Wacana kenaikan harga rokok Rp50.000 per bungkus dinilai tidak punya basis argumentasi yang jelas sekaligus juga tidak berangkat dari kajian yang benar.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengemukakan, harga Rp50.000 itu jelas tidak masuk akal karena kenaikan cukai di tahun depan juga masih belum ditetapkan. Pemerintah sudah menaikkan tarif cukai sebesar 11,19% pada 2016.
“Ide atau wacana kenaikan rokok hingga Rp50.000 per bungkus itu tidak berangkat dari kajian yang benar. Pasalnya pengkaji ide wacana itu juga tidak memikirkan subsitusi dari industri hsil tembakau,” tegas Yustinus, saat dihubungi media, Sabtu (20/8).
Ia mewanti-wanti, jika harga rokok melonjak sedemikian tinggi, akan ada dua penyebab yang sama-sama buruk. Pertama, industri sudah pasti akan drop tutup karena demand anjlok, yang berujung pemerintah tidak mendapat pemasukan cukai. Kedua, juga akan menaikkan peredaran rokok ilegal.
“Dampak kebijakan itu dari hulu ke hilir, kalau memang pemerintah menerapkan, mulai dari petani hingga pengecer. Ini bukan soal industri memberi dampak buruk atau tidak, substitusi pengganti IHT tidak ada, apakah juga ketika dipikirkan enam juta pekerja di IHT bisa dipindahkan ke sektor lain,” tandasnya.
Pemerintah, menurut Yustinus, jika berani menaikkan harga hingga Rp50.000, juga sejatinya menegasi diri sendiri. Di tengah ekonomi yang sulit, justru malah menyulitkan industri yang berujung pada pengurangan tenaga kerja drastis.
“Sekali lagi, ketika rokok ilegal makin marak, kebijakan salah, sudah pasti tidak ada penerimaan cukai ke negara,” tegasnya.
Pemerintah, menurut Yustinus, selama ini juga tidak menjalankan roadmap yang disusun sendiri. Tiga poin roadmap berkaitan pengendalian konsumsi, penerimaan negara, dan perlindungan tenaga kerja, tidak pernah dieksekusi secara pararel simultan supaya ada transisi yang mulus. Selalu saja, beban industri yang dinaikkan. “Di sisi lain, alternatif pengganti IHT yang sangat besar tidak ada,” katanya.
Kritik lain, roadmap soal simplifikasi tarif cukai, yang juga disusun pemerintah untuk pengaturan IHT tidak konsisten sehingga masih ada 12 penggolongan tarif yang ujungnya dari sisi pengawasan menjadi lebih susah.
Selanjutnya, menaikkan harga rokok dengan mekanisme perbandingan harga di negara lain, seperti Singapura, jelas sangat tidak far. Katakan harga rokok di Singapura Rp100 ribu, dari sisi pendapatan per kapita masyarakat, jelas sangat jauh jika dibandingkan pendapatan per kapita masyarakat di Indonesia. “Perbandingan berdasarkan harga itu simplifikasi tidak fair,” tandansya.
Eksentifikasi pajak pemerintah juga selama ini tidak jalan karena selalu saja mengotak-ngatik tembakau. Sementara potensi pajak cukai seperti di industri makanan cepat saji hingga alkohol, tidak pernah disentuh.