... TNI juga dengan tekad dan kemauan yang bulat telah berada di bawah kekuasaan pemerintah ... dan tunduk pada kebijakan politik negara."
Mengutip statemen Tukul: "Kampungan.... ndeso.... katrok...."
Pengulangan yang dipaksakan ini menjadi penegasan bahwa TNI tidak boleh melakukan perlawanan jika Pemerintahan mengalihkan kekuasaan teritorial NKRI kepada bangsa lain, atau mengalihkan kekuasaan pemerintahan Indonesia kepada entitas lain, seperti ASEAN Community pada 2020, serta berbagai lembaga turunannya. Konsep inilah yang berhasil ditanamkan dalam perundang-undangan RI, serta dalam doktrin TNI. Keberhasilan tersebut diungkapkan pada dokumen BPPI 2008.
a. Reposisi Peradilan Militer yang Salah Kaprah
BPPI 2008 tidak lupa menyebutkan Kepres 56 tahun 2004 tentang pengalihan organisasi peradilan militer dari Mabes TNI kebawah MA (suatu keanehan), sebagai suatu pelaksanaan reformasi, yang akan disusul dengan perubahan UU Peradilan Militer. Suatu hal yang dapat diduga merupakan bagian dari pelemahan TNI.
Peradilan Militer di seluruh dunia terpisah dari peradilan sipil untuk alasan kerahasiaan militer, perbedaan sistem hukum, dan kepentingan militer. Dalam negara demokrasi yang waras, untuk menegakkan hukum, yang dilakukan adalah pemberlakuan uniform code of military justice, dengan pembatasan jurisdiksi peradilan militer yang jelas, pengangkatan hakim sipil sebagai hakim tetap di peradilan militer untuk tingkat banding, dan mekanisme untuk naik banding ke Mahkamah Agung yang terbatas untuk kasus tertentu. Ini yang seharusnya dilakukan untuk memperbaiki sistem hukum dan mencegah impunitas anggota TNI, yaitu melalui revisi UU Pengadilan Militer.
Anehnya, bukan hal itu yang dilakukan. Penggabungan administratif Pengadilan Militer ke Mahkamah Agung adalah bentuk pelemahan TNI, yang mungkin didorong oleh upaya pencitraan dari pemerintah. Setiap kasus TNI akan di arsipkan di Mahkamah Agung, keluar dari Mabes TNI. Hal ini saja sudah sangat membahayakan kerahasiaan militer. Belum lagi berbagai cara yang mungkin akan digunakan oleh kaum neolib melalui revisi UU Pengadilan Militer untuk melemahkan pertahanan nasional.
b. Strategi Perancangan Yang Melemahkan
Pada bagian Strategi Perancangan Kapabilitas Pertahanan Negara, sebagai puncak dari faktor yang mendasari rancangan kapabilitas pertahanan negara, diselipkan argumen untuk memperkuat alasan melemahkan TNI:
"Keenam, kemampuan rasional negara dalam membiayai pertahanan negara, termasuk dalam pembangunan kapabilitas pertahanan negara dengan tidak mengorbankan sektor-sektor lain." (BPPI 2008)
Disini penekanan tidak diberikan pada upaya pemenuhan kebutuhan pertahanan negara, melainkan alasan untuk TIDAK membiayai pertahanan negara. Dalam keenam faktor dasar tersebut sama sekali tidak di-angkat bahwa pertahanan negara dapat menjadi penggerak perekonomian bangsa, memacu penelitian teknologi canggih, meningkatkan pendidikan, menjadi katalis bagi kemajuan ekonomi daerah tertinggal, bahkan menjadi penggerak perekonomian nasional.
Mantra lama bahwa pembangunan kapabilitas pertahanan negara dapat mengorbankan perekonomian nasional, diangkat untuk menghancurkan semangat untuk mewujudkan kemampuan TNI berperang mempertahankan Nusantara.
Seakan memberikan kepastian atas hal tersebut, kalimat selanjutnya menegaskan:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!