Tulisan tidak bermutu ini dimuat di Jawa Pos Radar Jember, Sabtu, 21 Juli 2018. Abaikan. Tidak usah dibaca, biar nggak buang-buang waktu anda!
"KENAKALAN ORANGTUA DEMI PENDIDIKAN ANAK"
Oleh: Rijal Mumazziq Z (Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah (INAIFAS)Kencong Jember)
Ketika menonton sebuah film produksi Bollywood berjudul "Hindi Medium", saya merasa menemukan banyak kesamaan antara kondisi dan ironi dunia pendidikan di India dan Indonesia.Â
Branding dan labelling sekolah internasional bagi kaum tajir, biaya pendidikan sekolah elit yang luar biasa mahal, orangtua yang minder gara-gara anaknya tidak bisa berbahasa Inggris, antre dinihari demi mengambil formulir pendaftaran sekolah bagi anak, kecurangan sistem rekrutmen siswa, orangtua yang abai pada bakat anak, anak yang tertekan gara-gara obsesi orangtua, timpangnya kondisi sekolah negeri dan swasta, dan kecerewetan seorang ibu yang khawatir masa depan anaknya.
Film ini bermula saat pasangan suami istri, Raj Batra (Irrfan Khan) dan Mita (Saba Qamar) yang berasal dari lingkungan menengah di Chandni Chowk, Delhi, ingin menyekolahkan anaknya, Pia (Dishita Shegal), 5 tahun, di sekolah favorit. Mereka rela pindah hunian di kawasan elit agar bisa hidup sebagaimana kehidupan orang kaya: mobil dan rumah mewah, anak yang cas-cis-cus bahasa asing, joging dan yoga secara rutin, liburan ke Eropa, pesta glamour dengan menyantap hidangan aneh bernama kaviar, dan tentu saja bisa menyekolahkan anaknya di sekolah "internesyenel" yang menggunakan nama "enggres".
Sayang, anak kecil kesayangan ini gagal menembus berbagai sekolah internasional itu. Mendatangi konsultan pendidikan rupanya juga bukan solusi bagi Raj dan Mita. Satu-satunya harapan agar bisa diterima di sekolah elit itu adalah melalui jatah kuota 25% bagi kaum miskin. Dan, itu berarti akan menempuh kecurangan dan ketidakjujuran karena pura pura miskin.
Akhirnya, demi Pia, mereka rela pindah ke kawasan kumuh agar bisa mendapatkan surat keterangan miskin dari sekolah. Kehidupan yang mapan berganti dengan keterbatasan hidup di kawasan kumuh mereka jalani agar anaknya bisa lolos menjadi "siswa miskin".
Di sinilah kekocakan dan kekonyolan bermula. Dan di situ pula pada akhirnya Raj Batra menemukan hakikat ketulusan dan esensi persaudaraan dari kaum miskin yang sebelumnya mereka remehkan. Bagaimana akhirnya? Silahkan tonton sendiri saja.
Yang pasti, film dengan rating bagus ini mengasyikkan. Menyindir dengan telak kenakalan orangtua demi anak, serta membuktikan adanya kesalahan yang disengaja dalam pola pendidikan.
"Hindi Medium" berhasil menggambarkan ironi pendidikan bukan hanya di negara tersebut saja, melainkan di negara lain bekas jajahan Eropa. Termasuk Indonesia. Bagaimana standar pendidikan hanya dilihat dari angka yang tertera di rapot, sekolah elit yang hanya berdasarkan istilah Inggris dan melupakan hakikat kedirian siswa, siswa yang dipersiapkan menjadi pekerja industri yang membebek pada kapitalisme, pendidikan yang kehilangan esensinya gara-gara industrialisasi, hingga pada nalar inferior sebagai bangsa terjajah.