HADIAH UNTUK
SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT
MENJELANG PENSIUN
Â
Sebagai salah satu alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), saya bukan satu-satunya yang pernah menyampaikan ini, sudah banyak teman sejawat kami yang mengeluhkan kondisi di dunia pekerjaan terutama di Institusi kesehatan.
Kita semua tahu, secara teori FKM (public health) Â berbeda dengan FK/FKG (medis), Public Health fokus utamanya pada area preventif dan promotif sementara medis pada area kuratif.
Kita juga  menyadari bahwa kesehatan itu seharusnya ditangani bersama-sama oleh seluruh pelaku kesehatan baik medis maupun non medis. Untuk itu diperlukan kolaborasi yang baik. Kolaborasi yang baik tentu saja bisa berjalan jika didasari oleh kompetensi dan hubungan berbagai profesi sebagai mitra sejajar.
Fakta lapangan, meskipun dengan kadar yang berbeda-beda namun terasa adanya perbedaan perlakuan yang nyaris seperti ada kasta dalam profesi kesehatan. Dan salah satu yang turut merasakan adalah para lulusan FKM, setidaknya itu yang dikeluhkan beberapa sejawat kami. Sementara perawat dan profesi kesehatan lain mungkin merasakan hal sama tapi kali ini saya tidak membahas profesi-profesi tersebut. Diskriminasi ini sepertinya terjadi baik di institusi pelayanan langsung maupun institusi administrative kesehatan.
Saya tidak tahu, apakah kondisi ini diketahui oleh para senior kami yang ada di universitas, yang terus saja melahirkan lulusan FKM dengan konsep teori tingkat tinggi sampai pendidikan doktoral, namun tidak menyadari fakta lapangan kerja, dimana institusi kesehatan di berbagai lini secara umum belum tampak menerima lulusan FKM sebagaimana mestinya.
Dengan gagah para alumni bersemangat menuju medan kerja dengan mimpi penerapan paradigma sehat, namun apa daya, institusi kesehatan secara terang benderang masih menganggap lulusan FKM adalah warga kelas dua atau mungkin kelas 3, 4...Bisa kita lihat bagaimana posisi para lulusan FKM di institusi kesehatan, hampir seluruh area Public health diprioritaskan pada profesi tertentu, lulusan SKM jarang diperhitungkan.
Terlalu vulgar rasanya jika ada lulusan muda alumni strata 1 tenaga fungsional kuratif lebih dipercaya menjadi pemimpin, sementara alumni FKM selevel doktoral area preventif dan promotive menjadi stafnya. Atau misalnya Magister epidemiology berbasis SKM menjadi staf seksi surveilans yang dipimpin dokter gigi. SKM seperti dipandang sebelah mata, nyaris tidak diperhitungkan sama sekali. Mengherankan, tenaga medis fungsional yang seharusnya menangani  layanan langsung pada pasien, lebih dipercaya mengelola administrative menghadapi kertas-kertas. Ini  adalah pemandangan biasa, seolah jabatan teknis  ini adalah jabatan politis, bagi-bagi kekuasaan. Entah lah...
Tidak harus SKM juga ! Tidak juga harus medis, ini kan lahan pengabdian kita bersama. Maka kesempatan mestinya milik bersama, jangan ada kasta diantara kita. Mengapa begitu sulit untuk fit and profer test saja, banyak lembaga indpendent yang bisa membantu yang tidak berat ke kanan maupun ke kiri. Atau kembali ke ranahnya masing masing ? yang tugasnya melayani pasien wajib melayani pasien, yang tugasnya manajemen wajib mengelola manajemen, jangan dibolak balik, jangan juga diborong semua. Ini ladang pahala kita bersama brother.
Entah kesepakatan apa yang dibangun oleh para pengambil kebijakan, seolah ada janji kramat para pendahulu untuk mempertahan keanehan-keanehan ini, satu sisi terus mencetak SKM, disisi lain memprioritaskan medis menangani seluruh bidang kesehatan (preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif). Saya pernah beberapa kali melontarkan ide, sudahlah.. Bubarkan saja  FKM !, Apa respon rekan2 sejawat ? Hanya segelintir yang tergelitik, lainnya diam saja, mungkin karena merasa nyaman dengan posisi saat ini karena sukses berkiprah di luar jajaran kesehatan..Tidak mau ambil pusing lagi dengan sejawat yang masih terperangkap dalam rumah besar kesehatan, atau mungkin dulu sudah berjuang dan sekarang  menyerah dengan keadaan..Lelah melihat ketidakadilan.Â