Mohon tunggu...
Pendik Saputro
Pendik Saputro Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pelaksana pada Sekretariat Direktorat Jenderal Perbendaharaan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dag Dig Dug Cinta Pertama

8 Februari 2012   12:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:54 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jatuh cinta pada pandangan pertama kata orang itu biasa tapi kataku itu mengada-ada. Tertarik pada pandangan pertama sih wajar tapi kan ending-nya belum tentu jatuh cinta, bisa saja justru sebaliknya jadi benci. Aku sendiri sering tertarik pada pandangan pertama. Maklumlah jaman sekarang siapa sih yang nggak berpenampilan menor. Bukan lagi pada saat-saat tertentu seperti jaman masa muda ibuku yang mendadak menor saat hendak menghadiri kondangan, jaman sekarang ini mau buang sampah di halaman rumah pun kita masih menyempatkan diri mengelap muka, bahkan berganti busana. Katanya sih untuk menarik perhatian orang lain, terutama lawan jenis, eh tapi ada juga yang sesama jenis :D. Jadi, kalau penampilan setiap orang dimana-mana sudah ngebling ya wajar saja banyak orang yang tertarik pada pandangan pertama.

Cinta pertamaku juga berawal dari tertarik pada pandangan pertama tapi bukan tertarik pada pandangan pertama yang pertama. Mungkin yang ke ??? ah aku sudah lupa. Waktu itu kami bertemu di acara rapat persiapan pentas seni gabungan SMA-SMA sekabupaten. Dia memakai baju pramuka sama seperti peserta-peserta rapat yang lainnya termasuk juga aku. Tapi dia terlihat beda di mataku. Rambutnya yang lurus dan tipis dikuncir di belakang. Warnanya agak kemerah-merahan, cantik seperti ekor cendrawasih. Dia memakai kacamata kotak full frame menimbulkan kesan cerdas tapi agak cupu yang justru aku suka. Namun sayang seribu sayang aku tidak berani mendekatinya. Bahkan menyapa hai saja tidak.

Kata orang lagi sih kalau jodoh nggak akan kemana. Dan aku mencoba mempercayainya. Aku tidak pernah repot-repot mencari informasi tentangnya kecuali repot-repot memikirkannya. Bagaimana tidak repot kalau itu terjadi begitu saja di otakku. Seberapa pun aku merepotkan diri membungkam otakku, toh itu tidak pernah berhasil. Sampai berhari-hari pun aku masih juga selalu memikirkannya.

Mungkin nasib pas lagi mujur akhirnya aku bertemu lagi dengannya. Kali itu kejadiannya di toko buku. Sesuatu yang jarang kulakukan. Berhubung buku teks yang satu ini diwajibkan untuk dimiliki semua siswa dan semua siswa itu kecuali aku sedah memilikinya, terpaksa aku berangkat sendiri untuk membelinya. Aku menyakinkan diriku untuk berani menyapanya. "Kapan lagi? Jangan sia-siakan kesempatan yang mungkin tidak datang tiga kali Randy!" demikian batinku menyemangati.

"Hai... aku Randy. Kita pernah bertemu minggu lalu di rapat pentas seni. Mungkin kamu tidak melihatku," sapaku sambil mengulurkan tanganku.

"Hai... Fiona. Aku melihatmu kok waktu itu," jawabnya sambil menjabat tanganku.

Kami pun mengobrol panjang lebar sambil mencari buku yang kami perlukan. Ternyata namanya Fiona. Orangnya ramah dan enak diajak ngobrol sesuai dengan tipe cewek idamanku. Meskipun aku termasuk cowok yang begajulan tapi tidak mudah bagiku untuk mendekati cewek yang kusuka. Aku selalu gugup di depannya. Tapi kali ini benar-benar mujur. Aku mendapatkan nomor hapenya.

Semenjak itu kami rajin berhubungan. Tiap hari kami sms-an. Lama-lama bonus seratus sms gratisku pun kurang. Selain itu kami juga sering jalan bareng. Entah itu sekedar makan bareng, nonton bareng bahkan ke toko buku bareng yang merupakan hobinya.

Tiga bulan hubungan kami berjalan, aku merasa tumbuh perasaan saling suka diantara kami. Tapi aku belum berani menyatakannya. Padahal aku yakin dia sedang menungguku untuk menyatakannya. Sebagai wanita, mana mungkin dia yang memulai. Kejadian berepot-repot itu pun terulang kembali. Tiap hari aku memikirkan untuk menyatakannya. Hanya ada dua kemungkinan setelah aku mengatakannya. Pertama aku jadian dengannya yang artinya status jombloku lepas untuk pertama kalinya. Kedua, dia menolakku tapi aku yakin kami akan tetap berteman. Menurut perasaanku sih kemungkinan pertama probabilitasnya lebih besar. Tapi kenapa aku masih takut juga ya? Mungkin karena itu yang pertama. Entahlah.

Hingga suatu malam aku tak bisa tidur. Berjam-jam aku terbaring di kasurku berselubung selimut dengan mata terpejam. Tapi otakku tak mau terpejam sekejap pun. Terakhir aku mengintip jam beker di mejaku adalah pukul tiga. Setelah itu baru aku tertidur. Akibatnya segayung air disiramkan ibuku untuk membangunkanku. Katanya sudah berkali-kali diteriaki aku tak bangun juga. Namun, karena itu aku jadi tidak terlambat sekolah jadi tak perlu jalan jongkok mengelilingi lapangan tiga kali. Ibuku memang pahlawanku.

Untuk menghilangkan kantukku selama di kelas, aku meng-sms Fiona. Ini tak pernah kulakukan sebelumnya karena takut mengganggu belajarnya di sana. Tak kusangka dia membalas sms-ku. Bahkan sms balasanku dibalasnya lagi, kubalas lagi dan masih dibalasnya juga. Aku senang sekali. Entah karena aku jadi tidak ngantuk atau karena responnya pada sms-ku. Mungkin karena keduanya dengan persentasi alasan kedua yang lebih besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun