Oleh: Penny Charity Lumbanraja
Kita memperingati hari buruh sedunia tepat pada tanggal 1 Mei. Peringatan Hari Buruh Sedunia ini dipelopori oleh seorang pejuang sosialis, Karl Marx. Dia menentang sikap penindasan dan terdiskriminasi yang dialami oleh para kaum buruh. Dimulai pada 1 Mei 1886 hingga 4 Mei 1886 menjadi puncak aksi bagi kaum buruh yang dikenal dengan tragedi "Haymart". Kerusuhan Haymarket ini terjadi di Chicago, Illinois dan sampai sekarang masih menyimpan kontroversi.
Tatkala itu, April 1886 ratusan ribu pekerja di Amerika Serikat dengan gencar untuk menghentikan diskriminasi yang dilakukan oleh kaum kelas borjuis. Karl Marx mengartikan kaum ini sebagai kelas sosial yang memiliki dan menguasai alat-alat produksi masyarakat kapitalis. Kelompok sosial borjuis ini muncul dari golongan-golongan orang kaya di perkotaan. Borjuis ini sering merujuk pada sikap yang eksklusif dan konservatif secara sosial.
Perjuangan besar dilakukan oleh para kaum buruh di sepanjang hari sebelum Mei 1886. Mereka berorganisir dengan serikat-serikat pekerja di AS yang cukup besar dan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ditanamkan oleh International Workingsmen Association. Sekitar 50.000 pekerja melakukan aksi mogok dan sebanyak 300.000 pekerja lain ikut bergabung dengan mereka di kemudian hari untuk meneriakkan tuntutan universal "Bekerja Delapan Jam Sehari". Penindasan kaum proletar yang diterima saat mereka merasa tereksploitasi dengan memiliki jam kerja selama 15 jam sehari di AS.
Dengan adanya aksi pemogokan ini membuat segala aktivitas industri di Chicago menjadi lumpuh. Kaum pengusaha (para pemilik modal atau lahan) yang dikenal dengan kelas borjuis menjadi kelagapan. Singkatnya, dua hari kemudian pada Tanggal 3 Mei 1886, pemerintah mengutus sejumlah polisi untuk meredam aksi para buruh. Polisi membabi-buta dengan menembaki mereka dengan sadis. Banyak korban mengalami luka-luka bahkan terdapat empat orang yang tewas. Ibarat singa yang tertidur, hal ini memuncakkan amarah para buruh dan membalas dengan menggencarkan senjata diri dalam demonstrasi di esok hari.
Aksi anarkis ini di pimpin oleh Albert Parsons dan August Spies yang merupakan anggota aktif organisasi Knights of Labour. Mulai dari pelemparan bom dan ledakan dimana-mana. Setiap tempat-tempat bercokol para pekerja, rumah pribadi para aktivis dan sekretariat serikat pekerja ditangkapi satu per satu oleh para polisi.
Delapan tokoh anarkis aktif di Chicago yang dianggap menjadi otak propaganda ditangkap dan dituntut atas tuduhan pembunuhan terencana. Pengadilan menjatuhi hukuman mati bagi para tertuduh. Sebanyak 4 diantaranya, yaitu Albert Parsons, August Spies, Adolf Fischer, dan George Engel dihukumi gantung dan Louise Lingg menggantungkan dirinya di penjara. Ketiga lainnya menjadi sisa tahanan yaitu, Fielden, Michael Schwab, dan Oscar Neebe.
Akhirnya, kampanye-kampanye bermunculan untuk membebaskan para sisa tahanan peristiwa Haymarket tersebut. Hingga pada Juni 1893, Gubernur Altgeld membebaskan mereka dengan mencanangkan pernyataan bahwa ketiganya dibebaskan bukan karena pengampunan secara hukum melainkan karena tokoh-tokoh tersebut terbukti sama sekali tidak bersalah.
Hal ini menjadi penyesalan bagi kelima tokoh lain yang menerima hukuman eksekusi gantung. Ia meneruskan bahwa mereka yang menjadi korban hukum gantung adalah korban dari hakim-hakim dan para juri yang disuap oleh kaum penghasut borjuis. Mereka yang telah mati digantung menjadi tokoh martir Haymarket yang akan selalu dikenang bagi kaum buruh karena telah rela mati untuk memperjuangkan tuntutan "Delapan Jam Sehari" bagi kaum proletar.
Bagi Marx, kaum proletar harus diperjuangkan dan diselamatkan dengan cara menghapuskan hak kepemilikan materi-materi produksi. Paham kapitalisme menjadi akar masalah penindasan bagi kaum buruh saat itu, sehingga harus dibasmi. Hak kepemilikan alat produksi harus disamaratakan untuk menjadi hak milik bersama. Sehingga, setiap masyarakat memiliki kesamaan status pada segi ekonomi.
Masyarakat dapat bekerja sesuai dengan latar belakang kemampuan bekerja mereka dan tetap memiliki hak pendapatan yang sama dengan pekerja lainnya. Pengertian ini akan menimbulkan ketidakadilan bagi pekerja lainnya yang tidak memiliki kompetensi bekerja dengan baik, tetapi tetap menerima upah yang sama. Hal ini menimbulkan kontroversi bagi pengamat ekonomi lain. Karl Marx dianggap gagal dalam membasmi kapitalisme pada zamannya.
Ditentang oleh Robert Michel, seorang sosiologis dan ekonomis politik berkelahiran Italia yang mengontribusikan teori elite dan kekuasaan. Ia menuturkan bahwa kemenangan kaum proletar dalam menghilangkan hak kepemilikan atas alat produksi bagi kaum borjuis tidak mengartikan akan membuat sistem kapitalisme akan hilang. Hal itu akan menjadi kendala bagi para pemimpin untuk memanifestasi kepentingan politiknya dalam menerapkan sistem kekuasaan tidak tak terbatas. Apalagi kekuasaan bagi suatu negara yang menerapkan sistem oligarki absolut dan monarki absolut.
Dalam kehidupan sekarang ini, perjuangan hak-hak kemanusiaan bagi kaum buruh tak sama dengan yang dilakukan oleh Karl Marx saat itu. Beberapa di antara kaum buruh memaknai hari buruh ini terkadang tanpa suatu ideologi yang mengilhami. Bahkan ada yang sama sekali tidak merayakan dan meresapi makna Hari Buruh baginya. Hal ini disebabkan oleh aparat pemerintah yang tidak sungguh-sungguh dalam memperjuangkan hak-hak bagi kaum buruh saat ini. Akibatnya timbullah sikap-sikap anarkis bagi kaum buruh saat berdemonstrasi. Masalah-masalah lama, kalau bukan karena tuntutan menaikkan UMR (Upah Minimum Regional), tuntutan tambahan fasilitas keamanan kerja seperti K3, dan lainnya.
Semua ini akibat desakan perut yang lapar dan tuntutan pemenuhan kehidupan yang serba menaik membuat para kaum buruh tercekik. Bahkan tak sedikit di antaranya mengadu nasib menjadi buruh migran di negara asing dan berharap memperoleh peningkatan kesejahteraan yang lebih baik dari negara lain.
Tak sedikit, banyak pula hal yang merugikan nasib para Pekerja Migran Indonesia yang dihadapi saat mereka bekerja. Tuntutan kebutuhan hiduplah menghantarkan mereka ke negeri lain (seberang) untuk bertahan. Sayangnya, meskipun UU dan segala peraturan telah ditetapkan, masih saja didapati pemerintah kebablasan yang berujung pada pertaruhan nyawa para kaum buruh.
Rendahnya perhatian pemerintah bagi nasib para kaum buruh  membuat mereka kehilangan kepercayaan bagi negaranya sendiri, negara kita Indonesia. Padahal yang mereka lakukan sebagai perwujudan batang tubuh UUD 1945 Pasal 28 A tentang seseorang berhak untuk hidup dan  mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Jika di rumah sendiri tak ada pekerjaan yang layak untuk dikerjakan, alternatif yang mungkin dipilih adalah minggat dari rumah dan masuk ke rumah orang lain. Pola seperti itulah yang sekarang bisa menjadi ancaman dan sudah  dialami oleh kaum buruh di tanah air kita.
Para calon pekerja/buruh berani mengambil langkah demi kelayakan hidupnya menjadi buruh dan bahkan melangkah merantau untuk berjuang. Namun, kapan pemerintah bersikap lebih tegas agar nasib para buruh Indonesia dan para buruh migran Indonesia tidak dipertaruhkan lagi? Apakah pemerintah Indonesia kita akan menjadi tokoh yang selalu dikenang para buruh karena selalu memperjuangkan hak-hak mereka?
*) Penulis adalah warga biasa, alumnus USU dan bergiat di Perhimpunan Suka Menulis (Perkamen).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H