Mohon tunggu...
Ali Eff Laman
Ali Eff Laman Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Lepas Bebas

Orang biasa yang dikelilingi orang luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisahku di Stasiun Terakhir

29 November 2023   11:24 Diperbarui: 29 November 2023   17:17 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Pribadi.Ali

KISAHKU DI STASIUN TERAKHIR

Dalam pagi yang hening itu, ketenangan terasa seperti lapisan tipis yang menyembunyikan gelombang peristiwa tak terduga yang terus berulang. Aku, terperangkap dalam kerumitan pekerjaan dan rutinitas harian, tidak menyadari  ada getaran halus yang merayap masuk. Tubuhku yang lelah dan pikiranku yang terperangkap dalam urusan sehari-hari serta masalah kompleks membuat kekuatanku perlahan terkikis. Aku terbenam begitu dalam pada diri sendiri sehingga tak lagi memperhatikan perhatian orang di sekitarku.

Sudah seminggu ini, aku berjuang melawan sakit yang merayap dalam tubuhku. Meskipun badanku meminta istirahat, tanggung jawab di kantor membuatku tetap nekat untuk pergi bekerja. Kondisiku yang semakin melemah memaksa istriku untuk mengantarku ke kantor yang memang se-arah dengan kantornya. Dengan tatapan khawatir, dia mengendarai mobil, dan aku terbaring di kursi belakang, tersesat dalam dunia pikiranku yang sebenarnya lebih jauh dari sesuatu yang dikhawatirkannya.

Perjalanan menuju kantor disepanjang kesunyian jalan tol di pagi hari yang akhirnya terpecahkan oleh suara pelan istriku. "Ikutlah ke pulau bersamaku. Aku punya tugas di sana, dan kamu bisa istirahat sambil aku menyelesaikan pekerjaanku. Ambillah cuti saja beberapa hari," katanya dengan semangat menghibur, seolah-olah masalah yang dihadapinya nya jauh lebih ringan. Meski aku menyadari bahwa masalahnya sama beratnya dengan yang kurasakan, dan semangatnya ini yang menjadi alasan bagiku untuk terus bersamanya.
Namun, terikat pada tanggung jawab kantorku, aku menolak tawaran tersebut. Ditengah perjalanan, aku memutuskan untuk melanjutkan dengan kendaraan ojek. Meminjam ponsel istriku, aku memesan ojek online karena lupa membawa ponsel pribadiku tertinggal tadi pagi sewaktu berangkat. Aku terus melaju menuju kantor, tetap berusaha menjalani hari seperti biasa.

Namun begitu tiba di kantor, kepala ini terasa berat dan mataku mulai perih. Konsentrasi kerja kembali terusik, teringat kisah tadi, kisah kemarin dan kemarinnya lagi . Aku memutuskan untuk menghubungi pimpinanku dan meminta izin cuti. Dengan persetujuannya, aku meninggalkan ruang kerja dan keluar dari kantor, melewati pos keamanan yang sepi.
Aku berjalan menuju stasiun Tanah Abang yang tidak terlalu jauh dari kantor dengan langkah yang terpaksa tanpa tujuan yang jelas. Pandanganku agak kabur, dan aku berhasil sampai di stasiun yang terlihat mulai sepi. Setelah membeli tiket, aku menuju peron 6 gerbong 4 memilih tempat duduk paling pojok di kursi biru yang kosong dan mencoba menenangkan diri dan melamun. Kereta berjalan, tak tahu kapan dan di stasiun mana aku akan berhenti. Sesekali terbersit pikiran gelap di setiap stasiun kereta. Cara paling mudah untuk menyudahi masalah, semudah menjatuhkan kapas ke tanah, lambat tapi pasti.

Bunyi sirene kereta mengagetkanku, mengingatkanku untuk keluar dari kereta di stasiun perhentian terakhir ini. Aku berjalan tanpa tujuan pasti, menyusuri kehidupan yang sibuk di luar sana berharap menemukan kesadaran bahwa hidup mereka lebih berat dari yang kualami.

Aku melihat orang hilir mudik begitu banyaknya, berjalan cepat susul susulan entah kemana tujuan, bersenggolan tanpa saling sapa. Begitulah kehidupan, setiap orang dengan urusannya sendiri, tak peduli dengan yang lain. Sebenernya itu ada baiknya juga, daripada saling peduli, dimulai dengan saling berbagi cerita, berharap masalah menjadi lebih ringan alih alih makin ringan teman bicara jadi punya bahan untuk diobrolkan dengan orang lain dan itu menjadi cara penerbitan riwayat hidup kita dengan cara yang kurang menyenangkan.

Sekarang, aku makin merasa begitu dekat dengan keheningan waktu. Safari dari masjid ke masjid, dari pasar ke pasar, tanpa alat komunikasi, kartu identitas, atau dompet. Hanya sebuah tas ransel, GPD mini, smart tablet, dan kartu kereta yang menemaniku. Mengelana waktu hingga terus berlalu hingga kelam malam tiba.
Ini bukanlah pengembaraan pertamaku. Sejak musim buah simalakama,  jika istriku bertugas di Pulau Seribu, aku tak pulang ke rumah merupakan sebuah ritual yang difahami bersama . Rumah yang cahayanya meredup jika tanpa istriku, buah hati, bocah kecilku pun tak cukup mampu menerangi rumah dengan keceriaannya yang kerap kali redup dengan sumber ketakutan yang sama. Adanya mbak pengasuhnya di rumah membuat pilihan tega dengan sedikit rasa aman meninggalkannya.

Aku  menjelajah tempat-tempat tak dikenal. Biasanya, waktu ini saatku mencari inspirasi, bahan tulisan, atau sekadar memperkaya pengetahuan dengan menjalani kehidupan sederhana di tempat-tempat baru dimana banyak orang tak peduli siapa aku.
Namun, malam ini adalah perjalanan tanpa rencana. Pukul 16.30 tadi sore saatnya pulang kerja bagi pegawai pemerintah, karena aku belum pulang istriku mengira aku masih di kantor. Kepanikannya mendorongnya untuk menghubungi teman kantorku. Mereka menemukan dompetku dan ponsel di meja kantorku, disinilah mulai kegelisahan.

Ketidaknyamanan merebak, dan kabar kehilanganku menyebar di berbagai grup WhatsApp. Spekulasi bermunculan, dihiasi dengan cerita kesalahan-kesalahan kecilku. Sementara itu, di dimensi lain, aku merasa mengobati diri tanpa merasa bersalah.
Dalam kegelapan malam, saat aku berbaring dengan tas sebagai alas, ada getaran dari dalam tas. Tabletku bereaksi terhadap tekanan. Aku menyalakannya dan terhubung ke layanan Wi-Fi di stasiun kereta. Terperanjat, aku baru menyadari bahwa seantero kerabat Jakarta tengah mencariku.

Aku merasa bersalah melihat kekhawatiran dan upaya pencarian orang-orang di sekitarku. Teman-teman kantorku, keluargaku, dan bahkan orang-orang yang tak kukenal, semuanya bersatu mencariku. Mereka menjelajahi setiap sudut kota, menyusuri rumah sakit, dan bahkan memeriksa media sosialku. Mereka menunda waktu tidurnya untuk terus berdoa dan berharap mendapat kabar dariku.
Melalui layar tablet, aku terhubung dengan dunia maya. Meskipun terpisah oleh jarak, terasa kebersamaan yang luar biasa. Aku menyadari bahwa setiap tindakan kecilku memiliki dampak yang lebih besar daripada yang aku bayangkan. Pencarian diriku menjadi kisah bersama, di mana orang-orang yang tidak kukenal bersatu untuk membantu sesama.

Waktu berlalu, dan aku semakin dekat dengan keberadaanku sendiri. Setiap pesan doa menjadi penguat semangatku. Meskipun masih dalam ketidakpastian, aku mulai melihat sinar kebersamaan bercahaya di ujung terowongan.
Dalam pertemuan antara dunia nyata dan maya, antara kisah hidupku dan pencarianku, aku merasakan adanya keajaiban yang tengah terjadi. Meskipun keputusasaan dan kesunyian sempat merajai, namun cahaya harapan mulai bersinar di sudut hatiku yang mulai gelap.
Malam itu, saat pencarian mencapai puncaknya, aku dan para pencari bersatu menemukan keseimbangan. Aku merasa terhubung dengan dunia luar dan sekaligus merenung dalam diriku sendiri. Keberanian untuk terus hidup, meski dalam kelemahan dan ketidakpastian, mulai tumbuh dalam diriku.

Dalam kehangatan dan kebersamaan yang muncul dari pencarian ini, aku belajar bahwa kita tidak pernah sendirian dalam perjalanan hidup ini. Ada kekuatan di luar sana yang mendukung kita, dan setiap tindakan kecil kita memiliki dampak yang jauh lebih besar daripada yang kita kira.

Akhirnya, lewat WhatsApp Web, aku segera menghubungi istriku mengurai kekhawatirannya dan menyampaikan bahwa aku baik-baik saja di tempat yang aman. Namun kekhawatiran akan masih bersarang di benak mereka yang mengetahui kisah sebenarnya, pencarian tetap berlanjut hingga keponakanku yang semalaman tidak tidur menemukan jejakku.
"Ayo, Om, kita pulang," ucapnya. Akhirnya, aku pulang, menyisakan satu lembar kisah dalam bab-bab hidupku yang melibatkan mereka untuk memahami dan menutupnya menjadi lebih sederhana, meski prasangkanya masih terurai di dalamnya.

Dengan sedikit semangat tersisa, aku mencoba menasehati diri sendiri bahwa meskipun perjalanan ini dipenuhi liku-liku dan perasaan rumit, aku menyadari bahwa hidup ini berharga dan penuh potensi untuk tumbuh dan menginspirasi. Hidup memang tidak selalu mulus, seperti jalan yang penuh dengan kerikil kecil yang sesekali membuat kita tersandung. Jika itu pernah terjadi padamu, jangan merasa kehilangan diri. Percayalah, Tuhan menciptakan manusia bukan untuk menderita.

Dalam cerita hidupku yang penuh warna, aku menemukan arti sejati dari kehidupan. Keajaiban terletak pada keterhubungan antar satu sama lain, di mana setiap individu, meski hanya seorang diri, dapat menjadi bagian dari cerita hidup orang lain. Jadi, janganlah egois untuk menyelesaikannya sendiri. Itu bisa menyusahkan banyak orang yang mungkin tidak ada sangkut pautnya dengan masalah yang kamu alami.

Terima kasih untuk semua yang peduli, yang dengan cintanya meniup kapas terbang agar tidak jatuh ke tanah. Terima kasih untuk istriku yang kuat setegar baja. Terima kasih untuk keluarga dan teman-teman. Jika suatu saat kapas itu jatuh ke tanah, dan tak seorangpun mampu mencegahnya itu artinya Tuhan telah merelakan. Siapapun kapas itu, siapapun yang meniup atau membiarkannya, itulah Stasiun Terakhir. Stasiun kematian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun