Mohon tunggu...
Efriza Riza
Efriza Riza Mohon Tunggu... -

Saya adalah Profesional Penulis dan Editor

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Program Wajib Belajar 12 Tahun, Susi, dan Empati

4 November 2014   05:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:44 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Efriza, Pemilih Jokowi 2014

Masih teringat dulu memiliki teman yang kebetulan seorang perempuan. Dia begitu sedih, karena orang tuanya menginginkannya untuk tidak melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) setelah dia lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dengan argumentasi yang masih kolot, mungkin juga sudah semacam “konvensi” atau malah sudah menjadi budaya bagi satu suku atau banyak suku di Indonesia yang memandang wanita tidak perlu pendidikan tinggi, karena tempatnya wanita nanti di tiga hal yakni Dapur, Sumur, dan Ranjang. Singkat cerita, kawan saya melawan hingga akhirnya selesai SMA. Mungkin di luar sana telah banyak masyarakat kita yang mengalami hal seperti ini.

Pada waktu itu, Pemerintah tidak terlalu peduli, tidak sepertisekarang melalui program-program Pendidikan, seperti program pemerintah wajib belajar 12 tahun, sekolah gratis, dan paket kejar A, B, dan C.

Kepedulian pemerintah memang diawali dari Mahkamah Konstitusi yang memaksa dalam keputusannya untuk pemerintah menjalankan seluruh perintah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasca Amandemen Pasal 31 ayat (4) “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.” Kepedulian pemerintah pun bukan hanya mengenai anggaran pendidikan tetapi peningkatan taraf pendidikan di Indonesia, dari program wajib belajar 9 tahun dinaikan hingga 12 tahun. Untuk membangkitkan kesadaran masyarakat pentingnya pendidikan pemerintah pun membuat program Paket Belajar A, B, dan C. Bahkan, pemerintah mendorong pendidikan gratis untuk sekolah negeri. Dari program-program tersebut intinya pemerintah menginginkan anak-anak Indonesia dapat meningkatkan daya saingnya karena minimal mengenyam pendidikan di jenjang SMA/SMK sederajat.

Program-program ini pun dilanjutkan oleh Pemerintahan baru yaitu Jokowi-Jusuf Kalla, misal, untuk mendukung program wajib belajar 12 tahun pemerintahmengeluarkan kebijakan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Penerima kartu pintar mulai dari siswa di tingkat sekolah dasar, sekolah menengah, sekolah menengah atas, dan sekolah menengah kejuruan. Rencananya nanti, anak-anak dari keluarga rentan miskin juga akan menikmati pendidikan gratis.

Kebijakan pemerintah itu baik, wajib kita dukung, dan memang sudah semestinya pemerintah lebih fokus kepada pendidikan. Fokus ke Pendidikan juga dibuktikan oleh tindakan cerdas dan tegas pemerintah memecah Kementerian Pendidikan agar fokus kebijakan pemerintah dalam pendidikan tidak tumpang tindih atau berat sebelah dalam fokusnya.

Tetapi sangat disayangkan, Presiden Jokowi mungkin “lalai”, di sini saya awali bahwa saya katakan dengan tegas bahwa saya pemilih Jokowi. Saya tidak meragukan keterpilihan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Pengalaman sebagai pengusaha, ketangguhan dalam mengelola perusahaan, empati terhadap rakyat kecil, keberaniannya dalam sikap buat saya pribadi mungkin tak perlu diragukan jika itu dasar Presiden memilihnya.

Faktor “lalai” pemerintah adalah, Susi pendidikannya hanya SMP. Kita tidak berbicara kecakapan keilmuan seseorang, atau kepantasannya memimpin di Kementerian. Tetapi dampak terhadap masyarakat, misal, selama ini pemerintah genjar menerapkan program pemerintah wajib 12 tahun, kejar paket A, B, dan C, bahkan sekolah gratis.

Program-program ini bukan saja agar anak Indonesia tidak putus sekolah, meningkatkan daya saing anak-anak Indonesia karena minimal mengenyam pendidikan di Jenjang SMA/SMK.

Ada terobosan yang besar, pemerintah ingin melawan pikiran yang kolot, tidak lagi sesuai zamannya, apakah itu di masyarakat desa, perkotaan, atau di suku Indonesia bahwa misal, buat apa sekolah tinggi, apalagi perempuan ujung-ujungnya Sumur, Dapur, dan Ranjang.

Problematika klasik ini mungkin saja ke depannya akan menjadi bumerang bagi pemerintah. Kesadaran masyarakat bisa kembali lemah, ketika faktor ekonomi yang masih menghinggapi, ditambah lagi ketika pejabat yang semestinya menjadi pedoman untuk ditiru malah gagal dalam realitas kehidupan aktornya saat bersama-sama menggulirkan kebijakan dan juga bersinggungan dengan kebijakan yang dijalankan. Misal, bisa saja rakyat malah menggunakan argumen bahwa, buat apa Perempuan Sekolah tinggi-tinggi jika ujung-ujungnya Sumur, Dapur, dan Ranjang toh bisa saja memperoleh bonus berupa jabatan Menteri.

Sekali lagi Susi tidak saya ragukan. Tetapi alangkah baiknya, Susi sebagai bagian dari Pemimpin yang kita hormati dan menjadi contoh terbaik, misal, menjalankan Program Pemerintah Kejar Paket C. Pendidikan tidak mengenal usia, jabatan dan batasan waktu. Sudah banyak liputan mengenai hasil-hasil lulusan Kejar Paket C, dari mereka yang telah berusia lanjut dengan beragam harapan, misal, ingin menjadi dosen.

Ijazah SMA misal lewat kejar Paket C Susi bukan untuknya tetapi wujud empati Susi untuk rakyat, buat saya Susi mungkin tidak diragukan kepintarannya, kemampuan memimpinnya, apalagi ditambah dengan pengalaman kehidupan dan sebagai pengusaha. Tetapi ini untuk masyarakat kita, yang masih menganggap pendidikan tidak penting, untuk kebaikan negara kita yang masyarakatnya tingkat putus sekolah masih tinggi, untuk kekonsistenan pemerintah menjalankan program pendidikan belajar 12 tahun, untuk pemutusan dari pemikiran bahwa buat apa Perempuan Sekolah tinggi-tinggi jika ujung-ujungnya Sumur, Dapur, dan Ranjang. Dan, untuk melawan beragam alasan seseorang ketika putus sekolah, untuk mari kembali mengejar pendidikan minimal, sekali lagi minimal SMA, seperti para politisi sudah membangun sebuah “konvensi” bahwa berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas(SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan(SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lainyang sederajat untuk syarat calon Presiden.

Mengapa kita juga tidak menetapkan batasan itu menjadi suatu kesepakatan dasar bersama atau kekonsistenan kita atas kesepakatan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun