Mohon tunggu...
Mas Wartono
Mas Wartono Mohon Tunggu... Guru - Guru Ahli Madya, Quizizz Super Trainer, Nara Sumber BPB IKM A3, Penggerak Bergema BLPT A1, Penggerak Dedikatif Komunitas Belajar, Guru Penggerak, Pengajar Praktik, Guru Inovatif, Ketua Komunitas Guru Cakap Teknologi, Analis Data SPSS, Aktor Awan Penggerak

Saya bertugas sebagai guru di daerah terpencil dipulau terluar yaitu Pulau Ndao Nuse, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. Saya mengabdi sebagai pendidik sudah 19 tahun. Hobi saya adalah membaca dan mencari tantangan baru dalam dunia pendidikan. Saat ini saya lebih benyak sebagai nara sumber di berbagai kegiatan terutama yang berhubungan dengan kurikulum merdeka.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Toxic: Kambing Hitam Resign

17 Desember 2024   21:10 Diperbarui: 17 Desember 2024   21:05 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Lingkungan Toxic & Sumber gambar: https://www.sinarharapan.co

Di tengah upaya pemerintah dan lembaga pendidikan meningkatkan kualitas pendidikan, satu fenomena yang masih sering terjadi namun jarang dibicarakan adalah lingkungan kerja yang toxic di sekolah. Lingkungan ini tidak hanya berdampak buruk pada kualitas kerja seorang guru, tetapi juga pada kesehatan mental, emosional, dan kesejahteraan pribadi mereka. Sayangnya, di banyak kasus, lingkungan kerja yang toxic menjadi alasan utama mengapa seorang guru memutuskan untuk resign atau meninggalkan profesinya.

Dalam perspektif profesionalisme seorang guru, lingkungan kerja yang mendukung sangatlah penting. Guru adalah sosok pendidik sekaligus teladan bagi siswa, sehingga membutuhkan kondisi kerja yang kondusif dan sehat agar dapat berkinerja optimal. Ketika seorang guru dihadapkan pada lingkungan yang penuh tekanan, diskriminasi, perundungan, atau kurangnya apresiasi, maka motivasi dan produktivitas mereka secara perlahan akan menurun. Tidak heran jika pada akhirnya, sebagian dari mereka memilih untuk keluar dari situasi yang merugikan tersebut.

Apa Itu Lingkungan Kerja yang Toxic?

Istilah "lingkungan kerja toxic" merujuk pada situasi di mana hubungan antar individu dalam lingkungan kerja dipenuhi dengan perilaku negatif, tidak sehat, dan merusak mental serta emosi seseorang. Lingkungan ini bisa tercipta akibat manajemen yang buruk, komunikasi yang tidak efektif, konflik antar rekan kerja, serta budaya kerja yang tidak mendukung. Dalam konteks sekolah, lingkungan kerja toxic bisa muncul dari beberapa faktor, seperti:

  1. Kepemimpinan Otoriter Kepala sekolah atau pimpinan yang memiliki gaya kepemimpinan otoriter cenderung menciptakan suasana kerja yang menekan. Keputusan yang dibuat sepihak, tanpa melibatkan guru sebagai pihak yang terdampak, sering kali menimbulkan ketidakpuasan dan ketidaknyamanan.
  2. Rekan Kerja yang Tidak Kooperatif Tidak semua rekan kerja memiliki sikap profesional. Beberapa di antaranya mungkin terlibat dalam gosip, saling menjatuhkan, atau memanfaatkan posisi mereka untuk kepentingan pribadi. Ketidakmampuan bekerja sama dalam tim membuat suasana kerja menjadi tidak harmonis.
  3. Minimnya Apresiasi dan Penghargaan Ketika seorang guru telah bekerja keras, tetapi usahanya tidak diakui, rasa frustasi akan muncul. Apresiasi bukan hanya soal penghargaan materi, tetapi juga pengakuan atas kontribusi yang telah diberikan.
  4. Beban Kerja Berlebihan Guru sering kali dihadapkan pada tumpukan tugas administratif yang menguras waktu dan tenaga, sehingga mereka tidak memiliki ruang untuk fokus pada perencanaan dan pengajaran. Beban ini semakin parah ketika tidak ada pembagian tugas yang adil di antara guru.
  5. Bullying dan Diskriminasi Tidak jarang terjadi perundungan atau diskriminasi, baik secara verbal maupun nonverbal, terhadap seorang guru. Diskriminasi bisa bersifat gender, usia, atau senioritas, yang akhirnya merusak kenyamanan individu dalam bekerja.

Semua faktor di atas berkontribusi terhadap terciptanya lingkungan kerja yang toxic. Jika terus dibiarkan, situasi ini akan semakin buruk dan berdampak sistemik, tidak hanya bagi guru tetapi juga siswa sebagai penerima layanan pendidikan.

Dampak Lingkungan Kerja Toxic terhadap Guru

Lingkungan kerja yang toxic membawa dampak serius bagi guru dalam berbagai aspek kehidupan, antara lain:

  1. Kesehatan Mental dan Emosional Guru yang bekerja di lingkungan toxic sering kali mengalami stres, kecemasan, hingga depresi. Tekanan yang berlebihan tanpa dukungan yang memadai membuat kesehatan mental mereka terganggu. Hal ini berpotensi mempengaruhi cara mereka berinteraksi dengan siswa maupun rekan kerja lainnya.
  2. Menurunnya Motivasi dan Kinerja Suasana kerja yang negatif akan mengikis motivasi guru. Mereka tidak lagi merasa antusias untuk mengajar atau memberikan yang terbaik bagi siswa. Akibatnya, kualitas pembelajaran akan menurun, dan siswa pun menjadi korban dari situasi tersebut.
  3. Kehilangan Identitas Profesional Seorang guru seharusnya menjadi individu yang dihormati dan dihargai atas perannya. Namun, dalam lingkungan toxic, sering kali terjadi degradasi identitas profesional. Guru merasa tidak memiliki nilai atau peran penting dalam sekolah.
  4. Kehilangan Keseimbangan Hidup Beban kerja yang tidak realistis dan tuntutan yang berlebihan membuat guru kesulitan menyeimbangkan kehidupan profesional dan pribadi. Waktu bersama keluarga dan waktu untuk diri sendiri sering kali terabaikan.
  5. Keputusan untuk Resign Resign atau berhenti dari pekerjaan adalah keputusan yang tidak mudah bagi seorang guru. Namun, bagi mereka yang telah berjuang dalam lingkungan kerja toxic tanpa perubahan berarti, keputusan ini sering kali menjadi satu-satunya pilihan untuk menyelamatkan diri.

Mengapa Guru Memilih Resign?

Ada beberapa alasan utama mengapa seorang guru memutuskan untuk resign akibat lingkungan kerja toxic:

  1. Demi Kesehatan Mental dan Fisik Kesehatan adalah prioritas utama. Ketika lingkungan kerja sudah berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik, resign menjadi langkah yang logis untuk menyelamatkan diri.
  2. Tidak Ada Perubahan atau Solusi Upaya untuk memperbaiki situasi mungkin sudah dilakukan, seperti menyampaikan keluhan atau berdiskusi dengan pimpinan. Namun, jika tidak ada perubahan atau solusi yang nyata, maka resign adalah jalan keluar.
  3. Mencari Lingkungan Kerja yang Lebih Sehat Guru resign karena berharap menemukan lingkungan kerja yang lebih sehat dan mendukung. Mereka ingin berada di tempat yang mengapresiasi kerja keras, memberikan dukungan, dan mendorong perkembangan profesional.
  4. Harga Diri dan Martabat Dalam lingkungan kerja toxic, sering kali harga diri seorang guru direndahkan. Resign menjadi langkah untuk mempertahankan martabat dan integritas profesional mereka.

Keputusan untuk resign dari profesi guru demi penghasilan yang lebih besar adalah hal yang sangat personal dan dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kebutuhan ekonomi, kesempatan pengembangan karier, kesejahteraan pribadi, dan kepuasan profesional. Berikut beberapa sudut pandang yang bisa dipertimbangkan:

Realitas Kebutuhan Ekonomi: Kebutuhan hidup yang semakin meningkat sering kali memaksa seseorang untuk mencari pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi. Jika profesi guru tidak memberikan kesejahteraan yang cukup, wajar bila seseorang mempertimbangkan pilihan lain.

Minat dan Passion di Bidang Lain: Ada kalanya seseorang menemukan passion atau keterampilan yang lebih sesuai di luar dunia pendidikan, yang sekaligus memberikan penghasilan lebih baik. Jika pekerjaan baru itu membuat seseorang lebih bahagia dan sejahtera, maka keputusan resign bisa menjadi langkah positif.

Penghargaan terhadap Profesi Guru: Penting untuk diakui bahwa profesi guru adalah pilar kemajuan bangsa. Namun, tantangan seperti rendahnya gaji atau kurangnya apresiasi dapat membuat sebagian guru merasa profesinya tidak sebanding dengan perjuangan yang diberikan.

Dampak terhadap Pendidikan: Jika terlalu banyak guru berbakat yang resign karena faktor ekonomi, ini bisa menjadi alarm serius bagi dunia pendidikan kita. Pemerintah dan pemangku kebijakan perlu mencari solusi agar profesi guru lebih menarik dan berkelanjutan.

Menciptakan Dampak dengan Cara Lain: Bagi guru yang memilih resign, bukan berarti kontribusi terhadap pendidikan harus berhenti. Banyak peluang di sektor lain yang tetap mendukung dunia pendidikan, seperti melalui pelatihan guru, teknologi pendidikan, atau kewirausahaan yang berfokus pada solusi pendidikan.

Langkah-langkah Mengatasi Lingkungan Kerja Toxic di Sekolah

Untuk mencegah terjadinya resign massal guru akibat lingkungan kerja toxic, diperlukan upaya dari berbagai pihak. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:

  1. Meningkatkan Gaya Kepemimpinan yang Inklusif Kepala sekolah dan pemimpin lembaga pendidikan perlu menerapkan gaya kepemimpinan yang inklusif, di mana guru dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan didengar suaranya.
  2. Membangun Budaya Komunikasi yang Positif Komunikasi yang terbuka dan sehat antar guru, staf, dan pimpinan akan menciptakan suasana kerja yang harmonis. Budaya saling menghormati dan mendukung harus dibangun sejak awal.
  3. Memberikan Dukungan Kesehatan Mental Sekolah perlu menyediakan layanan konseling atau pendampingan psikologis bagi guru yang mengalami stres atau masalah mental akibat pekerjaan.
  4. Membagi Beban Kerja Secara Adil Tugas dan tanggung jawab guru harus dibagi secara adil agar tidak ada pihak yang merasa terbebani. Fokus utama harus tetap pada proses belajar-mengajar, bukan sekadar tugas administratif.
  5. Memberikan Apresiasi yang Layak Penghargaan dan apresiasi terhadap guru sangat penting untuk menjaga motivasi mereka. Pengakuan atas usaha dan pencapaian akan membuat guru merasa dihargai dan dihormati.
  6. Mengatasi Konflik dengan Bijaksana Setiap konflik harus ditangani dengan cepat dan bijaksana agar tidak berkembang menjadi situasi yang lebih buruk. Mediasi atau dialog terbuka bisa menjadi solusi efektif.

Lingkungan kerja yang toxic di sekolah adalah masalah serius yang perlu segera ditangani. Seorang guru yang resign akibat situasi ini bukanlah sosok yang lemah atau tidak profesional, melainkan individu yang berani mengambil langkah untuk melindungi kesejahteraannya. Penting bagi sekolah dan pemangku kebijakan pendidikan untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat, mendukung, dan inklusif agar guru dapat bekerja dengan optimal.

Guru adalah ujung tombak pendidikan. Jika lingkungan kerja tidak kondusif, maka proses pendidikan pun akan terganggu. Oleh karena itu, mari bersama-sama membangun sekolah sebagai tempat yang nyaman dan positif bagi semua, khususnya para guru yang telah mendedikasikan hidup mereka untuk mendidik generasi masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun