https://assets.kompas.com/data/photo/2014/03/15/2017098Malaysia-FIR780x390.jpg
ATC Kepri
Wilayah udara Indonesia di Kepulauan Riau diserahkan oleh Pemerintah yang tidak kapabel kepada kekuasaan FIR Singapore selama puluhan tahun. Disini sekali lagi ada faktor pemerintah yang tidak kapabel. Namun dari sisi kapabilitas, TNI sama sekali tidak memiliki kemampuan baik untuk mendorong pemerintah merebut wilayah udara nasional, maupun untuk mengambil alih wilayah nasional tersebut. Hal ini kembali menjadi catatan inkapabilitas bagi TNI. Sekalipun kelambatan penguasaan FIR merupakan tanggung-jawab Pemerintah dan otoritas penerbangan sipil nasional, namun dari sisi kedaulatan masalah penguasaan udara adalah masalah TNI. TNI yang kapabel harusnya mampu mengambil alih FIR dalam waktu singkat.
ALKI (jurnalmaritim.com)
PP 37/2002 ALKI
Alur Laut Kepulauan Indonesia adalah suatu klaim yang harus dipertahankan oleh TNI sejak tahun 2002. Apapun klaim yang disusun oleh Pemerintah, TNI harus siap mengamankan. Yang menjadi masalah adalah Pemerintah tidak kapabel dalam menyusun ALKI sehingga membuat TNI harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan besar dunia, sementara TNI tidak diberikan kapabilitas memadai untuk itu. Disini pemerintah asal-asalah membuat kebijakan tanpa memberi kapasitas bagi TNI untuk melakukan fungsinya.
Pelanggaran ALKI
Pelanggaran ALKI secara sengaja dilakukan oleh US sebagai bentuk protes atas ALKI Pemerintah yang dianggap tidak memadai. Hal ini sudah dijelaskan pada Panca Paria TNI. TNI tidak memiliki kapabilitas pemantauan laut yang memadai. Lebih gawat lagi, TNI tidak memiliki komando pertahanan laut yang melakukan pengawasan 24 jam, seperti halnya Kohanudnas. Yang ada hanya 2 armada dengan kuantitas dan kualitas kapal sangat terbatas. Tanpa komando pertahanan laut, mustahil TNI mampu mengamankan ALKI dan wilayah laut nusantara diluar ALKI. Disamping itu TNI hingga hari ini tidak memiliki alutsista deterrent yang sanggup menghadapi Carrier Battle Group, entah dari US, atau PRC, yang sangat mungkin harus dihadapi. Padahal sejak 2012 cukup ruang anggaran yang ada untuk pengadaan tersebut.
Pelecehan Bawean (2003)
2 F-16 TNI dilecehkan oleh sejumlah besar F-18 US Pacom di wilayah udara Bawean, NKRI. Pelecehan ini disebabkan oleh inkapabilitas TNI yang tidak memiliki kekuatan udara memadai. Mengandalkan hanya sejumlah F-16 block 15 OCU yang sedang dalam embargo militer hingga tahun 2005. Tidak ada yang lebih memalukan bagi Tentara Nasional daripada dipermalukan di wilayah sendiri. Hingga hari ini, dengan anggaran begitu besar, TNI tidak memiliki kapabilitas udara memadai, dan lebih disebabkan oleh kesalahan akuisisi alutsista TNI sendiri. Anggaran begitu besar dihabiskan untuk pengadaan yang tidak terkait dengan peningkatan kapabilitas tempur TNI AU. Mulai dari akuisisi dengan riset 20% KFX/IFX fighter Generasi 4.5, COIN fighter propeller EMB-314 Super Tucano dari Brazil, F-16 block 32+ USANG, dan lain sebagainya.
Mata-mata Korea Selatan (2011)
Sejumlah mata-mata musuh memantau, menyadap dan mencuri informasi terkait pertahanan dan keamanan nasional. Tahun 2011 mata-mata Korea Selatan kepergok sedang membongkar file di kamar perwakilan Indonesia. Hal ini ditindak lanjuti dengan berbagai kontrak pembelian alutsista dari Korea Selatan, pada tahun 2011, 2012, dan 2013. Rangkaian ini menunjukkan Indonesia tidak memiliki harga diri. Setidaknya Indonesia harusnya bisa menahan diri untuk membatalkan alutsista Korea Selatan pada tahun yang sama. Demikian pula TNI, bukan hanya tidak memiliki kapabilitas melindungi keamanan informasi, tetapi juga mempermalukan diri-nya sendiri dengan bersegera membeli alutsista dari negara-negara yang memata-matai Indonesia. Akuisisi alutsista 2011 tersebut adalah harga diri bangsa yang diinjak-injak sendiri oleh Pemerintah dan TNI. Dalam kasus ini TNI inkapabel dalam memahami harga diri bangsa.