Tidak memiliki kapabilitas network centric warfare. Kapabilitaas network centric warfare merupakan penanda kapabilitas tempur moderen. Kapabilitas ini memungkinkan alutsista berkomunikasi satu-sama lain, komunikasi data antar unit, kapabilitas battle awareness komandan pertempuran, penyaluran data dari lapangan ke pusat-pusat komando, dan lain sebagainya.
Bagian lain dari network centric warfare adalah electronic warfare, yang diantaranya termasuk sigint: penyadapan dan kontra penyadapan sinyal komunikasi. Unit sigint atau signal adalah sebutan untuk unit militer yang terkait dengan penyadapan dan kontra penyadapan. Salah satu kelemahan besar TNI adalah kegagalan melindungi NKRI dari penyadapan, sementara UU TNI secara jelas memandang penyadapan terkait pertahanan nasional merupakan salah satu tugas TNI untuk dihadapi. Artinya penyadapan Australia, Singapore, Korea Selatan terhadap Indonesia merupakan kegagalan TNI dalam menghadapi perang moderen yang bersifat multi-dimensi. Unit Sigint TNI sama sekali tidak terdengar perannya (jika ada).
2. Sishanud Strategis
Tidak memiliki sistem pertahanan udara strategis. TNI hanya mengandalkan meriam-meriam kuno, dan rudal udara jarak dekat (shorad/manpad) yang dalam perang moderen berbeda fungsi dengan sistem pertahanan udara strategis. Shorat/manpad TNI baik di darat maupun di udara hanya mampu menembak dalam jarak sampai dengan 10 km, sementara aset udara yang potensial menyerang Indonesia memiliki kemampuan tembak puluhan bahkan ratusan km.
Ketiadaan sishanud strategis menjadikan kekuatan AD dan AL menjadi tidak bermakna, mudah di netralisir oleh lawan. Dalam sejumlah konflik terakhir terbukti bahwa superioritas udara menjadi titik penentu kemenangan perang, bahkan dengan kerugian yang sangat sedikit di pihak yang meraih superioritas udara.
[caption id="" align="aligncenter" width="768" caption="Alutsista Asia Tenggar 2015, sumber: kampusmiliter.com"]
3. Sishanud Tempur Taktis
TNI AD dan TNI AL tidak memiliki sistem pertahanan udara memadai. Sistem pertahanan udara merupakan sistem paling vital pada perang moderen. Kavaleri TNI AD tidak memiliki sishanud memadai sehingga sangat mudah digulung oleh kekuatan udara lawan. Demikian pula gugus tempur laut TNI AL. Yang dimiliki hanya sejumlah shorad dan manpad yang fungsinya hanya untuk menghadapi aset Close Air Support lawan, atau aset lawan yang terbang rendah pada jarak dekat.
Tanpa sishanud berpenggerak sendiri (mobile SAM) jarak mengah dan jarak jauh, nasib MBT Leopard 2RI sudah dapat dipastikan: diburu oleh kekuatan udara lawan dengan rudal-rudal jarak jauh.
[caption id="" align="alignnone" width="700" caption="Kekuatan Laut Asia Tenggara"]
4. Angkatan Udara
Kapabilitas TNI AU sangat lemah. Kekuatan udara merupakan titik utama dari kemampuan perang moderen tanpa superioritas udara perang moderen tidak mungkin dilakukan. Yang terjadi adalah pengeboman musuh besar-besaran yang menghancurkan semangat berperang (misalnya kampanye Shock and Awe dalam Perang Teluk pertama).
Pengembangan AU moderen mutlak membutuhkan anggaran yang memadai namun anggaran tersebut harus digunakan dengan efisien.
Akuisisi alutsista yang tidak efektif dengan kepemilikan terlalu banyak merek pesawat akan sangat menyulitkan logistik TNI. Mulai dari akuisisi EMB-314, pembelian pesawat refurbish F-16, hingga riset KFX/IFX yang tidak dibutuhkan. Hal itu merupakan penanda militer yang tidak moderen. Melihat ke semua militer moderen, akuisisi alutsista dilakukan terfokus pada 1 fighter besar dengan fokus supremasi udara, 1 fighter kecil untuk pelengkap, 1 fighter/trainer jet, dan 1 trainer propeller untuk pelatihan awal.