Mohon tunggu...
Pendi Susanto
Pendi Susanto Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

Penulis Buku, Pegiat Pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjadi Milenial Pengawal Pancasila

1 Oktober 2023   06:31 Diperbarui: 1 Oktober 2023   07:15 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bung Karno pernah berkata: "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya." Tanggal 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Dalam hal ini merupakan peringatan untuk menjaga ideologi Pancasila dari potensi bahaya komunisme, mengingatkan akan peristiwa G30S/PKI yang mengakibatkan enam jenderal dan beberapa  lainnya dibantai oleh sekelompok orang yang menurut otoritas militer saat itu Partai Komunis Indonesia. Kerusuhan akibat G30S/PKI sendiri  akhirnya berhasil diredam dan Pancasila tetap menjadi ideologi negara yang dipertahankan hingga saat ini.

Dari tahun ke tahun, Hari Kesaktian Pancasila di Indonesia selalu diperingati pada tanggal 1 Oktober setiap tahunnya, sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 153 Tahun 1967 tentang menetapkan tanggal 1 Oktober sebagai hari perayaan Hari Kesaktian Pancasila. Tanggal 30 September diperingati dengan menurunkan bendera merah putih setengah tiang, kemudian pada tanggal 1 Oktober bendera dikibarkan dengan penuh. Pengibaran bendera setengah tiang memiliki makna duka atas gugurnya Pahlawan Revolusi pada kejadian G30S/PKI dan pada tanggal 1 Oktober bendera dikibarkan secara penuh adalah bentuk dari Kemenangan Bangsa Indonesia dalam mempertahankan Idelogi Pancasila.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat diubah oleh  PKI atau bahkan pihak manapun, karena Pancasila merupakan makna suci yang  penting bagi kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Pancasila juga menjadi salah satu ciri khas bangsa Indonesia, bukan milik suku lain.

Hari Kesaktian Pancasila menjadi motivasi kita untuk membangkitkan rasa nasionalisme, mengingat sejarah Indonesia mempertahankan Pancasila sebagai ideologi yang tidak bisa digantikan oleh ideologi apapun. Kesakralan Pancasila mengandung arti bahwa Pancasila adalah bagian dari cara pandang dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Memperingati Hari Kesaktian Pancasila merupakan wujud penghormatan terhadap para pahlawan, khususnya melanjutkan perjuangannya dalam mengedepankan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, meneruskan semangat juang para pahlawan dengan terus Mengamalkan Pancasila dalam setiap aspek kehidupan  berbangsa dan bernegara kita. Sebagai generasi penerus, hendaknya kita terus menjunjung tinggi kesucian Pancasila.

Setidaknya, ada dua poin penting yang menunjukkan bahwa Pancasila merupakan cara pandang hidup (the way of life) yang memiliki kesaktian sebagai esensi pendidikan sehingga mampu menjaga karakter bangsa. Penerapan penanaman nilai-nilai Pancasila dalam bangku sekolah memang cukup menarik. Pertama muncul tahun 1957, internalisasi Pancasila ditanamkan melalui pelajaran 'Kewarganegaraan', yang kemudian mengalami perubahan nama berkali-kali, diantaranya menjadi 'Civics', 'Civics Manusia Indonesia Baru', 'Kewargaan Negara', 'Pendidikan Kewargaan Negara', 'Pendidikan Moral Pancasila (PMP)', 'PPKn', 'Pendidikan Kewarganegaraan', dan 'PKn'. 

Selain itu, model indoktrinatif nilai Pancasila juga dilakukan dengan istilah yang mengalami perkembangan. Sebagai contoh, saat Orde Lama disebut dengan materi Tubapi (tujuh bahan pokok indoktrinasi) dan Orde Baru dengan istilah P4, yaitu 45 butir di dalam Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa).

Meski terjadi perubahan terminologi, namun esensi pembelajaran nilai-nilai Pancasila di semua jenjang pendidikan perlu diutamakan. Setidaknya ada dua hal mendasar: Pancasila adalah semangat solidaritas melalui kesatuan prinsip dan  Pancasila adalah semangat moral bangsa.

Dalam rangka peringatan Hari Kesaktian Pancasila ke-58  tahun 2023, peringatan tersebut perlu dimaknai kembali dan dimutakhirkan. Tujuannya agar tetap selaras dengan perkembangan terkini dan kebutuhan nasional. Sebagaimana pembukaan dekrit presiden yang ditandatangani oleh Penjabat Presiden Soeharto pada tanggal 27 September 1967 disebutkan bahwa perayaan Hari Kesaktian Pancasila bertujuan untuk mempertebal dan menanamkan keimanan terhadap kebenaran dan kegaiban.Kesenian Pancasila sebagai satu-satunya pedoman hidup yang dapat mempersatukan seluruh nusa, bangsa, dan masyarakat Indonesia. Tentu saja peristiwa G 30 S/PKI yang menjadi asal muasal Perpres tersebut.

Meski peristiwa G 30 S/PKI menjadi alasan sah dikeluarkannya Perpres tersebut, namun tema umum peristiwa tersebut tak lain adalah gerakan Pancasila untuk mengubah ideologi. Dalam konteks ini, perayaan Hari Kesaktian Pancasila harus dimaknai lebih luas dan tidak hanya sekedar persoalan gerakan PKI saja. Maknanya harus diperluas agar segala bentuk pelemahan ideologi Pancasila harus dihindari dan diperjuangkan secara bersama-sama. Karena kita sepakat bahwa Pancasila adalah satu-satunya pedoman hidup yang mampu menyatukan seluruh nusa, bangsa, dan rakyat Indonesia, sebagaimana tercantum dalam pertimbangan Keputusan Presiden Nomor 153 Tahun 1967.

MENJADI MILENIAL PENGAWAL PANCASILA

Survei yang dilakukan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bekerja sama dengan  Gusdurian Indonesia Network pada bulan September-November 2016 melalui wawancara tatap muka terhadap 1.200 responden yang dipilih dari 6 kota besar di Indonesia yaitu Bandung, Yogyakarta , Solo, Surabaya, Pontianak. dan Makasar. Responden adalah generasi muda berusia 15-30 tahun dengan rasio gender seimbang 50% laki-laki dan 50% perempuan serta menggunakan metode stratified random sampling yang sesuai (sampling error 2,98 dengan keyakinan 95%).

Hasil survei menunjukkan 63,1% responden  setuju dan 28,1% sangat setuju bahwa Pancasila menyatukan seluruh lapisan bangsa untuk bersatu dan menjaga keutuhan wilayah bangsa dan besar kemungkinan negara ini akan terpecah belah tanpa Pancasila. Terkait nasionalisme dan jati diri bangsa, 60,6% responden setuju dan 31,3% sangat setuju Indonesia menjadi negara besar karena mampu beradaptasi dengan seluruh aspek masyarakat, termasuk berbagai ras, suku, dan agama.

Dari situ kami cukup optimis  generasi milenial benar-benar memegang teguh nilai-nilai kebangsaan, baik ideologi Pancasila maupun nasionalisme. Namun di  era disrupsi informasi yang sewaktu-waktu masyarakat bisa gelisah dan saling berkonflik karena saling bercanda dan adu mulut di media sosial, kontribusi positif generasi milenial semakin banyak memenuhi dunia maya. dengan distribusi yang keren. untuk melawan narasi palsu dan propaganda anti-SARA. Selain itu, mengalokasikan waktu, tenaga dan pikiran melalui kreativitas sesuai passion juga dapat dilakukan untuk menjaga nilai-nilai Pancasila. Sepanjang bermanfaat bagi kepentingan bangsa dan negara dan bukan hanya kepentingan pribadi, maka hal itu bisa dianggap sebagai strategi kekinian untuk menjaga Pancasila. Nugroho dalam Youth Nationalism menjelaskan bahwa bagi generasi muda masa kini, menjadi nasionalis berarti hadir dan berpartisipasi aktif di ruang-ruang publik, bukan diciptakan, baik itu hal-hal kecil, sederhana, maupun kegiatan-kegiatan besar.

Generasi Indonesia dapat dikelompokkan berdasarkan periode kelahirannya, antara lain Generasi X (1965-1980), Generasi Y (1981-1994), dan Generasi Z (1995-2010). Generasi Y dan Z yang kini menjadi bagian dari generasi muda juga sering disebut dengan generasi Milenial. Ciri kuat generasi Milenial adalah kemampuannya dalam menguasai teknologi informasi dan komunikasi sehingga menghasilkan sumber informasi yang melimpah.

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2020,  penduduk usia 15 hingga 34 tahun diperkirakan berjumlah 32,86% dari total  penduduk Indonesia. Bahkan, jumlah tersebut akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang, artinya Indonesia akan memiliki penduduk usia produktif  (bonus demografi) yang berlimpah. Melihat angka-angka tersebut, kita semakin sadar akan peran generasi milenial dalam membentuk masa depan negara. Wajah negara ke depan akan dipengaruhi oleh pemikiran dan perjuangan generasi muda masa kini (milenial). Oleh karena itu, tidak berlebihan jika menyebut generasi Y sebagai penjaga Pancasila.

Caroline Tyan (2017) dalam artikelnya Nasionalisme di Era Media Sosial menjelaskan bahwa media digital merupakan penguat  nasionalisme. Generasi milenial sebagai generasi yang akrab dengan media digital tentu bisa mengambil peran sebagai agen penguatan nasionalisme dengan menjadi pembela Pancasila. Media massa, baik cetak maupun online,  berperan dalam menyebarkan ideologi negara-bangsa ke berbagai komunitas di seluruh dunia. Media cetak merupakan media yang menyebarkan gagasan dari banyak pihak ke banyak pihak, sedangkan media online/Internet menghubungkan banyak pihak dengan banyak pihak dalam waktu yang bersamaan. Kedua jenis media ini menjadi alat hubungan yang terkendali secara emosional yang melaluinya komunitas politik -- nasional, regional, sektarian, suku -- direproduksi. Namun, jejaring sosial memiliki dua keunggulan yang berlawanan. Pertama, memperluas cara individu mengungkapkan pendapatnya dan mendorong diskusi. Kedua, membangun masyarakat berdasarkan konsepsi identitas yang sempit dan eksklusif.

Nampaknya poin kedua  kini semakin menghantui dunia digital. Akibat maraknya hoaks dan provokasi bernuansa SARA, satu kelompok berkonflik dengan kelompok lain demi mengedepankan kepentingan pihak tertentu. Tidak dapat dipungkiri perpecahan dapat muncul sewaktu-waktu  akibat fenomena perpecahan di dunia maya. Keberagaman kini terancam karena postingan-postingan yang  tidak bertanggung jawab tersebut. Hal ini tentu saja bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang menghendaki persatuan seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Mempertahankan keberagaman memperkuat perdamaian. Sedangkan perdamaian akan tercapai jika toleransi terjalin. UNESCO menjelaskan dalam publikasinya Toleransi: Ambang Batas Perdamaian menegaskan bahwa tanda keberhasilan toleransi adalah terjalinnya hubungan sosial. Hasil dari toleransi adalah kenyamanan pribadi dan keharmonisan sosial (Albinsaid, 2016).

Dari ruang-ruang tersebut, generasi milenial harus aktif menyebarkan nilai-nilai persaudaraan, toleransi, dan solidaritas. Ciri-ciri generasi milenial, keterbukaan, dinamisme, dan kreatif, menjadi modal berharga untuk menekuni karya kreatif  menjadi generasi penjaga Pancasila. Selamat merayakan Hari Kesaktian Pancasila. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun