Mohon tunggu...
Humaniora

Langkah Kebenaran Menuju Alam Cahaya Tertinggi

27 November 2016   21:03 Diperbarui: 13 Desember 2016   23:17 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Melalui agama yang dijalankan dengan bimbingan sempurna, sebenarnya dapat meraih kehidupan dunia dan akhirat sekaligus. Kehidupan dunia yang didapat dari semua agama adalah, bagaimana bersikap kasih, berbuat baik, saling menghormati dan mematuhi peraturan tertentu sebagai aturan main dalam kehidupan dunia. Apabila dalam agama-agama tersebut terdapat seorang manusia yang benar-benar mampu membimbing manusia lainnya mencapai kehidupan bertuhan yang benar, maka dapat menghantarkan manusia-manusia itu untuk mendapatkan tempat yang baik di akhirat kelak.

Apabila manusia telah mampu memiliki pengetahuan tentang pengetahuan bertuhan yang benar, maka yang diharapkan adalah mereka jadi saling memahami, bahwa tujuan yang dicapai adalah sama, hanya berbeda dari arah jalan yang hendak dituju dan fasilitas yang dipergunakan. Tetapi sayangnya, kehidupan bertuhan yang seharusnya didapatkan dalam semua agama, justru mengaburkan tentang konsep kebenaran bertuhan dan membuat manusia-manusia yang terbagi dalam agama-agama itu, justru menyibukkan diri untuk membangun pagar-pagar yang memisahkan mereka, satu dengan yang lainnya. 

Pagar-pagar pemisah yang dibangun mengelilingi bangunan keangkuhan yang digerakan dan dihembuskan kencang-kencang oleh salah satu dari setiap agama itu, yang justru berasal dari salah seorang manusia yang dianggap menguasai dan memiliki pengetahuan bertuhan yang tertinggi. Ditambahkan dengan motivasi dan kepentingan pribadi yang selalu berhitung dan mengukur dengan nilai tertentu, semakin menjadikan agama-agama itu sebagai bangunan yang justru menjauhkan dari tujuan semula dan menjadikannya tempat sempurna yang berisi kepalsuan.
Keadaan seperti itu terus menerus berkembang kepada manusia, turun-menurun. Semakin lama, semua manusia semakin terhanyut oleh arus ketidakpastian dan kesalahan yang diagungkan. 

Hilanglah sudah konsep kehidupan bertuhan yang sebenarnya. Yang terjadi adalah permunculan dari bangunan-bangunan megah dan imitasi, yang dibangun di atas pondasi pamrih tertentu, menggunakan dinding-dinding keangkuhan, tiang-tiang kepalsuan, dengan beratapkan doktrinasi tentang kebenaran yang dimiliki sendiri. 

Dipoles dengan kebutaan dan ketulian terhadap kebenaran itu sendiri. Kemudian ditambahkan dengan tanaman-tanaman yang menghasilkan buah yang pahit dan tidak bisa dirasakan oleh manusia lainnya. Ada pula tanaman lainnya yang menghasilkan buah yang manis, tetapi memabukan dan penuh dengan duri. 

Bangunan kepalsuan itu pun, disempurnakan oleh pagar-pagar kedengkian, merasa yang paling benar. Pagar kedengkian yang menjulang tinggi itu, masih ditambahkan pula dengan kawat-kawat kemunafikan yang berduri.
Itu merupakan sebagian gambaran yang bila manusia jujur terhadap dirinya sendiri, disadari atau tidak, baik yang terlihat ataupun tersembunyi, seperti itulah kenyataannya. 

Hal ini bukanlah menggambarkan, bahwa semua agama tidak baik. Pada dasarnya, agama-agama itu dibuat oleh seorang manusia yang memang diutus oleh Yang Mahakuasa. Pada awalnya, para Utusan itu menghadirkan konsep yang sempurna tentang kehidupan bertuhan. Mereka pun menanamkan kebaikan kepada manusia di dalamnya, tanpa memikirkan suatu kepentingan terhadap diri mereka sendiri. Tetapi setelah semua Utusan itu telah tiada, maka manusia-manusia yang muncul ke permukaan, yang memproklamirkan diri sebagai pusat pengetahuan dari masing-masing agama, memasukan konsep yang salah. Ditambah dengan memberikan doktrinasi yang menjauhkan manusia dari kedamaian dan kerukunan secara fisik. 

Seorang pemuka agama atau apa pun sebutannya, yang sama sekali tidak memiliki keinginan dari dalam diri untuk membimbing dan menyelamatkan manusia-manusia lainnya dengan kesungguhan hati. Mereka tidak berjuang dengan sepenuh hati, bagaimana nasib manusia-manusia ditangannya, baik dalam kehidupan dunia, apalagi akhirat. 

Mereka memang membicarakan sesuatu hal yang terlihat baik dan menyenangkan. Dan mereka pun selalu mengulang hal yang sama, setiap kali mereka bicara. Mereka tidak bisa memperjuangkan agar manusia-manusia lain di dalam golongannya, benar-benar bisa mendapatkan kebaikan hidup dunia akhirat, dikarenakan mereka sendiri melakukan semua upaya kebaikan itu demi nilai tertentu. 

Mereka sibuk mengejar target, berlomba mempermanis kata, pada akhirnya untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka tidak memahami, betapa kedahagaan manusia-manusia pada umumnya akan suatu kebenaran dan kedamaian dengan manusia lainnya, dari mana pun mereka berasal.
Mereka semua mengatakan, bahwa Tuhan Yang Mahakuasa itu hanya Satu. Tetapi mereka mempersalahkan cara dan langkah yang ditempuh oleh golongan lainnya.

Kedua hal itu merupakan dua pendapat yang berseberangan dan tidak membersitkan suatu kebenaran yang pasti. Apabila setiap agama mengakui, bahwa Tuhan Yang Mahakuasa itu adalah satu, maka seharusnya mereka menyadari, bahwa kebenaran yang ada itu pun bersumber kepada satu Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun