Mohon tunggu...
Efriza Riza
Efriza Riza Mohon Tunggu... -

Saya adalah Profesional Penulis dan Editor

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi dan Pemerintahan Terbelah

12 Oktober 2014   23:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:19 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Efriza, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional (UNAS) Jakarta, dan Penulis Buku PolitikStudi Parlemen Sejarah, Konsep, dan Lanskap Politik Indonesia

Koalisi di Indonesia memang menjadi hal yang terkesan penting. Sejatinya format koalisi hanya untuk menjelang pilpres. Koalisi menjadi kian penting karena format Pilpres kita anomali untuk penguatan presidensiil. Inkonsistensi ini tak hanya tampak pada pelembagaan persyarat ambang batas perolehan suara atau kursi DPR sebagai parpol atau gabungan parpol harus memperoleh total perolehan suara dan kursi tertentu secara nasional di DPR sebagai sarat mengajukan pasangan capres dan cawapres.

Inkonsistensi ini yang memaksa partai-partai untuk berkoalisi secara pragmatis dan mengabaikan faktor ideologis. Kesalahan ini semakin diperparah oleh SBY sebagai Presiden terpilih hasil dari dipilihnya menyelenggarakan Pilpres di Indonesia, memiliki perilaku diri sebagai Presiden yang lembek kekhawatiran yang “sungguh terlalu” membentuk koalisi merangkul semua termasuk lawan koalisinya di Pilpres. Tindakan SBY ini berdampak pula mengabaikan hak elektoral rakyat, partai-partai yang telah mendapat punishment malah bergabung dalam koalisi di pemerintahan.

Akibatnya, terkesan sistem presidensiil di Indonesia lemah. Faktanya, kelemahan itu bukan pada sistem tetapi pada sisi SBY sebagai leadership. Jika kekhawatiran akan pemerintahan diganggu oleh parlemen. Sejatinya dalam sistem presidensiil, parlemen dan eksekutif memang dua institusi berbeda melainkan juga independen terhadapnya. Parlemen memang tugasnya sebagai pengawas pemerintah. Jika parlemen yang diinginkan oleh SBY yang selalu setuju, lebih baik parlemen dibubarkan saja.

Era Jokowi-Jusuf Kalla

Kekhawatiran ini pula yang tampaknya ada dalam pemikiran Jokowi sebagai presiden terpilih. Jokowi mencoba mendekati koalisi partai rivalnya (Koalisi Merah Putih), beberapa partai dirayu seperti PAN, PPP, atau PD dalam rangka kerjasama dengan kompensasi kursi kabinet. Apalagi melihat realitas pemerintahan terbelah, Parlemen dikuasai oleh Koalisi Merah Putih.

Kekhawatiran ini semestinya segera dihilangkan oleh Jokowi. Langkah koalisi yang dijalankan oleh SBY bukan saja sebuah keliruan, karena koalisi politik pendukung Presiden justru menjadi perangkap sekaligus penjara malah cita-cita melembagakan pemerintahan yang efektif akhirnya tersingkirkan.

Yang perlu segera disadari adalah, meski pemerintahan yang terbelah (divided government), ini tidak akan membuat pemerintahan tidak berjalan malah terjadi persaingan keras dalam Proses Pembuatan Keputusan yang pro rakyat. Andai jika terjadi kebuntuan kultur Indonesia sebagai bangsa yang mengedepankan tepa salira, bisa menghasilkan musyawarah dalam keputusan yang bermanfaat bagi rakyat.

UUD 1945 hasil amanden menghasilkan posisi presiden yang kuat dalam sistem presidensiil di Indonesia. Hal-hal itu bisa dilihat dari pasal-pasal dalam Konstitusi. Pasal 20 ayat (3) “Jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.” Ketentuan ini memperlihatkan bahwa Presiden punya hak veto. Pasal 12 menempatkan presiden berhak menyatakan keadaan berbahaya tanpa perlu meminta persetujuan DPR. Hal lain, pemerintah bisa dapat berjalan tanpa dukungan politik parlemen misal calon independen yang terpilih dalam pemilihan kepala daerah. Ketentuan impeachment pun sangat sulit malah lebih sulit daripada mengubah UUD 1945 yaitu membutuhkan persetujuan 3/4 anggota MPR.

Yang perlu dilakukan oleh Jokowi sebagai person atau eksekutif, adalah mengasah kepemimpinan diri yang kuat, dan jangan sampai mengabaikan hak elektoral rakyat, rakyat di Pemilu 2014 punya hak dalam pemilu untuk menghukum (punishment) partai-partai koalisi rival Jokowi yang sudah dijalankannya. Sebagai Presiden terpilih yang didukung rakyat, Jokowi harus menghasilkan kebijakan pro rakyat, sebagai pengemban kewenangan amanah rakyat, sehingga rakyat dibelakang pemerintahan Jokowi. Pemerintahan Jokowi harus memiliki napas ekstra sabar dengan cara pendekatan melobby, musyawarah, dan menghindari voting karena kekuatan mayoritas dimiliki Koalisi Merah Putih. Berikutnya, peran penjaga akuntabilitas mesti lebih diberdayakan, seperti KPK, BPK, PPATK. Peran Pers sebagai bagian pilar demokrasi perlu juga dirawat dengan komunikasi politik yang transparan.

Hal yang tak kalah penting dan awal dari pembentukan pemerintahan adalah Jokowi harus menggelorakan dan memadukan kekompakan dan loyalitas dari wakil presiden dan anggota kabinet sebagai pembantu presiden. Jokowi pun tak perlu takut untuk memilih orang professional dari partai dibanding petinggi partai yang akhirnya 3 atau 2 tahun ke depan menjelang pemilu malah membuat kekosongan pemerintah dalam menghasilkan kebijakan akibat teramat sibuk mengurusi pemenangan di pemilu berikutnya.

Sehingga demikian pemerintahan terbelah, tidak perlu dirisaukan, malah lebih baik dalam menghasilkan proses pembuatan keputusan yang akan mengedepankan kesejahteraan rakyat. Lambat laun hak pemilih dalam hakikat pemilu sebagai reward dan punishment akan mudah dipelajari dan dijalankan, akhirnya harapan masyarakat terhadap dipilihnya pemimpin memberikan kesejukan ditengah kejenuhan masyarakat terhadap perpolitikan di tanah air.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun