Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah (Yoh 12:24).
        Bukan suatu kebetulan, apabila Tuhan Yesus menggunakan biji gandum guna menjelaskan apa yang dimaksudkan-Nya dengan mati dalam perumpamaan ini. Dia sedang mengatakan  satu kebenaran kepada murid-murid-Nya dan mereka yang mendengar, bahwa seseorang yang takut akan hidupnya di bumi ini dan  memeliharanya begitu rupa, akan kehilangan  hidup yang sebenarnya.
        Walaupun ia hidup, seperti biji gandum yang tidak jatuh ke tanah, maka ia tidak akan menghasilkan apa-apa. Tidak ada manfaat dan buah kehidupan yang dapat diberikannya, karena ia hidup hanya untuk dirinya semata. Ia tidak rela jika hidupnya dipakai untuk mendatangkan kehidupan bagi orang lain. Ia takut, jika ia memberi hidupnya untuk orang lain, maka ia akan kehilangan hidupnya.
        Demikianlah ia kehilangan hidup yang sebenarnya, demi  mempertahankan hidup sementara di bumi ini, kehidupan yang akan tinggal ketika roh pergi meninggalkan tubuhnya.  Itu tidak akan dapat dibawanya ke kekekalan, karena tidak akan mendapat tempat di sana.
        Demikianlah Tuhan Yesus mengajar muridnya, supaya mereka mengerti apa itu hidup yang  sebenarnya, dan bagaimana mereka seharusnya memandang kehidupan  sementara di bumi ini.
        Hidup di bumi ini bukanlah sesuatu yang harus dipertahankan, bumi telah jatuh ke dalam dosa dan bukan lagi menjadi hunian yang ideal bagi manusia. Tanah telah terkutuk dan dengan susah payah manusia harus mengusahakan kehidupannya.
        Tidak ada jalan lain, manusia harus bersusah payah untuk memperoleh apa yang menjadi makanannya. Dengan demikian, manusia yang menghendaki kehidupan yang mudah dan penuh kesenangan dengan menyusahkan atau membuat orang lain bersusah payah, merupakan suatu pelanggaran terhadap perintah Allah.
        Demikianlah seharusnya perspektif setiap orang memandang kehidupan di dunia ini. Tidak mengingini kemudahan dan kesenangan, bumi ini bukan tempatnya. Apalagi hendak mendapatkannya melalui kesusahan orang lain. Setiap orang harus bersusah payah untuk mengusahakanhidupnya, karena memang demikianlah konsekuensi dari kejatuhan manusia ke dalam dosa dan  tanah yang telah terkutuk.
Tentu, kita sudah tidak asing  lagi dengan apa yang dinamakan prinsip ekonomi yang dianut oleh banyak individu dan korporasi, dengan  pengeluaran yang sekecil-kecilnya memperoleh manfaat atau keuntungan yang sebesar-besarnya, bahkan tak terhingga. Pemahaman ini berasal dari perspektif yang salah. Seharusnya, pengeluaran yang kecilmemberi manfaat yang kecil pula, dengan kata lain usaha atau pengeluaran berbanding lurus dengan manfaat atau keuntungan yang didapat.
Jika tidak demikian, sangat mungkin ada penyimpangan di dalamnya, meskipun sepertinya tidak ada sesuatu hal yang salah. Memang demikianlah, segala hal di dunia ini ada hukum atau tatanan yang mengaturnya, sekalipun tidak selalu nampak di permukaan. Jika seseorang memperoleh lebih, berarti ada orang yang menerima kurang atau tidak memperoleh sama sekali. Demikianlah, untuk segala sesuatu ada alasannya.
Ada orang yang memandang  bahwa hukum demikian lebih mengarah kepada efisiensi. Tentu efisiensi itu sangat baik, sepanjang efisiensi dimaksudkan untuk meminimalkan atau menghilangkan sesuatu yang memang  tidak diperlukan. Tetapi, jika itu dimaksudkan untuk menambah porsi untuk diri sendiri dengan mengurangi atau menekanjumlah yang seharusnya didapat oleh orang lain, maka itu bukanlah efisiensi.
Demikian juga apa yang dinamakan dengan kapitalisme ekonomi, yang memberi keleluasaan kepada mereka  yang memiliki akses kepada kapital untuk menguasai  sumber-sumber ekonomi. Dan kita bisa melihat, bagaimana banyak orang terobsesi dengan prinsip uang yang  bekerja, atau orang lain yang bekerja untuk dirinya.
Demikianlah, manusia selalu mengusahakan agar dirinya beradadi atasorang lain, dan bagaimana supaya orang lain bekerja untuk melayani dirinya. Dan hal demikian dilabeli  dengan kesuksesan atau keberhasilan; ketika ia mendapatkan lebih bahkan sangat jauh melebihi dari  apa yang telah dilakukannya. Sementara, orang lain menerima kurang bahkan sangat kurang atau tidak menerima sama sekali apa yang seharusnya diterimanya.
        Apa yang membuat orang selalu berusaha memiliki dan menyimpan lebih banyak,  bahkan  berlebihan?
Jawabannya adalah rasa takut, yang mana induk dari semua ketakutan adalah takut mati. Takut kelangsungan hidup di bumi ini terancam atau terganggu. Namun ketakutan demikian membuat seseorang sangat dekat dengan  kehilangan hidup yang sesungguhnya. Sebab dengan cara demikian,  ia hanya memperoleh hidupnya di bumi ini, namun kehilangan hidup yang  kekal.
        Dengan demikian, hidup  bukan semata–mata hanya untuk kehidupan di bumi ini, apalagi  untuk kesenangan. Tetapi  ditujukan untuk suatu maksud, yakni kehidupan yang sebenarnya di kekekalan.Â
        Kesenangan hidup yang sesungguhnya akan kita dapati di bumi baru yang akan datang. Satu kehidupan yang Tuhan sediakan bagi manusia yang melakukan  kehendak-NYA di bumi ini. Dan kehendak Bapa ialah supaya kita tidak lagi takut dengan kehidupan di bumi ini. Tetapi  bagaimana menjadikan hidup di bumi untuk memperoleh kehidupan yang sesungguhnya dengan menjadikan  hidup kita  mendatangkan dan menjadi kehidupan bagi orang lain.
Oleh karena itu, setiap orang harus berhenti berpikir untuk menikmati kehidupan yang nyaman dan menyenangkan di bumi ini. Apalagi jika hal itu didapat dengan membuat susah orang lain. Yang benar ialah, kita harus bersusah payah mengusahakan kehidupan kita dengan mengembangkan segala yang ada pada kita. Bukan untuk tujuan mendapatkan lebih banyak, sehingga bisa menikmatinya dan memuaskan keinginan mata, keinginan daging, dan keangkuhan hidup.
Jika dengan segala usaha yang telah dilakukan dalam mengusahkan hidup, kita memperoleh banyak, maka kita harus mengerti bahwa kita merupakan orang yang telah dikaruniai lebih banyak, dengan demikian daripada kita juga dituntut lebih banyak.
Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan. Seperti ada tertulis: "Orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan( 2 Kor 8:14-15).’
Memang demikianlah sebenarnya, bahwa bumi diciptakan untuk mampu menopang segala hal yang diperlukan oleh manusia untuk kehidupannya. Dan jika ada kita dapati, bahwa ternyata banyak orang tidak memperoleh apa yang benar-benar sangat mereka butuhkan untuk sekedar menopang hidupnya, bukan berarti bahwa bumi  sudah tidak mampu  mencukupinya.
Hal tersebut disebabkan oleh adanya ketimpangan distribusi, ada proteksi yang berlebih, ada penyimpangan regulasi, dan ketidakadilan atau monopoli sehingga akses sebagian atau sekelompok orang kepada sumber-sumber ekonomi terhambat guna mendapatkan apa yang diperlukannya.
Kembali ke awal penciptaan, Allah melihat bahwa segala yang diciptakan-Nya itu sungguh baik adanya. Dengan demikian jika hal sedemikian terjadi, maka dapat dipastikan ada pelanggaran terhadap tatanan yang ada. Ada orang yang mengambil dan menyimpan lebih dan berlebihan untuk dirinya, sehingga ada orang yang memperoleh kurang atau sama sekali tidak memperoleh apa yang diperlukannya. Demikianlah, untuk segala sesuatu ada alasannya.
Demikian juga  dengan orang-orang yang malas dan yang menghambur-hamburkan apa yang dimilikinya sehingga ia kemudian berkekurangan? Rasul Paulus menasihatkan jemaat di Tesalonika, jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan. Demikian juga mereka yang mengusahakan hidupnya, namun tetap masih berkekurangan karena keadaan, atau mereka yang tidak dapat mengusahakannya karena kondisi fisik dan psikis yang tidak memungkinkan. Maka kelebihan dari mereka yang memperoleh banyak inilah yang seharusnya menutupi kekurangan mereka, sehingga tercipta keseimbangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H