Andai kemarin kau ada di Tepian Danau Toba, mungkin engkau akan  tahu betapa rindunya Danau Toba pada Jokowi.
Kerinduan itu akhirnya terlampiaskan ketika Jokowi menginjak Toba. Jum'at (19/8) Jokowi sudah ada di Nias, lanjut kemudian hari Sabtu ke Sibolga, lalu ke Toba. Namun rindu Toba tak henti memanggil-manggil nama Jokowi untuk cepat-cepat datang ke Toba. Andai kau tahu juga, saat rindu tak tertahankan lagi, Toba akan memanggil Jokowi, hingga  ia tak tahan melihat Toba merana dilanda rindu. Memang Jokowi selalu ada di hati, di hatinya Toba, sepanjang  Tepian Danau Toba tak henti merindu Jokowi.
Lihatlah bentangan ulos ( kain tenun Batak) terpanjang di dunia, dibentangkan khusus menyambut Jokowi.
Tapi tak apalah, ia sudah datang ke Toba. Empat hari ia di Sumatera Utara, tiga hari ia ada di Toba. Kabupaten/kota lain di Sumut janganlah kau iri pada kami. Lihatlah betapa cintanya kami pada Jokowi, bahkan sebelum ia menjadi pemimpin negeri ini :
Biar kalian juga tahu, 71 tahun Indonesia Merdeka, baru Jokowi yang pernah menyapa Samosir. Nggak percaya ? Ini gambarnya, dia bahkan tak tahan melihat Toba merana. Ditanaminya pohon menghijaukan Toba. Satu juta pohon lho, dan harus tumbuh satu juta. Bukan ditanam sekarang besok layu dan mati. Itu mintanya Jokowi.
Toba minta kampung dibangun: "Siap!" Kata Jokowi.
Kami perlu jalan tol dari Medan ke Toba: "Laksanakan!" Kata Jokowi.
Bandara di Toba sangat  perlu: "Segera bangun yang lebih besar!" Instruksi Jokowi.
"Mau hotel, covention centre, lapangan golf kelas dunia? Secepatnya! Oh iya hampir lupa, Samosir mau Akademi Pariwisata ya? Tunggu saja ya!" Janji Jokowi.
Masih ada sebenarnya yang mengganjal di hati kami, itu lho pak Jokowi, perusahaan perusak dan pencemar kawasan Danau Toba. Hutan-hutan Toba dibabati atas nama konsesi. Truk besarnya lalu-lalang tiap hari di depan rumah kami, dan merusak jalan-jalan kami. Tanaman haminjon kami ditebangi, padahal itu warisan leluhur kami. Dan kata mereka, itu bukan kepunyaan kami, padahal tanah ini berabad-abad sudah didiami, sejak ompung, ompungya, ompung dan ompung....ompung kami. Sekarang, kami hanya kebagian bau dan polusi pabriknya setiap hari, dan juga longsornya bukit di kampung kami.