sendiri. Kita cenderung lebih suka bersikap provokasi terhadap tim lain.

Sebagai masyarakat, kita belum mampu menerima kekalahan tim sendiri. Kita cenderung mengelak kemenangan ataupun kekalahan tim lain dengan memberikan ujaran-ujaran yang menjatuhkan. Jangankan untuk tim sendiri, kita sebagai masyarakat suka juga mengadili orang lain yang mungkin tidak bersalah dari negara kita. Seperti contoh, menghina A dari X karena fans atau menyukai B dari negara Y. Orang-orang seperti kita cenderung lebih mampu memberikan pembulian lewat komentar-komentar daripada merefleksi sejauh mana kontribusi dari diri sendiri. Kita lebih suka mengotori diri lewat penghinaan daripada mengkloning hal-hal yang positif.

Seperti halnya para supporter asal Jepang. Meskipun tim nasionalnya kalah melawan timnas asal Kroasia, mereka masih berbesar hati sambil mengutip sampah terlebih dahulu sebelum meninggalkan arena stadion. Masyarakat asal negeri penganut dewa matahari itu tahu bersikap positif meskipun hatinya yang dalam dipenuhi kesedihan dan rasa kekecewaan. Mereka tidak merusuh dan dengan besar hati menerima kekalahan tim-nya. Karena mereka tahu bahwa dukungan yang diberikan tidak serta merta hanya berupa sorakan, menerima kekalahan juga bagian dari dukungan yang berharga. Mereka telah cukup jelas menyaksikan kerja keras dan usaha para jagoannya saat berlaga di arena lapangan. Para support yakin bahwa timnya telah memberikan yang terbaik. Itu sudah cukup menjadi bentuk penghargaan bagi negaranya.

Aksi saling berjabat tangan antar para pemain juga menghiasi momentum pertandingan yang telah berakhir. Yang kalah dengan sportif menunjukkan ungkapan rasa selamat kepada pemain yang lebih unggul. Tidak memiliki rasa malu ataupun gengsi untuk menjumpai lawan pemainnya. Pertandingan telah usai, tak ada lagi persaingan. Di titik itu, kebesaran hati para pemain diuji.

Sama halnya dengan pendukung asal Qatar. Jagoan yang mereka elu-elukan juga bernasib sama dengan berbagai negara yang mengalahi kekalahan. Namun, yang terjadi tidaklah kerusuhan dan berujung hilangnya nyawa. Tidak perlu merusuh akibat kekalahan di kandang sendiri. Jadi, kekalahan-kekalahan seperti itu adalah sebuah konsekuensi yang memang harus dihadapi dengan lapang hati. Tidak akan mungkin semua dapat menang, pasti akan ada yang kalah. Prinsip itu harus dipegang teguh dan dilatih oleh setiap supporter yang berpikiran maju. Berat, ya memang berat. Akan tetapi itulah kenyataannya. Prinsip itu tidak hanya berlaku di pertandingan kelas dunia seperti Piala Dunia, melainkan di semua pertandingan yang dihadapi.

Sayangnya, hal-hal yang tampaknya sepele seperti ini tidak kita sadari. Kita cenderung memandang sesuatu dari kacamata kecil saja.  Hal-hal berupa pengendalian diri itu tampak secuil di mata kita. Kita suka mencampuradukkan isu keagamaan, ras, suku dan budaya dengan dunia olahraga. Padahal, jika dinilai dengan logika dan rasionalitas semua itu tidak memiliki hubungan. Itu memang terlihat remeh tetapi dibaliknya dapat menimbulkan konflik perpecahan. Perpecahan yang sampai kehilangan nyawa merupakan suatu penyesalan yang luar biasa. Keadaan-keadaan seperti ini membuat masyarakat Indonesia menjadi skeptis terhadap persepakbolaan di tanah air sendiri. Jika begini terus, kita tidak akan benar-benar siap dan selalu tertinggal dengan negara lain.

Tragedi Kanjuruhan janganlah terulang lagi. Jadikan momen Piala Dunia Tahun 2022 ini menjadi tempat merefleksikan diri. Kita cukup tertampar dan tertinggal dengan bagaimana para supporter di stadion luar sana mampu menjaga etikanya dengan baik, bahkan bagi mereka yang berada di kandang sendiri.

Salam olahraga, junjung tinggi sportivitas.

(*) Penulis adalah penikmat olahraga dan bergiat di Perkamen (Perhimpunan Suka Menulis)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun