[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="Berita Prajurit AU Gantung Diri, sumber: okezone"]
Dengan kesejahteraan yang tidak memadai dapat langsung disimpulkan bahwa TNI tidak dapat membangun kekuatan tempur moderen. Dalam hal ini jika memang anggaran tidak memadai, harus ditinjau alternatif mengoperasikan kembali BISNIS MILITER, dengan peraturan perundangan yang memadai.
Bisnis militer selain untuk meningkatkan kesejahteraan, juga sangat vital dalam pengembangan industri militer, serta dalam mewujudkan kapabilitas militer moderen ditengah keterbatasan anggaran militer. Berbagai dampak negatif-nya dapat  dihindari melalui perundang-undangan.
Masalah Kemauan Politik
Tidak ada sama sekali kemauan politik di DPR RI maupun di Pemerintah RI untuk memperhatikan kesejahteraan prajurit. Padahal hanya dibutuhkan 50 triliun rupiah untuk mengadakan rumah untuk 250 ribu prajurit TNI. Hal tersebut sangat mudah dilakukan jika UU dibuat untuk mengaturnya, bisa dengan banyak cara. Cara paling ekstrim adalah dengan mengembalikan sebagian bisnis TNI.
Namun kendala yang dihadapi adalah tidak adanya kemauan politik para politisi dan pemerintah yang korup. Yang memang tidak perduli dengan kemampuan tempur moderen TNI.
Hal ini merupakan prestasi sangat memalukan dari Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono, Â yang melupakan kesejahteraan korps dan kesatuan TNI dimana dia dilahirkan.
Kembali disini Jenderal Moeldoko melakukan terobosan melawan para politisi dan pemerintah korup, demi memperjuangkan kesejahteraan para prajuritnya, dengan mengangkat konglomerat sebagai penasihat Panglima TNI untuk mendirikan rumah bagi para prajurit TNI. Keberanian seperti ini yang dibutuhkan untuk mewujudkan kapabilitas TNI mempertahankan NKRI.
8. Keterbatasan Anggaran = Kemauan Politik
Kemampuan tempur moderen TNI juga mustahil diwujudkan dengan keterbatasan anggaran saat ini yang rata-rata 1% GDP. Di masa lalu anggaran TNI bisa mencapai 2%, dan masih didukung oleh Yayasan TNI dan Bisnis TNI. Dengan postur militer besar (400 ribu prajurit), dan wilayah yang luas, anggaran kecil bagi TNI sangat tidak masuk akal.
Masalah keterbatasan anggaran ini harus diperbaiki. Idealnya pada masa ekonomi membaik, anggaran TNI ditingkatkan menjadi 4% GDP dengan berbagai cara. Kenyataannya justru pada saat ekonomi membaik 2004 - 2010 anggaran TNI ditekan habis-habisan oleh DPR yang korup dan Pemerintah yang disusupi oleh Neolib ASEAN-C.
Disini masyarakat dijejali kebohongan bahwa anggaran TNI yang besar membebani masyarakat dan pemerintah. Kenyataannya justru terbalik. Anggaran pertahanan yang besar, jika dikelola dengan benar justru mendorong pertumbuhan perekonomian nasional, industri, UKM, dan mengurangi pengangguran. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan politik, serta keberanian melawan politisi korup dan pengkhianat bangsa. Tidak perlu santun menghadapi politisi korup dan pengkhianat bangsa.
C. Kemampuan perang gerilya sangat lemah
Perang gerilya membutuhkan doktrin yang ditanamkan pada masyarakat agar kapabilitas perang gerilya tinggi. Pada masa lalu doktrin tersebut adalah sishankamrata. Jika musuh menguasai kota, rakyat akan membakar kota dan pindah ke desa-desa untuk bergerilya bersama TNI. Pada masa kini doktrin tersebut sudah mati. Di tahun 1999 rakyat yang melaksanakan doktrin sishankamrata justru ditinggalkan oleh TNI dan Pemerintah RI.