Mohon tunggu...
Mudy
Mudy Mohon Tunggu... -

Rakyat kecil tinggal di Jakarta, pensiunan swasta, Pancasilais, republiken, ultra-nasionalis. Anti NeoLib-ASEAN-C, anti religio-fascist, anti rezim-status-quo-koruptor. https://mudy45.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengenang Titik Nadir TNI 2012: Panca Paria TNI

13 Oktober 2014   06:07 Diperbarui: 9 Mei 2016   17:33 1231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berita Prajurit AU Gantung Diri, sumber: okezone

Tahun 2012 TNI berada pada titik nadir yang dapat digambarkan sebagai “Panca Paria TNI”: 1) doktrin hancur, 2) tanpa kemampuan perang moderen, 3) tanpa kemampuan perang gerilya, 4) tanpa komponen cadangan, dan 5) tanpa sumber daya untuk meningkatkan kapabilitas. Sama sekali tidak mampu berperang mempertahankan Provinsi Timor Timur dan Pulau Sipadan Ligitan, dan dipermalukan US Carrier Battle Group di Bawean.

Titik ini harus dikenang agar TNI tidak terpuruk lebih dalam lagi dan agar kemampuan pertahanan nasional Indonesia dapat segera dipulihkan sebelum potensi-potensi ancaman menjadi ancaman nyata. Salah satu solusi yang dibutuhkan adalah membangun kekuatan sospol TNI.

[caption id="" align="alignnone" width="600" caption="TMP Seroja Dili, sumber: jpnn.com"][/caption]

Mengenang titik nadir TNI 2012: Panca Paria TNI

oleh Mudy

Tahun 2012 adalah tahun paling tragis dalam sejarah Tentara Nasional Indonesia. Kondisi TNI mencapai titik nadir paling rendah sepanjang masa, bahkan dibandingkan tahun 1998. Kondisi ini dapat digambarkan dengan frase: Panca Paria TNI, yang melingkupi:

A. Kelemahan doktrin 

B. Kemampuan perang moderen sangat lemah 

C. Kemampuan perang gerilya sangat lemah 

D. Komponen cadangan tidak ada 

E. Tidak memiliki sumber daya untuk meningkatkan kapabilitas

Satu-persatu Panca Paria TNI tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

A. Kelemahan doktrin

Kelemahan doktrin menjadikan TNI hanya sebagai alat penguasa sipil yang sering korup.

TNI tidak memiliki kewajiban mempertahankan teritorial Indonesia.

Disintegrasi Timor-Timur

Di tahun 1999, Indonesia kehilangan Timor Timur oleh keputusan sepihak seorang Presiden yang melampaui kewenangannya, melanggar Tap MPR tentang wilayah RI, tanpa persetujuan DPRD, DPR, dan MPR RI mengizinkan organisasi asing menyelenggarakan jajak pendapat yang berujung pada disintegrasi Timor Timur. Pada kasus ini sebenarnya doktrin TNI masih sangat kuat. TNI memiliki kewajiban menghalangi tindakan Presiden yang mengkhianati konstitusi Indonesia dalam hal ini Tap MPR yang berada diatas Keputusan Presiden. Namun kepemimpinan TNI melanggar doktrin-doktrin TNI dan membiarkan Presiden melakukan tindakan inkonstitusional tersebut.

Aneksasi Sipadan dan Ligitan

Kasus serupa adalah pengajuan Sipadan dan Ligitan kepada mahkamah Internasional yang dilakukan oleh Pemerintah RI tanpa seizin MPR RI, juga merupakan pengkhianatan pada konstitusi dan perundang-undangan RI. Dalam hal ini doktrin TNI pada 1999 mewajibkan TNI untuk mempertahankan tiap jengkal tanah air sampai titik darah penghabisan, termasuk melawan para pemimpin sipil yang melanggar Tap MPR tentang wilayah RI.

Dalam kedua kasus 1999 ini doktrin kuat, namun pelaksananya bermasalah karena kepemimpinan TNI lemah.

Ditahun 2012, doktrin TNI lebih lemah. Tidak ada lagi kewajiban TNI mempertahankan setiap jengkal tanah air Indonesia seperti tahun 1999. TNI semata-mata dijadikan alat dari penguasa sipil dengan track-record sangat buruk seperti 2 kasus diatas.

Joint-command ABRI/APRI vs Trimatra

Pada 2012, konsep joint-command TNI bisa dikatakan tidak ada karena terbatas pada bentuk kerjasama operasional anatar trimatra. Ada 2 konsep maju joint-command TNI yang pernah berkembang: APRI, dan ABRI. Konsepsi ABRI berkembang cukup lama dan cukup berhaasil menciptakan kemampuan tempur gabungan TNI. Sayangnya pasca reformasi, konsepsi joint-command ABRI ini bukannya dikembangkan menjadi konsepsi angkatan perang gabungan, justru dihancurkan sama sekali. TNI disulap kembali dalam doktrin kuno trimatra dimana TNI terdiri atas 3 gerombolan tempur terpisah yang masing-masing tidak memiliki kemampuan tempur moderen.

Konsep kuno trimatra adala konsep bahwa tentara terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara yang terpisah. Konsep ini sudah sejak lama tidak dipakai oleh negara-negara dengan militer yang kapabel. Idealnya angkatan perang terwujud dalam 1 kesatuan tempur. Namun karena secara tradisi ketiga angkatan berkembang secara terpisah, belum memungkinkan mendirikan 1 angkatan perang tunggal. Maka proses penyatuan ketiga angkatan dilakukan pada tingkat rantai komando tempur yang dikenal sebagai joint-command. Joint-command adalah langkah awal menuju militer gabungan.

TNI di masa lalu sudah melangkah lebih jauh dengan mewujudkan ABRI sebagai militer gabungan. Namun konsepsi ABRI dihancurkan, dan TNI kembali ke konsepsi kuno trimatra.

Perlu dicatat bahwa Panglima TNI yang baru, Jenderal Moeldoko, telah mengambil inisiatif mengembangkan komando gabungan wilayah pertahanan yang dapat menjadi awal baru pengembangan doktrin joint-command TNI. Hal ini sangat di apresiasi. Namun pengembangan doktrin joint-command hanya memungkinkan melalui doktrin baku yang membentuk rantai komando joint command dari tingkat yant tertinggi. Banyak kesalahan akuisisi alutsista dan reorganisasi militer terjadi jika dilakukan tanpa perencanaan pada tingkat joint-command.

Peran Neolib-ASEAN-C

Kehancuran doktrin TNI adalah akibat langsung dari penyusupan kelompok neolib-ASEAN dalam tubuh TNI. Hal ini tercermin dari  Buku Putih Pertahanan 2003 dan Buku Putih Pertahanan 2008 yang isinya sangat melemahkan TNI dan sarat dengan muatan-muatan pro kelompok neolib ASEAN-C.

Lebih jauh lagi, TNI dihancurkan oleh doktrin MEF sebagai postur tujuan TNI. MEF adalah suatu doktrin yang disusun paralel dengan Buku Putih Pertahanan, melalui Perpres Nomor 41 Tahun 2010. Doktrin MEF (Minimum Essential Forces) adalah doktrin yang mengunci TNI agar tidak mampu berkembang, dan hanya sebatas memiliki daftar belanjaan tempur. "Minimum" berarti sangat minimal, "essential" berarti hanya yang sangat mendasar. Penggabungan kata "minimum" dan "essential" menunjukkan betapa TNI akan dibuat sangat tidak berdaya. Istilah MEF sudah mencerminkan niat pelemahan TNI, dimana TNI dibuat hanya minimum, dan hanya yang mendasar, alias inferior. Jadi lebih tepat disebut sebagai Minimum Inferior Forces.

Oleh Pemerintah SBY, TNI diminta menunggu bertahun-tahun 2004 - 2010 tidak melakukan program peningkatan kapabilitas dengan alasan belum ada peraturan yang mengatur. Peraturan yang mengatur tersebut dikeluarkan dalam bentuk PP 41/2010 yang berisi tentang MEF.

Inferioritas MEF (PP 41/2010)

"Pengertian Kekuatan Pokok Minimum (Minimum ESSENTIAL Force/MEF) adalah suatu standar kekuatan POKOK dan MINIMUM TNI yang mutlak disiapkan sebagai prasyarat utama serta mendasar bagi terlaksananya secara efektif tugas pokok dan fungsi TNI dalam menghadapi ANCAMAN AKTUAL." Perpres 41/2010.

Doktrin ini mengharuskan TNI mempersiapkan diri hanya menghadapi ancaman aktual, sedangkan kenyataanya ancaman militer aktual pada saat ini TIDAK ADA, dengan kata lain TNI tidak perlu mempersiapkan kapabilitas tempur. Senada dengan Buku Putih Pertahanan 2008.

Pada masa damai, TNI seharusnya dipersiapkan menghadapi POTENSI ANCAMAN, agar pada saat ancaman menjadi ANCAMAN AKTUAL, TNI siap menghadapi. Pada saat suatu potensi ancaman berubah menjadi ancaman aktual, mustahil membangun postur TNI untuk menghadapinya.

Akibatnya TNI hanya diizinkan mengadakan alutsista PENGGANTI yang sudah ada. Tidak dilakukan restrukturisasi dan upaya memiliki kapabilitas tempur moderen. Demikianlah MEF dapat dilihat sebagai daftar belanjaan alutsista pengganti yang lama tanpa mempertimbangkan kebutuhan kemampuan tempur moderen TNI dimasa depan.

Doktrin ini tentu mendapat perlawanan dari prajurit rakyat TNI yang tidak mau dibuat menjadi MEF. Pengadaan Main Battle Tank Leopard 2A4, dan Attack Helicopter Apache AH-64E yang sama sekali bukan alutsista minimum dan bukan alutsista essential, menunjukkan upaya perlawanan atas doktrin Inferioritas TNI. Namun TNI terpaksa harus mensiasati batasan MEF dengan berbagai alasan, seperti penggantian tank Kostrad (padahal Leopard bukan pengganti tank ringan), dan penambahan wilayah pertahanan di Natuna (padahal Apache bukan heli maritim).

Pesan Sponsor Neolib ASEAN-C pada PP 41/2010

Senada dengan Buku Putih Pertahanan 2008, MEF, doktrin utama TNI memandatkan: 6.b. "Akselerasi usaha-usaha mewujudkan ASEAN Security Community yang solid dan kuat, ..."  Perpres 41/2010.

ASEAN Security Community adalah "TNI" dari ASEAN-C yang liberal dan anti Pancasila. Upaya-upaya mendirikan ASEAN-C disembunyikan dari rakyat Indonesia dan hanya diatur oleh segelintir elit kaum Neolib. Saat ini neolib ASEAN telah menguasai sebagian kedaulatan ekonomi Indonesia, dan MEF adalah upaya pelemahan TNI agar dapat ditelan oleh ASEAN Security Community.

Jika dibandingkan doktrin TNI antara tahun 1998 dan 2012 terlihat bahwa tahun 2012 adalah titik nadir TNI.

B. Kemampuan Perang Moderen

Kemampuan perang moderen bukan hanya kemampuan tempur, melainkan juga kemampuan menangani bencana. Pada 2004 dunia internasional melihat TNI lebih banyak menjadi penonton pada bencana tsunami Aceh.

Lebih lagi, TNI gagal mengamankan jalur sempit Selat Malaka dari para bajak laut lokal. Dibutuhkan upaya internasional dengan peran militer negara lain untuk menangani bajak laut di Selat Malaka. Apa lagi mengamankan perbatasan Indonesia dari kapal-kapal nelayan asing di seluruh ZEE Nusantara yang sangat luas.

Kapabilitas Militer TNI Rendah

TNI sebelumnya merupakan militer terkuat di ASEAN. Hal ini sangat wajar mengingat wilayah yang luas dan jumlah penduduk yang banyak.

Akibat kebijakan Pemerintah RI, TNI akhirnya menjadi kekuatan yang sangat lemah. Tahun 2012 merupakan titik nadir TNI dimana kondisi TNI sangat lemah di kawasan Asia Tenggara.

[caption id="" align="aligncenter" width="461" caption="Perbandingan Kapabilitas Militer Asia Tenggara 2015 - kampusmiliter.com"]

[/caption] Per tahun 2015 TNI menjadi kekuatan ke-4 di ASEAN, dibawah Vietnam, Singapore, dan Thailand. Per tahun 2012, TNI AD sempat terpuruk di posisi ke-7 dibawah Cambodia.Kedepan TNI terancam lebih terpuruk lagi oleh peningkatan kapabilitas militer negara-negara tetangga yang mempersiapkan diri untuk POTENSI ANCAMAN konflik Laut China Selatan. Sementara sesuai MEF, TNI hanya boleh mempersiapkan diri untuk menghadapi ANCAMAN AKTUAL: lomba menembak, lomba terjun payung, dan parade 5 Oktober.

Tanpa Kapabilitas Tempur Moderen

Lebih parah lagi, TNI TIDAK MEMILIKI KEMAMPUAN TEMPUR MODEREN.

Beberapa contoh yang menunjukkan tidak adanya kemampuan tempur moderen TNI adalah:

1. Network Centric Warfare

Tidak memiliki kapabilitas network centric warfare. Kapabilitaas network centric warfare merupakan penanda kapabilitas tempur moderen. Kapabilitas ini memungkinkan alutsista berkomunikasi satu-sama lain, komunikasi data antar unit, kapabilitas battle awareness komandan pertempuran, penyaluran data dari lapangan ke pusat-pusat komando, dan lain sebagainya.

Bagian lain dari network centric warfare adalah electronic warfare, yang diantaranya termasuk sigint: penyadapan dan kontra penyadapan sinyal komunikasi. Unit sigint atau signal adalah sebutan untuk unit militer yang terkait dengan penyadapan dan kontra penyadapan. Salah satu kelemahan besar TNI adalah kegagalan melindungi NKRI dari penyadapan, sementara UU TNI secara jelas memandang penyadapan terkait pertahanan nasional merupakan salah satu tugas TNI untuk dihadapi. Artinya penyadapan Australia, Singapore, Korea Selatan terhadap Indonesia merupakan kegagalan TNI dalam menghadapi perang moderen yang bersifat multi-dimensi. Unit Sigint TNI sama sekali tidak terdengar perannya (jika ada).

2. Sishanud Strategis

Tidak memiliki sistem pertahanan udara strategis. TNI hanya mengandalkan meriam-meriam kuno, dan rudal udara jarak dekat (shorad/manpad) yang dalam perang moderen berbeda fungsi dengan sistem pertahanan udara strategis. Shorat/manpad TNI baik di darat maupun di udara hanya mampu menembak dalam jarak sampai dengan 10 km, sementara aset udara yang potensial menyerang Indonesia memiliki kemampuan tembak puluhan bahkan ratusan km.

Ketiadaan sishanud strategis menjadikan kekuatan AD dan AL menjadi tidak bermakna, mudah di netralisir oleh lawan. Dalam sejumlah konflik terakhir terbukti bahwa superioritas udara menjadi titik penentu kemenangan perang, bahkan dengan kerugian yang sangat sedikit di pihak yang meraih superioritas udara.

[caption id="" align="aligncenter" width="768" caption="Alutsista Asia Tenggar 2015, sumber: kampusmiliter.com"]

[/caption]

3. Sishanud Tempur Taktis

TNI AD dan TNI AL tidak memiliki sistem pertahanan udara memadai. Sistem pertahanan udara merupakan sistem paling vital pada perang moderen. Kavaleri TNI AD tidak memiliki sishanud memadai sehingga sangat mudah digulung oleh kekuatan udara lawan. Demikian pula gugus tempur laut TNI AL. Yang dimiliki hanya sejumlah shorad dan manpad yang fungsinya hanya untuk menghadapi aset Close Air Support lawan, atau aset lawan yang terbang rendah pada jarak dekat.

Tanpa sishanud berpenggerak sendiri (mobile SAM) jarak mengah dan jarak jauh, nasib MBT Leopard 2RI sudah dapat dipastikan: diburu oleh kekuatan udara lawan dengan rudal-rudal jarak jauh.

[caption id="" align="alignnone" width="700" caption="Kekuatan Laut Asia Tenggara"]

[/caption]

4. Angkatan Udara

Kapabilitas TNI AU sangat lemah. Kekuatan udara merupakan titik utama dari kemampuan perang moderen tanpa superioritas udara perang moderen tidak mungkin dilakukan. Yang terjadi adalah pengeboman musuh besar-besaran yang menghancurkan semangat berperang (misalnya kampanye Shock and Awe dalam Perang Teluk pertama).

Pengembangan AU moderen mutlak membutuhkan anggaran yang memadai namun anggaran tersebut harus digunakan dengan efisien.

Akuisisi alutsista yang tidak efektif dengan kepemilikan terlalu banyak merek pesawat akan sangat menyulitkan logistik TNI. Mulai dari akuisisi EMB-314, pembelian pesawat refurbish F-16, hingga riset KFX/IFX yang tidak dibutuhkan. Hal itu merupakan penanda militer yang tidak moderen. Melihat ke semua militer moderen, akuisisi alutsista dilakukan terfokus pada 1 fighter besar dengan fokus supremasi udara, 1 fighter kecil untuk pelengkap, 1 fighter/trainer jet, dan 1 trainer propeller untuk pelatihan awal.

[caption id="" align="alignnone" width="960" caption="Alutsista Udara Asia Tenggara, sumber: kampusmiliter.com"]

[/caption]

5. Joint-command Komando Pertahanan

Tidak memiliki Komando Pertahanan Nasional Gabungan (ABRI/APRI). Perbatasan darat, laut dan udara Indonesia tidak terjaga. Hanya beberapa titik yang dapat dilindungi secara efektif. Sisanya bebas dimasuki. Militer dengan kemampuan perang moderen memiliki kapabilitas memantau seluruh wilayah negara-nya dan mampu mengirimkan aset tempur ke titik perbatasan manapun.

Pendekatan joint-command pada tingkat wilayah atau pada tataran rantai komando dibawah bukanlah joint-command yang dimaksud. Joind-command dibentuk pada tingkat tertinggi, dengan rantai komando sampai kebawah. Dengan demikian seluruh wilayah darat, laut maupun udara, dapat diawasi baik perbatasan darat, perbatasan laut, perbatasan udara, maupun jalur laut dan jalur udara. Komando Pertahanan harus memiliki aset tempur untuk dikirimkan ke lokasi yang dibutuhkan. Disini tidak ada lagi istilah komando pertahanan udara nasional, melainkan satu komando pertahanan yang menjaga udara, laut dan darat.

Kasus agresi kapal perang Australia kedalam perairan Indonesia yang baru diketahui dari para pengungsi menyadarkan bahwa Indonesia tidak memiliki kapabilitas penjagaan perbatasan laut. Demikian pula banyak perbatasan darat yang tidak terjaga.

[caption id="" align="aligncenter" width="768" caption="Perbandingan Kekuatan Darat ASEAN (kampusmiliter.wordpress.com)"]

[/caption]

6. Organisasi Tempur AD

Organisasi tempur TNI AD pada tingkat batalion, BUKAN PASUKAN TEMPUR MODEREN. Pasukan tempur moderen di organisasikan dalam tingkat Divisi. Dibawah divisi ada resimen, dibawah resimen ada brigade, dan dibawah brigade ada batalion.

Sebagai gambaran, alutsista artileri tingkat divisi berbeda dengan artileri untuk tingkat batalion. Demikian pula sishanud-nya. Doktrin pergerakan pasukan berbasis divisi juga jauh berbeda dengan doktrin pergerakan pasukan berbasis batalion. Pergerakan pasukan dan logistik tempur untuk tingkat Divisi jauh berbeda dengan tingkat Batalion.

Kepemilikan banyak batalion tanpa organisasi tempur moderen di tingkat divisi adalah mubazir karena akan sangat mudah digulung oleh lawan dengan kemampuan tempur moderen berbasis divisi.

Belum lagi mayoritas batalion TNI AD adalah unit infantri yang sudah ketinggalan zaman, bukan unit moderen seperti unit mekanis, unit lapis baja/tank, atau kavaleri udara. Kembali lagi diberikan catatan positif pada upaya TNI AD membentuk batalion-batalion mekanis sebagai translasi dari unit reaksi cepat pada MEF. Sayangnya pembentukan brigade dan divisi tempur jauh berbeda dengan pembentukan batalion.

7. Kesejahteraan Pasukan

Tingkat kesejahteraan TNI yang sangat rendah tidak memungkinkan untuk kekuatan tempur moderen. Angkatan perang moderen membutuhkan pasukan dengan tingkat kesejahteraan memadai. 250 ribu prajurit TNI tidak memiliki rumah, sehingga dapat dikatakan Jenderal SBY menjadi Presiden yang memimpin TNI Angkatan Dhuafa.

Berbagai kasus perkelahian, pembunuhan, pertempuran dengan Polri, yang melibatkan anggota TNI, jelas disebabkan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan, disamping menurunnya rasa kebanggaan dan percaya diri. Terakhir kasus bunuh diri anggota TNI AU pasca HUT TNI sangat menusuk perasaan.

[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="Berita Prajurit AU Gantung Diri, sumber: okezone"]

[/caption]

Dengan kesejahteraan yang tidak memadai dapat langsung disimpulkan bahwa TNI tidak dapat membangun kekuatan tempur moderen. Dalam hal ini jika memang anggaran tidak memadai, harus ditinjau alternatif mengoperasikan kembali BISNIS MILITER, dengan peraturan perundangan yang memadai.

Bisnis militer selain untuk meningkatkan kesejahteraan, juga sangat vital dalam pengembangan industri militer, serta dalam mewujudkan kapabilitas militer moderen ditengah keterbatasan anggaran militer. Berbagai dampak negatif-nya dapat  dihindari melalui perundang-undangan.

Masalah Kemauan Politik

Tidak ada sama sekali kemauan politik di DPR RI maupun di Pemerintah RI untuk memperhatikan kesejahteraan prajurit. Padahal hanya dibutuhkan 50 triliun rupiah untuk mengadakan rumah untuk 250 ribu prajurit TNI. Hal tersebut sangat mudah dilakukan jika UU dibuat untuk mengaturnya, bisa dengan banyak cara. Cara paling ekstrim adalah dengan mengembalikan sebagian bisnis TNI.

Namun kendala yang dihadapi adalah tidak adanya kemauan politik para politisi dan pemerintah yang korup. Yang memang tidak perduli dengan kemampuan tempur moderen TNI.

Hal ini merupakan prestasi sangat memalukan dari Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono,  yang melupakan kesejahteraan korps dan kesatuan TNI dimana dia dilahirkan.

Kembali disini Jenderal Moeldoko melakukan terobosan melawan para politisi dan pemerintah korup, demi memperjuangkan kesejahteraan para prajuritnya, dengan mengangkat konglomerat sebagai penasihat Panglima TNI untuk mendirikan rumah bagi para prajurit TNI. Keberanian seperti ini yang dibutuhkan untuk mewujudkan kapabilitas TNI mempertahankan NKRI.

8. Keterbatasan Anggaran = Kemauan Politik

Kemampuan tempur moderen TNI juga mustahil diwujudkan dengan keterbatasan anggaran saat ini yang rata-rata 1% GDP. Di masa lalu anggaran TNI bisa mencapai 2%, dan masih didukung oleh Yayasan TNI dan Bisnis TNI. Dengan postur militer besar (400 ribu prajurit), dan wilayah yang luas, anggaran kecil bagi TNI sangat tidak masuk akal.

Masalah keterbatasan anggaran ini harus diperbaiki. Idealnya pada masa ekonomi membaik, anggaran TNI ditingkatkan menjadi 4% GDP dengan berbagai cara. Kenyataannya justru pada saat ekonomi membaik 2004 - 2010 anggaran TNI ditekan habis-habisan oleh DPR yang korup dan Pemerintah yang disusupi oleh Neolib ASEAN-C.

Disini masyarakat dijejali kebohongan bahwa anggaran TNI yang besar membebani masyarakat dan pemerintah. Kenyataannya justru terbalik. Anggaran pertahanan yang besar, jika dikelola dengan benar justru mendorong pertumbuhan perekonomian nasional, industri, UKM, dan mengurangi pengangguran. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan politik, serta keberanian melawan politisi korup dan pengkhianat bangsa. Tidak perlu santun menghadapi politisi korup dan pengkhianat bangsa.

C. Kemampuan perang gerilya sangat lemah

Perang gerilya membutuhkan doktrin yang ditanamkan pada masyarakat agar kapabilitas perang gerilya tinggi. Pada masa lalu doktrin tersebut adalah sishankamrata. Jika musuh menguasai kota, rakyat akan membakar kota dan pindah ke desa-desa untuk bergerilya bersama TNI. Pada masa kini doktrin tersebut sudah mati. Di tahun 1999 rakyat yang melaksanakan doktrin sishankamrata justru ditinggalkan oleh TNI dan Pemerintah RI.

Doktrin Perang Gerilya

Kepedulian nasional atas kapabilitas perang gerilya rakyat semesta juga perlu ditumbuhkan. Dulu ada P4, Suspi, dsb, dimana konsepsi wawasan nusantara dan hankamneg ditanamkan sehingga rakyat menguasai doktrin perang gerilya. Hal ini saat ini sudah tidak ada, sehingga sangat melemahkan kapabilitas perang gerilya TNI.

Bagaimana alternatif doktrin perang gerilya Indonesia sekarang perlu disusun dan disosialisasikan agar TNI dapat menjadi kekuatan inti-nya. Tanpa doktrin tersebut kapabilitas TNI untuk perang gerilya sangat lemah.

Sebagai contoh, ada 2 doktrin perang gerilya jika kota diduduki oleh musuh:

1. Bumi hangus, memindahkan populasi ke desa, dari desa mengepung kota. Contohnya adalah Bandung lautan api, Dili 1999.

2. Pertahankan setiap jengkal, mempertahankan populasi di kota dan melakukan perang gerilya kota. Contohnya adalah Stalingrad pada PD II.

Pertanyaanya seperti apa doktrin gerilya TNI, dan bagaimana persiapan yang dilakukan untuk melaksanakan doktrin tersebut.

Logistik dan Senjata Gerilya

Perang gerilya membutuhkan logistik tempur yang memadai. Indonesia tidak berbatasan dengan negara bersahabat seperti pada kasus Perang Vietnam atau Perang Korea, dimana logistik tempur gerilya dapat di suplai dari wilayah China. Untuk itu perlu dilakukan penimbunan logistik tempur pada depo-depo yang tersebar dengan jumlah memadai. Termasuk diantaranya bahan bakar dan amunisi. Hal ini tidak dimiliki TNI saat ini.

Ranjau anti personel dan bom cluster merupakan senjata yang sangat efektif pada perang gerilya / anti gerilya di wilayah tropis. Masalahnya adalah Pemerintah dan DPR RI telah mengikuti Ottawa Treaty yang melarang penggunaan ranjau anti personel. Lebih masalah lagi karena banyak negara-negara dengan kapabilitas memproyeksikan kekuatan daratnya ke Nusantara tidak ikut dalam Ottawa Treaty dan memiliki ranjau anti personnel dan bom cluster dalam jumlah besar.

Pemerintah dan DPR RI harus memberikan solusi mengembalikan kapabilitas perang gerilya kepada TNI. Jika tidak Pemerintah RI dan DPR RI adalah pengkhianat yang men-sabotase kemampuan gerilya rakyat semesta.

Tanggung-jawab Pemerintah dan DPR RI harus tetap dituntut agar bertanggung-jawab atas kesalahan kebijakan yang dilakukannya dengan asal meratifikasi perjanjian internasional dengan mengabaikan kapabilitas hankamnas. Mengorbankan kepentingan bangsa hanya demi pencitraan pribadi dan kelompok.

Perlu disadari bahwa dampak tidak memiliki kemampuan perang gerilya rakyat semesta sebagai bentuk pertahanan terakhir adalah sangat berat. Kehilangan teritorial bukan tidak mungkin terjadi.

D. Komponen cadangan tidak ada

Pada era orde baru, seluruh kekuatan bangsa dapat dikerahkan melalui muspida, pegawai negeri, ormas kepemudaan, dan lain sebagainya. Pada masa tersebut tidak dibutuhkan UU Komponen Cadangan atau sejenisnya karena pemerintah bersifat otoriter dan ada dewan fasis yang menguasai negara secara efektif.

Di negara-negara otoriter komponen cadangan dapat dibentuk dengan mudah. Milisi-milisi dapat di BKO-kan ke tentara tanpa perlu ada perundang-undangan yang mengatur.

Pada era reformasi dan di negara demokrasi seperti Indonesia, komponen cadangan membutuhkan peraturan yang mendasari. Hal ini yang belum ada hingga saat ini. Karena itu komponen cadangan yang nyata saat ini hanyalah Resimen Mahasiswa, salah satu bentuk dari Militer Sukarela (milsuk).

Bentuk-bentuk Komponen Cadangan

Beberapa bentuk komponen cadangan adalah:

  1. Wajib Militer.
  2. Wajib Militer tenaga profesional.
  3. Militer Sukarela, termasuk menwa, juga program korps perwira cadangan.
  4. Militer Sukarela milisi, seperti ormas dengan pelatihan militer.
  5. Komponen cadangan kekuatan laut dikenal dengan Merchant Navy.
  6. Komponen cadangan kekuatan udara, seperti Civil Air Patrol.

[caption id="" align="aligncenter" width="830" caption="Perbandingan Komponen Cadangan Asia Tenggara"]

[/caption]

Fungsi Komponen Cadangan

Adanya komponen cadangan sangat memperkuat TNI baik untup perang moderen maupun untuk perang gerilya. Pada kondisi perang moderen, adanya komponen cadangan memungkinkan TNI memobilisasi mayoritas kekuatan tempurnya tanpa harus khawatir dengan kekosongan wilayah pertahanan yang diisi oleh komponen cadangan.

Pada kondisi terdesak, kapal-kapal swasta dan milik pribadi dari mechant navy dapat bergabung dengan TNI dan dipersenjatai. Demikian pula pesawat-pesawat swasta dan milik pribadi.

Jika terpaksa mencapai kondisi perang gerilya, maka TNI akan dapat lebih efektif karena didukung oleh komponen cadangan gerilya yang terlatih yang dapat mendukung pembentukan divisi-divisi perang gerilya secara jauh lebih cepat dibanding harus melatih pasukan baru.

Kebutuhan UU

Untuk membentuk komponen cadangan tersebut dibutuhkan UU yang memadai. Namun tidak mudah membuat UU tersebut ditengah parlemen korup yang tidak dipercaya oleh masyarakat dan pemerintah yang tidak memiliki kapabilitas memadai. Masyarakat khawatir bahwa UU komponen cadangan akan digunakan untuk mengembalikan pemerintahan otoriter yang diupayakan oleh banyak pejabat dan anggota DPR RI. Selain itu juga dikhawatirkan bahwa UU komponen cadangan dapat digunakan oleh oknum-oknum penguasa untuk meraih keuntungan pribadi seperti yang sering-kali terjadi, atau berupa UU karet yang hanya menyulitkan masyarakat dengan mengkriminalisasi anggota masyarakat atas hal-hal yang tidak patut. Hal ini menghantui masyarakat karena banyak UU dibuat Pemerintah dan DPR RI seperti itu.

Untuk itu pembuatan UU dan PP harus dilakukan secara bijaksana dan melingkupi seluruh kekhawatiran masyarakat tersebut. Hal ini yang tidak dilakukan pada upaya penyusunan UU komponen cadangan sebelumnya sehingga selama belasan tahun belum dapat diselesaikan. Kurangnya sponsor UU dan kesempatan korupsi anggaran juga merupakan alasan mengapa UU Komponen Cadangan tidak disusun dengan serius.

Terlepas dari semua itu, praktis saat ini komponen cadangan TNI hanyalah Menwa, dan hal ini merupakan salah satu kelemahan mendasar TNI yang harus kita kenang sebagai Panca Paria TNI nomor 4.

E. Tidak memiliki sumber daya untuk meningkatkan kapabilitas

Kelemahan 1 - 4 dari Panca Paria TNI telah menunjukkan betapa lemahnya kapabilitas TNI. Kelemahan kelima TNI per 2012 adalah tidak memiliki sumberdaya untuk meningkatkan kapabilitasnya yang sangat terbatas itu.

Dwifungsi ABRI Masa Silam

Dibandingkan dengan masa orde baru, TNI memiliki kemampuan besar untuk meningkatkan kapabilitasnya. Peningkatan kapabilitas ini dapat dilakukan melalui adanya bisnis TNI yang dapat diberi mandat melakukan pekerjaan TNI, atau dimintai sumber daya untuk mendukung TNI. Hal serupa dapat dilakukan dengan adanya penempatan militer aktif di swasta dan BUMN. Demikian pula dengan banyaknya pejabat publik yang merupakan militer aktif yang dapat mengerahkan sumber daya pemda atau kementrian untuk meningkatkan kapabilitas TNI.

Kekuatan sospol TNI juga memiliki kapabilitas mengerahkan komponen cadangan yang terdiri atas ormas kepemudaan binaan TNI. Disamping itu kekuatan sospol TNI juga memiliki pengaruh kuat di pemerintahan sehingga dapat mencegah adanya pejabat-pejabat yang membahayakan pertahanan nasional. Kekuatan sospol TNI juga dapat mendesak DPR RI atau Pemerintah untuk membuat kebijakan atau menurunkan anggaran sesuai dengan kebutuhan TNI.

Kondisi Masa Kini

Pada era reformasi tidak ada lagi bisnis TNI, tidak ada karya (pejabat swasta/BUMN) TNI, dan pejabat publik TNI. Juga sudah tidak ada kekuatan sospol TNI.

Dengan tidak adanya sumber daya tersebut, TNI hanya bisa diam menunggu Pemerintah dan DPR RI sementara kapabilitas TNI sudah begitu lemah.

Contoh Kasus Timor Timor

Satu contoh paling vital adalah 2 kasus dimana TNI sama sekali tidak memiliki kapabilitas untuk bertempur membela wilayah teritorial NKRI disebabkan oleh Pejabat Sipil dan DPR RI yang tidak bertanggung-jawab. Kasus Provinsi Timor-timor dan Pulau Sipadan-Ligiatan adalah contoh kasus nyata yang membutuhkan pembahasan mendalam: bagaimana TNI dapat meningkatkan kapabilitas-nya agar mampu mempertahankan setiap jengkal tanah air.

Disini timbul pertanyaan: bagaimana caranya agar TNI dapat bertempur membela setiap jengkal tanah NKRI ? (belum pertanyaan bagaimana untuk memenangkan pertempuran). Karena pada kedua kasus tersebut TNI sama sekali tidak bisa bertempur.

Contoh Kasus Pelecehan Bawean

Contoh ekstrim lain adalah insiden Bawean, dimana 2 F-16 dilecehkan oleh Carrier Battle Group US yang melintas keluar jauh dari ALKI dengan misi mempermalukan Pemerintah Indonesia yang dinilai US tidak membuat ALKI dengan memadai.

[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="ALKI, sumber: jurnalmaritim.com"][/caption]

Pada kasus ini, sesuai UNCLOS, Indonesia membuat Alur Laut Kepulauan Indonesia(ALKI), dimana kapal-kapal asing boleh melintas di jalur yang sudah ditentukan seperti jalan raya ditengah kepulauan Indonesia. Entah karena sakit apa, Pemerintah Indonesia yang tidak kapabel membuat ALKI hanya 3 jalur utara - selatan, tidak ada jalur ALKI di arah timur - barat. Padahal jalur timur - barat juga merupakan jalur internasional sejak dulu. Hal ini sebenarnya tidak masuk akal karena sama dengan mematikan jalur laut yang dulu membesarkan Surabaya dan Makassar sebagai pelabuhan laut internasional.

[caption id="" align="aligncenter" width="450" caption="USS Carl Vinson, sumber: Wikipedia.org"]

[/caption]

US yang kekanak-kanakan melakukan protes dengan menggerakkan armada laut-nya sesukanya di kawasan Indonesia, sebagai sinyal bahwa US tidak mengakui ALKI dan bebas bergerak dimana saja dari barat ke timur di dalam kepulauan Indonesia. Akibatnya TNI ketiban-pulung, 2 F-16 block 15 OCU yang "sukur bisa terbang" melakukan intersepsi dihadapi oleh sejumlah besar fighter F/A-18 US Pacom bersenjata lengkap, state-of-the-art, yang dengan mudah mengusir kedua F-16 TNI AU tersebut di atas kepulauan Nusantara.

Pada kasus ini terlihat 2 unsur kelemahan kapabilitas TNI:

1. Kapabilitas tempur TNI yang terlalu lemah untuk mengamankan lalu lintas armada Carrier Battle Group US dengan puluhan F/A-18, agar tidak bisa dengan mudah melecehkan kedaulatan Indonesia.

Bagaimana membangun kekuatan TNI agar mampu mempertahankan klaim nasional untuk rezim kepulauan ? Sementara DPR RI dan Pemerintah tidak memiliki komitmen pengembangan kemampuan tempur moderen TNI. (komitmen itu ditunjukkan dalam bentuk anggaran).

2. Kapabilitas TNI untuk menghadapi pejabat-pejabat Indonesia yang korup dan tidak kapabel, yang membuat ALKI secara asal-asalan sehingga TNI harus menghadapi pelecehan dari US. ALKI seharusnya disusun dengan mempertimbangkan kapabilitas pertahanan nasional: kapabilitas TNI melindungi klaim Pemerintah atas rezim kepulauan Wawasan Nusantara.

Bagaimana TNI dapat "turut campur" meluruskan para pejabat yang tidak kapabel yang membahayakan kepentingan nasional seperti dalam penyusunan ALKI ?

Kekuatan Sospol TNI

Jawabannya adalah harus dibangun suatu kekuatan sospol TNI yang kuat, yang berfokus pada pertahanan nasional, tidak bersifat partisan dan netral secara politik, namun memiliki kapabilitas untuk bersuara terkait dengan pertahanan dan keamanan NKRI.

Kekuatan sospol TNI inilah yang akan dapat menjadi tulang punggung peningkatan kapabilitas TNI dalam mempertahankan kedaulatan NKRI. Kekuatan sospol TNI ini juga yang menjadi harapan untuk mengakhiri 2 dekade penurunan kapabilitas TNI, yang berpuncak pada Panca Paria TNI 2012.

Mungkin berat membaca tulisan ini, tetapi fungsi TNI bukan untuk dihibur atau menghibur, melainkan untuk mempertahankan teritorial NKRI. Dibutuhkan kapabilitas perang moderen dan perang gerilya untuk menjamin kedaulatan bangsa. Untuk memperoleh kapabilitas itu, kita perlu bicara, tidak perlu santun.

Dirgahayu TNI ke-69

Tuhan Memberkati Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun