Dalam satu tahun terakhir saya mendatangi beberapa pulau besar di Indonesia, sebut saja pulau Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Sumatera bagian utara dan beberapa kepulauan yang mungkin jauh untuk di jangkau.Â
Dalam perjalanan ini, saya banyak sekali menjumpai berbagai tempat yang sumber kekayaan alamnya luar biasa melimpah. Sebut saja di Sulawesi Tenggara.Â
Di provinsi yang di kenal dengan sulteng ini, di dalam tanahnya adalah Uang dan diatas tanahnya juga uang. Kenapa demikian? Karena hampir semua tanahnya berisi biji nikel yang sangat melimpah ruah.Â
Dan yang diatas tanahnya berisi hutan-hutan yang masih cukup banyak jumlahnya. Apalagi hasil laut dan potensi pulau kecil yang jumlahnya ratusan yang sudah berpenghuni dan sudah mempunyai nama dan masih belum berpenghuni dan belum mempunyai nama.
Perjalanan saya ke Sulawesi sebenarnya bukan untuk mengetahui jumlah kekayaan alamnya, tetapi perjalanan saya ke daerah tersebut sebagai tenaga profesional yang diutus oleh kantor untuk mengerjakan tugas kantor. Akan tetapi saya tergelitik untuk mengetahui sumber daya alamnya yang sangat melimpah itu. Karena saya sering sekali membaca berita tentang pertambangan yang ada di sulteng yang hampir di kuasai oleh asing dalam proses pengolahan tambangnya.
Saya mengajak teman saya untuk keliling dan mendatangi beberapa daerah yang melakukan proses pertambangan itu, sebut saja daerah Kolaka, Konawe, Konawe Kepulauan dan Morowali.Â
Di daerah terakhir yang saya sebut inilah menjadi surga penambang asing menancapkan bendera Kapitalisnya. Luar biasa hebat, membuat saya yang mendengarnya merinding.
Pasalnya daerah terakhir yang saya datangi itu dikuasai oleh asing. Dimana hampir seluruh pekerjanya berasal dari China. Beberapa waktu terakhir pemberitaan media nasional ramai memberitakan serbuan tenaga asing ke daerah tersebut. saya dan teman saya tidak boleh mendekat di daerah tambang tersebut, karena memang dijaga ketat. Karena yang boleh masuk kedaerah tersebut hanyalah orang-orang tertentu dan yang mempunyai akses untuk masuk.Â
Namun warga biasa tidak bisa sembarang masuk dan mendekat kedaerah tersebut. akhirnya, karena keterbatasan saya, saya mencoba mencari data-data dari berbagai media informasi untuk mengetahui terkait jumlah pekerja asing yang sudah melakukan izin kunjungan dan ijin tinggal di daerah tersebut.
 Diambil dari lokadata.id yang sumbernya didapat dari Kantor Imigrasi Sultra bahwa pertahun 2017 ada sekitar 15.950 pekerja asing yang terdiri dari 15.471 laki-laki dan 479 perempuan. Jumlah tersebut cukup banyak bagi pekerja asing, dengan perbandingan penduduk provinsi Sulawesi tenggara sekitar 2.1 juta jiwa.
Data tersebut adalah bentuk sedikit kutipan saja, namun yang sebenarnya ingin saya sampaikan adalah terkait banyaknya sumber daya alam Indonesia yang tidak dikelola oleh masyarakat di daerah tersebut. Sehingga sangat miris apabila tanah yang seharusnya bisa membuat masyarakat sulteng bisa makmur menjadi tidak makmur karena kalah saing dengan pengusaha asing. Seharusnya perputaran ekonomi di daerah sultra sangat besar dan rakyat yang tinggal disana bisa menjadi sultan, jika benar-benar bisa menguasai tanahnya sendiri.
Muncul sebuah pertanyaan sederhana dalam benak saya, kenapa dengan sumber daya alam Indonesia yang sangat melimpah ini, rakyat Indonesia tidak bisa makmur dan sejahtera secara ekonomi? Apakah karena memang tidak bisa mengelola kekayaan alam? Atau karena keterbatasan izin yang diberikan oleh pengusaha karena tidak menguntungkan? Atau karena ini bagian dari kepentingan para penguasa yang bermodal? Pertanyaan itu muncul tiba-tiba dikarenakan saya secara pribadi merasakan bahwa kekayaan alam ini adalah hak rakyat Indonesia dan terutaman hak rakyat Sulawesi tenggara.
Disinilah peran kapitalis menampakkan wajahnya.
Pasar bebas yang sengaja diciptakan oleh pemuja kapitalis untuk kepentingan individu dengan berkedok kesejahteraan rakyat adalah salah satu bentuk cara kapitalis melakukan perannya dalam meraih keuntungan yang sebesarnya-besarnya.Â
Tidak ada yang bisa menghentikan gerakan kapitalisasi itu kecuali ada keinginan dari masyarakat dan pemerintah untuk terus bersambut tangan untuk melawannya.Â
Kaptalisasi gobal merupakan pasar bebas yang terjadi di seluruh dunia yang sebenarnya adalah pemainan pemodal dengan menciptakan ketergantungan kepadanya, dengan berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan keuntungan yang sangat melimpah.
Dalam sebuah seminar diskusi, kapitalisisme global sulit sekali dihentikan. Karena kondisi pasar dunia sudah memberikan jalan yang sangat lebar untuk saling bertransaksi secara bebas.Â
Di negara ASEAN sendiri pasar itu kita kenal dengan MEA, Masyarakat Ekonomi Asean. Dinama gambaran sederhananya adalah boleh saja nanti penjual gorengan berasal dari Vietnam, atau penjual jamu berasal dari Thailand. Bahkan dalam acara Bussnis Matching Japnas pada bulan September 2019 di Jakarta kemarin, mempertemukan para pengusaha antar negara Asean.Â
Dimana didalam acara tersebut saya menyaksikan langsung ketertarikan pengusaha negara Asean lainnya selain Indonesia tertarik kepada usaha yang murni budaya Indonesia (batik, makanan khas dll).Â
Bukan kepada tata cara pengelolaan pasar Indonesia. Begitupun sebaliknya, pengusaha Indonesia tertarik kepada cara pengelolaan pasar negara Asean lainnya, karena harganya yang murah dan kualitasnya hampir sama dengan bahkan lebih baik dari Indonesia. Disinilah saya menemukan bahwa memang ada perbandingan ketertarikan yang sangat besar antara masyarakat Indonesia yang sudah diatur oleh Kapitalisasi global dan belum pernah bisa melawannya,
Ada beberapa yang hal yang menjadi pokok pikiran saya untuk menghadapi Kapitalisme global itu. Yang pertama adalah Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Pengembangan SDM adalah modal utama yang harus dimiliki oleh Indonesia, karena jika SDM nya unggul, mampu dan tangguh maka kemudahan bagi negara Indonesia untuk melakukan filterasi terkait perubahan sosial ekonomi dan budaya. Yang kedua adalah Sistem Negara. Negara Indonesia adalah negara hukum, dimana setiap tingkah laku, tindak tanduknya semuanya berlandaskan akan hukum. Namun sampai saat ini belum adanya sistem perundang-undagan yang mengatur terkait perkonomian global atau pasar bebar itu. Yang ketiga adalah mencintai produk Indonesia. Label cintai produk Indonesia sudah dari dulu digaungkan, namun minim action. Mencintai produk Indonesia bisa dilakukan dari gerakan beli diwarung tetangga, toko kelontong dan lain sebagainya. Yang keempat adalah kesadaran nasional. Kesadaran nasional ini harus dilakukan oleh setiap warga negara Indonesia. Terutama pada perkembangan globalisasi yang sangat serba cepat. Kesadaran nasional bisa dengan tetap menjunjung tinggi asas gotong royong, pemanfaatan teknologi yang positip dan sebagainya.
Keyakina saya secara pribadi dengan sebuah kasus perjalanan saya keberbagai daerah tersebut dengan melihat sumber daya alam yang sangat melimpah yang ada di tanah air tercinta ini bisa kemudian menjadi salah satu kebijaksanaan bagi setiap individu warga Indonesia terutama pemerintah untuk lebih jeli lagi melihat kebutuhan negara, bukan melihat pada kebutuhan individu.
Surabaya, 18 februari 2020
Selamat malam guys !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H