Anakku usianya baru 8 tahun, dia minta dibelikan ponsel.Â
"Bi, beliin 'enpon' dong, kayak temen Faiz," pintanya memelas dengan logat anak-anak pada umumnya. Aku hanya tersenyum tak menjawab.Â
" Tolong ambilkan air minum," kataku. Dia bergegas menuju dapur dan kembali dengan segelas air dingin. "Terima kasih. " Aku menerima segelas air dingin dan segera meneguknya.
"Tolong ambilkan makanan ikan, dan ikan-ikan nya dikasih makan ya dek." Dia bergegas menuju samping rumah tempat dimana box makanan ikan disimpan, dia menuangkan makanan ikan ke kantong plastik, lalu bergegas menuju kolam ikan hias.
Belum selesai dia mengerjakan, kupinta lagi dia memberi makan ikan di kolam lele samping rumah. Aku mengikutinya dari belakang."Terima kasih anak pintar," kataku memujinya. Dia tersenyum sumringah.
Dia begitu bersemangat. Tidak cukup itu saja, aku memintanya pula mengambilkan handuk. Diapun bergegas membawakan. "Ini handuknya, " katanya sambil tersenyum. "Jadi gak kita beli enpon ?" tanyanya penuh harap.
Aku menerima handuk dari tanggannya, lalu mencium handuk yang masih terasa hangat karena baru diangkat dari jemuran. "Terima kasih ya dek, Hmmmm...agak bau makanan ikan nih handuknya, knapa ya.." kataku pelan sambil melirik ke wajahnya.Â
"Iya, maaf Faiz lupa cuci tangan tadi," jawabnya.
"Oh, ternyata setelah dikibas-kibas, baunya bisa hilang lho dek," ucapku sambil mengibas ngibas handuk ditanganku.
Dia bergegas menuju wastapel dan mencuci tangannya, berulang-ulang dia mencium tangannya sendiri untuk memastikan baunya sudah hilang.
Dia menuju ke arahku, dan memeluk kakiku. "Jadi gak kita beli enpon ?" tanyanya lagi. Wajahnya makin memelas.
Aku mengajaknya ke halaman depan rumah, di taman, kami duduk di ayunan besi, tempat dimana aku dan dia sering bercerita bersama, Biasanya aku mendengarkan keluhannya yang katanya dia sering dipanggil "gendut" oleh temannya.
"Faiz gak terlalu gendut kok, faiz jalannya cepat dan rajin, itu tandanya faiz sehat," kataku padanya.
Wajahnya seketika cerah setiap kali mendengar penjelasanku, walau besok dia ngeluh lagi.
Hari ini aku harus menyusun kata untuk menolak permintaannya untuk dibelikan ponsel.Â
" Faiz tadi sudah mengerjakan macam-macam, membantu kerjaan abi ya ?" tanyaku. "Iya, Faiz dibelikan enpon kan ?" katanya sambil tersenyum. "Alhamdulillah, Faiz nih kerjanya ikhlas ya, gak minta apa-apa biarpun sudah membantu," lanjutku memujinya.
"Faiz dapat pahala lho sudah bantuin kerja,keren banget deh," kataku sambil memberinya tanda jempol, mengalihkan pertanyaannya.Â
"Iya, tapi beliin enpon," pintanya lagi.
"Knapa Faiz pingin punya hape ?" tanyaku padanya. "Buat belajar sama main game," jawabnya cepat. "Oh belajar dan main game," kataku mengulangnya.
"Biasanya kalau belajar, sama main game pinjam hape siapa ?" tanyaku lagi. "Pinjem enpon abi, umi dan mbak, " jawabnya.Â
"Faiz pinter belajarnya ya kata bu guru, katanya faiz paling cepat ngumpulin tugas ?" kataku memujinya.
"Iya, tapi Faiz mau punya enpon." Dia mulai merengek.Â
"Ok, abi kasih hape abi buat Faiz nih , tapi yang simpan hape boleh abi ya ?" tawarku sambil menunjukan ponsel warna hitam yang biasa dia pinjam.Â
"Nanti pakai hand phone nya boleh kalau abi pulang kerja, dan abi boleh bantuin Faiz carikan game yang keren-keren biar makin pintar, " lanjutku.
"Ya udah," katanya singkat.
Ini adalah kisah nyata sederhana, saya bukanlah ahli dibidang ini, mungkin caranya tidak tepat hanya mencoba ingin menyampaikan alternatif cara saya menolak membelikan ponsel untuk anak yang belum cukup usianya , mungkin pembaca punya pengalaman lain yang bisa dibagi.
Beberapa hal yang menjadi catatan saya sendiri :
1. Sebenarnya yang dibutuhkan anak itu apa ya ? jangan-jangan dia cuma ingin ngobrol, karena setahu saya anak usia itu tidak seperti usia remaja yang ingin gaya-gayaan.
2. Bagi saya, yang perlu dilakukan ketika anak bertemu masalah, bukan memberikannya jawaban, tapi mengajarinya menghadapi pressure dari teman sebayanya.
3. Kadang ada saatnya kita belum perlu menyampaikan konsep-konsep  sorgawi dan nerakawa yang masih absrak dalam pikirannya, sampaikan saja hal hal konkrit yang bisa dirasa dan mudah dibayangkannya.Â
4. Tidak perlu menghakiminya, permintaan anak-anak adalah hal yang wajar, karena dunianya masih dalam tatanan "keinginan' bukan 'kebutuhan', jadi kita bisa mdncoba menyeimbangkannya.
5. Buang jauh-jauh rasa bersalah jika anak merengek bahkan jika menangis, karena rasa sayang itu tidak harus dengan mewujudkan semua keinginannya..bisa jadi menuruti kemauannya justru  berakibat menjerumuskannya.
6. Mungkin kita perlu mengajarkan fakta kehidupan, bahwa meskipun kita sudah berbuat banyak hal baik, tidak berarti semua keinginan/cita-cita akan terwujud. Perbuatan baik tidak harus mendapat reward berupa barang bahkan bisa jadi kita tidak mendapat apapun pada akhirnya. Dan ini hal yang biasa terjadi di sekitar kehidupan kita.
Keep Strong ya Faiz
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI