Hal tersebut senada dengan bagaimana Khalifah Ali bin Abi Thalib mengungkapkan kekuatan sebuah tulisan. Bahwa menulis adalah investasi untuk kehidupan akhirat. Sebagai sebuah investasi, tulisan dapat membuat si penulis rugi atau beruntung di akhirat kelak. Penulis akan rugi jika kemudian tulisannya hanya akan menimbulkan kemudharatan bagi manusia yang lain. Kerugian yang diderita setelah ia meninggal pun juga bisa berlipat-lipat, sebanding dengan kemudharatan yang terjadi akibat coretan hitam tersebut. Berlaku juga sebaliknya. Penulis akan mengalami keberuntungan di akhirat kelak jika tulisannya menimbulkan manfaat untuk khalayak umum. Disinilah pilihan para blogger dipertaruhkan. Mau seenaknya sendiri sesuai keinginan dalam mengisi “rumah” mereka, atau mempertimbangkan asas kebutuhan. Silakan pilih sendiri, teman.
Maka, sebuah hal mendasar patut untuk dipikirkan dalam-dalam sebelum jari-jari menari di atas keyboard komputer untuk mengisi “rumah” bernama blog. Mari bertanya sejenak ke diri sendiri. Mari kembali merenungkan isi yang akan menjadi materi tulisan di blog. Karena blog adalah media yang independen, sudah sepatutnya seseorang membuat standar sendiri untuk materi blognya. Ada Tuhan bersama Malaikat-Nya yang selalu mencatat sebiji dzarrah apapun yang kita keluarkan, dan sebar luaskan.
Kata swaliterasi tulisan menjadi perhatian saya terkait pengisian konten blog yang terkadang hanya berdasarkan “keinginan” pemiliknya. Mari dipikirkan dan direnungkan kembali. Apakah informasi yang akan disampaikan tersebut benar-benar sesuai dengan maksud dari sumber primernya? Pun jika informasi tersebut benar, manfaat atau mudharat kah yang akan muncul setelah info tersebut dibagikan kepada banyak orang? Seberapa jauh pengaruh jangka panjang tulisan yang dibuat?
Apakah tulisan itu dapat memberikan energi bagi para pembacanya untuk melakukan hal positif? Apakah coretan itu dapat dipertanggungjawabkan di hadapan manusia, alam, dan Tuhan? Apakah tulisan itu akan membuat manusia menjadi tersesat dalam jalan lurus yang seharusnya dia ikuti? Apakah idenya akan memberikan pemahaman yang baik bagi para pembacanya tentang cara memaknai hidup? Apakah tulisannya mampu menjadikan manusia yang sebelumnya tidak memiliki semangat untuk hidup, kembali menemukan puing-puing semangatnya yang hilang karena tempaan hidup yang semakin mendera?
Apakah tulisannya menyinggung suku, agama, ras, dan antar golongan tertentu? Ataukah sampai menjadi penyulut api permusuhan antar golongan? Jadi, apakah tulisannya dapat membawa menuju kemaslahatan, atau malah sebaliknya, kemudharatan? Literasi di sini, lebih dititkberatkan pada pertanyaan tentang apa, sejauh mana dan mengapa. Sebagai contoh adalah dalam tataran yang lebih spesifik, bahwa apakah tulisan itu malah hanya akan membuat seorang anak kemudian merengek-rengek meminta barang mahal ke orang tua yang setiap hari berjualan asongan di terminal? Atau hanya akan membuat alam terdzolimi karena ulah manusia yang tidak bertanggung jawab terhadap alam yang mereka singgahi?
Sampai saat ini, kata literasi telah mengalami evolusi makna secara luas, tidak melulu pada praktik baca dan tulis saja, namun lebih dari itu. Ada yang memperluas definisi literasi dengan segala hal yang masih memiliki kaitan dengan kebahasaan. Sedangkan definisi yang kompleks dari literasi adalah berpikir kritis, dapat menghitung, memecahkan masalah, cara untuk mencapai tujuan, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan potensi seseorang. Pada tataran individu, daya literasi perseorangan berkontribusi pada daya literasi suatu negara.
Maka dari itu, literasi dapat berpengaruh pada perkembangan suatu bangsa. Ada yang mengatakan kalau tingkat literasi berbanding lurus dengan tingkat kemajuan negaranya. Jika mau berbicara data secara kuantitatif, Indonesia dikategorikan ke dalam negara dengan strata bawah dalam hal literasi diantara negara-negara lain di dunia. Secara spesifik, Central Connecticut State University (CCSU) di United States of America pada tahun 2016 telah menempatkan Indonesia pada peringkat kedua dari bawah diantara 61 negara yang diteliti. Sementara itu, negara Finlandia didaulat sebagai negara dengan tingkat literasi tertinggi. Jika mau dibandingkan dengan data negara maju hingga tahun 2016, Finlandia menduduki negara yang paling maju di dunia pada peringkat ke-10. Delapan dari sepuluh negara dengan tingkat literasi tertinggi didaulat sebagai bagian dari sepuluh besar negara maju di dunia pada tahun 2016. Kedelapan negara tersebut adalah Finlandia, Norwegia, Islandia, Belanda, Denmark, Swedia, Swiss, dan Jerman.
Peringkat ini mengindikasikan bahwa tingkah laku literasi di Indonesia merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Hal tersebut berkaitan dengan keberhasilan individu dan bangsa dalam perekonomian yang berdasarkan pengetahuan untuk menggambarkan masa depan global. Akibat tingkat literasi yang rendah dapat berdampak pada kondisi sosial masyarakat yang cenderung “jorok”, pemikiran dan makanan yang tidak terpelihara dengan baik, suka bertindak dengan kekerasan, penindasan hak asasi dan martabat manusia, serta tindakan yang cenderung brutal dan kasar. Sebuah literasi yang menjadi modal beretika, sebagai titik permulaan peradaban yang lebih baik.
Tidak berlebihan jika saya memaknai sebuah tulisan dalam blog dikategorikan sebagai pembentuk peradaban. Tingkat akses blog itu sendiri yang tinggi oleh dan untuk khalayak luas menjadi alasan mengapa sebuah blog bisa menjadi pembentuk peradaban. Ditambah dengan kemudahan akses internet yang mengiringinya, sebuah blog dapat menjadi panduan hidup bagi masyarakat dari hal yang remeh temeh hingga hal yang membuat dahi berkerut. Maka, tulisan dapat berperan juga sebagai saksi bisu kemajuan dan kemunduran peradaban secara spasial dan temporal. Sebuah penghubung antar zaman dan peradaban yang dapat menentukan, mau dibawa kemana perjalanan sebuah bangsa.
Anak cucu kita menjadi generasi yang menentukan masa depan bangsa dan negara. Tentu kita tidak ingin anak cucu kita di masa depan menjadi korban atas tulisan kita di masa kini.