“Kenapa berani ke tembakau karena ada dukungan dalih kesehatan. Padahal fastfood, juga alkohol, itu punya dampak buruk juga, kenapa pemerintah tidak berani menaikkan cukai,” tegasnya.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menilai wacana kenaikan harga rokok yang mencapai Rp50 ribu dikhawatirkan akan makin memperbanyak peredaran rokok ilegal. Sementara, dengan harga rokok sekarang ini pun, peredaran rokok ilegal sangat banyak.
Jangan lupa, dengan harga Rp50.000 per bungkus, akan ada kenaikan cukai yang massif. Padahal, ketika cukai terus naik, rokok ilegal juga akan kian meningkat peredarannya.
“Kalau cukai tinggi, jangankan Rp 50 ribu posisi sekarang bukannya produksi kurang justru meningkat. Produksi rokok ilegal justru akan terus naik,” tegas dia.
Seharusnya, ketika menerapkan cukai, ruh utamanya pengendalian bukan untuk menggenjot penerimaan.
Nah, jika kebijakan cukai dan harga dilakukan serampangan membabi buta juga tidak akan efektif. “Jelas dampaknya ke industri, jumlah perusahaan pabrikan akan terus menurun. Lemahnya enforcement, merebaknya rokok ilegal, membuat harga rokok semakin murah,” ungkap dia.
Enny melanjutkan, sekitar 70-80 persen dari produksi rokok justru digunakan untuk biaya di luar produksi seperti pajak dan cukai. Adanya kenaikan cukai yang signifikan maka akan menambah beban industri. Dampak terburuk, kesempatan kerja terganggu, padahal itu yang terus harus dipertahankan di tengah pelemahan ekonomi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI