Mohon tunggu...
Rara Peni Asih
Rara Peni Asih Mohon Tunggu... -

Writer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Si Penyusup Ramadhan

16 Juli 2012   11:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:54 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tak hanya umat muslim (personal) saja yang menunggu bulan Ramadhan, bahkan tiap perusahaan atau industri juga memanfaatkan bulan Ramadhan. Bagi pebisnis, mereka tak ingin melewatkan moment bulan Ramadhan, orientasi para pebisnis atau marketing bisnis perusahaan yang ingin maju berkompetisi lwat iklan bertema ramadhan.

Sebuah iklan di televisi seperti sirup, makanan, ice cream sangatlah normal. Namun bagaimana dengan iklan rokok ? apakah khalayak menganggap itu hal yang normal ? atau iklan rokok bertema ramadhan tersebut khalayak merasa tertipu, atau tersentuh  ?

Jika kita menyimak massive-nya iklan rokok bertema Ramadhan, iklan tersebut sangatlah janggal. Iklan rokok yang bernilai ketakwaan memang positif, bahkan menyentuh. Namun apakah khalayak sadar bahwa industri rokok sedang membentuk citra positif ? apakah khalayak sadar bahwa industri rokok telah mempengaruhi cara berpikir kita, bahwa mereka (industri rokok) adalah industri yang baik hati dan produk mereka adalah produk yang aman dan nikmat ?

Ya, perusahaan maju pasti mengandalkan iklan. Yang dapat menghubungkan perusahaan dengan masyarakat khususnya konsumen adalah iklan.

Industri rokok tak hanya menguasai ranah publik di televisi, namunjuga di jalanan, tempat makan, bahkan tempat ibadah spanduk rokok sangat mudah ditemui di jalanan. Tak hanya sekedar spanduk yang mereka pasang, namun spanduk yang melekat di ingatan khalayak dengan tag line menarik, seperti “SEJATI : Berpuasa dengan hati, berbuka dengan Sejati”, apakah konsumen menganggap ini hal normal ?

Kata Sejati menunjukkan sebuah rokok. Umat muslim justru dianjurkan berbuka dengan yang manis, seperti tauladan Nabi Muhammad SAW. Iklan semacam ini sama saja menodai dan menyesatkan bagi umat muslim yang berpuasa. Sama saja mereka menganjurkan berbuka puasa dengan produk mereka, rokok. Rokok adalah produk yang tentunya mubazir, karena rokok yang mengandung banyak zat berbahaya tentu merugikan bagi kesehatan.

Tagline produk adalah bentuk komunikasi industri rokok kepada konsumennya, tak hanya kalimat biasa, namun mereka membuat kalimat yang mudah diingat dan menarik.  Banyak khalayak yang merasa tak ikut terpengaruh, kata ‘Sejati’ tagline tersebut menunjukkan produk rokok dan bermakna pria yang ‘sebenarnya’ gagah, dan sejati. Iklan inilah yang mempersuasi khalayak yang dituju yakni pria (perokok dan non perokok). Meskipun sebagian khalayak tak tergoda untuk merokok, namun tagline tersebut melekat di ingatan khalayak.

Tak hanya ‘Sejati’, slogan rokok seperti “nggak ada lo ngga rame”, “pria punya selera”, “go a head” seolah mengajak para muda-mudi untuk merokok, tanpa malu industri rokok mengiklankan produknya yang berbahaya bagi kesehatan dan adiktif. Mirisnya pada kemasan produk rokok, merk industri rokok terpampang luas, namun peringatan kesehatannya hanya berukuran kecil.

Iklan rokok tentu merangsang orang agar ia merokok, atau bagi non perokok agar mereka mencoba merokok. Seperti iklan salah satu industri rokok, terdengar suara air dan nafas perempuan, lalu suara bisikan pria muncul berkata “A Flava, Click mint”. Terdengarnya suara perempuan bernafas seolah produk tersebut menenangkan dan terdengar seksi, target iklan tersebut adalah perempuan denga seorang pria berbisik seperti membujuk para khalayak untuk mencoba rasa baru dari produk rokok tersebut.

Relasi industri rokok

Industri rokok tak hanya beriklan, namun mereka juga tetap ‘aman’membentuk citra positifnya dengan berCSR, mensponsori acara musik, bahkan yang lebih mencengangkan mereka juga memberikan gratifikasi kepada tokoh agama, kiyai. Bentuk fasilitas yang sering diberikan oleh perusahaan rokok kepada kiyai berupa sponsorship saat pengajian dan bagi-bagi rokok gratis saat pengajian. Selain itu juga tidak kalah dengan upeti kepada pejabat, perusahaan rokok menyediakan biaya pengobatan gratis untuk kiayi dan keluarganya. (hasil penelitian ICW)

Bagaimana dengan keberadaan Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) saat mereka tak setuju dengan UU Kesehatan Pasal 113 yang menyatakan tembakau mengandung zat adiktif, apakah dalang dibalik PBNU juga Industri Rokok ?. Tindakan PBNU sangat janggal, rokok memang jelas zat adiktif, faktanya sekitar 60 zat kimia di dalam rokok menyebabkan kanker.

Acara-acara keagaman pun tak luput dari incaran industri rokok, mereka juga menyusup di ranah agama. Ramadhan, Idul Fitri juga dimanfaatkan mereka. Kalangan tokoh masyarakat dimanfaat mereka. Ketenaran seorang ulama digunakan industri rokok untuk beriklan, tentunya motif mereka adalah menjual produk mereka yang berbahaya namun telah dianggap normal bagi konsumen dan khalayak. Beriklan dengan menggunakan unsur ketakwaan, iman, ikhlas, dan tegar Iklan rokok seolah menyucikan bulan ramdhan, namun dibalik iklan terebut, ada motif terselubung dari Industri rokok, yakni menjual produknya agar tetap dianggap produk yang normal, halal, faktanya produk mereka sangat berbahaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun