Â
      Udara pagi Jakarta lebih sejuk dari biasanya semenjak orang-orang yang biasa hilir mudik dengan segala keperluan mulai mengurangi aktifitas di luar rumah. Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) aturan yang membatasi mobilitas warga untuk wilayah yang angka kasus covid19 masih tinggi. Jalanan tol yang biasa padat kini lengang, nyaris sepi seperti hari raya atau liburan panjang.
Rutinitasku pada jam seperti ini ngebut di jalan tol, mengejar mesin absensi, telat berapa menit otomatis tunjangan kinerja (TKD) dipotong, "Ya wajar lah namanya telat ya artinya kinerjanya  kurang," kata istriku sewaktu kemarin kutunjukan halaman e-kinerja, potongan tiga ratus tujuh puluh lima  ribu TKD bulan lalu.
      Untung punya istri profesinya PNS juga,  jadi selalu mengerti lika liku jadi PNS. Wajahnya cuma berkerut sedikit saja ketika kutunjukan tampilan saldo jackmobile bank DKI di layar ponselku tadi pagi, tunjangan rutin bulanan berkurang sekitar  tujuh belas jutaan, lagi lagi karena covid19. "Harus ikhlas, demi warga Jakarta," katanya sambil tangannya mengibas-ngibas ponselku seperti sedang mengipas sate. "Tagihan ka-pe-er rumah bagiamana ?" tanya nya. "Masih proses evaluasi permohonan restrukturisasi di Be-Te-En," jawabku datar menunggu reaksinya. Ternyata dia diam saja seolah tak terjadi apa-apa, mengembalikan ponselku dan melanjutkan kesibukannya di depan laptop kerjanya.
      Tidak terasa sebentar lagi masuk pintu tol, kulepas injakan pedal gas, laju mobilku melambat, kulihat dari kejauhan seperti ada kemacetan. Mobil terlihat berjejer panjang di depan gerbang tol, penuh kiri kanan seperti antri masuk gerbang pelabuhan merak dihari libur panjang. Alhamdulilah hanya antrian biasa di pintu tol. Satu persatu mobil di kiri dan kanan barisan mobilku mulai maju, sampai di mesin pembayaran tol pengemudi menggeluarkan tongkat plastik lalu ditempelkan ke mesin sensor gerbang toll.
      Sejak merebaknya wabah covid, sebagian besar mesin dengan tombol pencet di Jakarta dinon-aktifkan, diganti dengan tombol sensor gerak termasuk di gerbang parkiran.  Dari jendela pengemudi terlihat sopir menjulurkan benda seperti alat pengusir lalat, di ujungnya menempel kartu, lalu kartu itu ditempelkan ke mesin yang akhirnya mengeluarkan kertas tol, kertas ukuran kecil yang keluar dengan cepat lalu melayang, sopir berusaha menangkap tapi gagal, kertas tol terbang melayang ditiup angin jatuh ke jalanan berserakan berkumpul bersama sampah kertas tol lainnya. Palang tol otomatis terlihat naik dan pengemudi melaju kencang seolah merayakan kebebasan lepas dari kemacetan.
      Barisan mobil di depanku belum bergerak. Aku meraih kartu e-toll dari dashboard mobilku, kupandangi beberapa saat, mengingat-ingat berapa sisa saldonya. Dua hari lalu sudah kuisi seratus lima puluh ribu, satu hari pulang pergi kantor ongkos toll lima puluh lima ribu, berarti karena sudah dua hari harusnya masih bersisa empat puluh ribuan, cukup untuk pergi tapi tidak cukup untuk pulang kerja sore nanti.
"Tiiiiiiin..Tiiiiiin." Suara klakson mobil di belakangku terdengar kencang. Â Aku tak bergeming, itu klakson formalitas ala pengemudi jalanan, tidak jelas siapa yang diklaksonnya. Beberapa menit kutunggu masih tidak ada tanda pergerakan. Beberapa pengemudi mulai gelisah, suara klakson mulai bersahut sahutan makin meriah. Seolah berkata , "Buruan maju, gue gak peduli apa masalahmu."
Begitulah sikap pengemudi kebanyakan terlalu cepat emosi, sama ketika lambat beberapa detik maju di lampu lalu lintas, langsung pencet klakson bertubi-tubi, tidak mencoba berfikir positif, Â mungkin pengemudi di depan mengalami kendala yang tidak kita ketahui.
      Tiba tiba mobil merah yang berada persis di depan mobilku bergerak mundur, aku tak bergeming sebab jika langsung mundur mobil di belakangku akan tertabrak. Aku menurunkan kaca mencari tahu apa yang terjadi. Aku mencoba melihat mobil yang berada paling depan yang berhenti persis di depan palang pintu tol. Seorang pria keluar dari mobilnya dan menghampiri petugas tol, terlihat berbincang sebentar, entah apa yang diperbincangkan begitu cepat. Pria itu lalu menghampiri pengendara mobil yang berada dibelakangnya sambil menunjukan sebuah kartu berwarna hitam, tidak berapa lama pria ini berpindah lagi ke mobil urutan ke dua dibelakangnya, sepertinya pengendara yang ditemuinya tidak menanggapinya, terlihat tak satupun yang membuka kaca mobilnya. Pemuda ini terlihat putus asa, memandang jauh sampai pandangannya serasa mengarah padaku penuh harap.
      Kulihat masih ada beberapa mobil di depanku yang lampu belakangnya terang bersinar menyilaukan pertanda poisisi siap untuk memundurkan kendarannya. "Aku tahu masalahnya," kataku dalam hati.  Aku bergegas turun dari mobil, kunaikan masker yang menggantung dileherku, kusematkan talinya ditelinga hingga masker menempel rapat dimulutku. Aku berjalan ke arahnya, tak peduli dengan bunyi klakson yang memekakan telinga.
      Pria ini dari kejauhan mematung berdiri wajahnya berputar ke kiri kanan, mungkin bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukannya, tangannya masih memegang sebuah kartu berwarna hitam, yang sesekali diacungkannya ke atas. Aku berjalan melewati mobil mobil yang jumlah nya sekitar bdelapan buah yang menurutku semuanya tergolong mewah dan terlihat masih baru mulus catnya, merah menyala, hitam, putih, beberapa mobil eropa keluaran terbaru. Mungkin harganya dua atau bahkan lima kali dari harga mobilku. Sebentar lagi aku sampai ke posisi diman pemuda ini berdiri, dia terlihat memandang harap kepadaku.
      "Pak..eee...anu..." Dia terlihat ingin menyampaikan sesuatu, tapi kuhentikan dengan langusung menyuruhnya segera kembali ke mobilnya. Aku sudah tahu apa permasalahannya sebelum diceritakan. Dia terlihat ragu dan masih berusaha ingin menjelaskan. Telapak tanganku kubuka sekali lagi memberi kode agar dia segera masuk ke mobil. Pria ini akhirnya menuju ke mobilnya.
      Aku mempercepat Langkah kaki menuju mesin palang toll, tak tahan juga mendengar suara klakson yang kemudian muncul lagi dari barisan paling belakang. Di bagian depan mesin berbentuk kotak ini terdapat plat metal tempat sensor pembaca kartu e-toll, kutempelkan kartu yang kubawa. Palang tol naik, display tarif tol menunjukan biaya tol Rp.22.000,- dan sisa saldo Rp.22.000,-. Pemuda tadi seperti menyodorkan sesuatu ke arahku, tapi sekali lagi telapak tanganku kubuka ke arahnya, memberi kode untuk segara maju. Tak henti henti dia mengucapkan terima kasih merasa terbebas dari masalah. "Bruuuuum" dia melaju perlahan menghilang dari pandangan ku, dan pandangan orang-orang di belakangnya.
      Kini giliran mobilku berada di depan palang pintu toll, kutempelkan kartu e-toll pada mesin berbentuk kotak yang berada persis di samping kaca jendela mobilku. Aku berucap dalam hati, " Bismillahirohmanirohim." Menunggu detik-detik mesin itu membaca kartu e-toll ku. Beberapa detik kemudian muncul di layar display palang pintu RP.22.000,- sisa saldo Rp.0.Palang toll pun terbuka. "Alhamdulillah, cukup," ucapku dalam hati.
      Akupun memacu kencang mobilku mengejar waktu. Tak jauh dari pintu toll tadi ada sebuah mobil berhenti di pinggir toll, dia membuka kaca jendelanya memberi tanda agar aku berhenti. Oh..aku mengenali, itu mobil tadi yang kubantu meminjamkan kartu e-toll. Dengan tidak mengurangi rasa hormat, aku tidak mengikuti keinginannya untuk berhenti. Aku mengurangi kecepatan dan melambaikan tangan lalu mengacungkan jempol saja, dan diapun membalas dengan memberi jempol pula.
      Aku mengamati dari kaca spion mobilku, dia masih melihatku dari kejauhan. "Sudah pak..,. jangan khawatir masih ada kok orang yang peduli dengan orang lain, semoga bapak melakukan apa yang juga aku lakukan, jangan mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain,"ucapku dalam hati.
      Teringat beberapa hari lalu ketika aku kehabisan saldo e_toll ada seorang anak muda perlente dengan mobil mahalnya telah membantuku dengan "menjual" saldonya Rp.7.500 dengan uang lusuh Rp.50.000,- lembaran terakhir dari dompetku. Karena dia bilang tidak ada uang kembalian, dengan terpaksa ku ikhlaskan, dalam keadaan darurat kupikir dia sudah cukup membantu. Sesuatu yang sebenarnya ironis, ketika aku  sebagai orang yang ditolong, tapi dia yang akhirnya mengucapkan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H